Categories
Multikulturalisme

Membincangkan Perbedaan

Sebagaimana kecenderungan global sejak 911, isu relasi antar agama di Australia juga menemukan nuansa baru. Ada kekhawatiran adanya kaitan antara fundamentalisme agama dan terorisme, ada ketegangan baru antara minoritas Muslim dan mayoritas non-Muslim di Australia, dan ada kegundahan yang menguat bahwa jika masalah-masalah ini tak segera diatasi, multikulturalisme yang menjadi kebanggaan negeri kangguru ini akan sedikit terganggu.

Kira-kira dalam semangat itulah tanggal 2-4 Maret yang lalu di Canberra diadakan forum Australia Deliberates: Muslims and non-Muslims in Australia. Dalam forum yang diselenggarakan oleh Issues Deliberation Australia (IDA) inilah, saya hadir bersama tak kurang dari 500 orang dari seluruh penjuru Australia, membicarakan sejumlah hal yang terkait dengan relasi antara Muslim dan non-Muslim di negeri ini, dan dalam konteks lebih luas relasi antar agama pada umumnya.

Sebelum mengikuti forum ini, saya hadir di salah satu roundtable-deliberations yang khusus diadakan untuk Muslim. Acara yang diberi nama Voices of Australian Muslims ini diadakan di setiap negara bagian (state), dan tentu saja saya mengikutinya di Perth. Acara yang diadakan di kampus University of Western Australia, 9 Pebruari lalu, ini juga diselenggarakan oleh IDA berkerja-sama dengan Center for Muslim States and Societies (CMSS). 60-an Muslim di WA hadir dalam acara ini, 10 di antaranya kemudian dipilih secara acak untuk mengikuti forum di Canberra itu. Saya turut terpilih di situ.

Tanggal 1 Maret saya berangkat ke Canberra, setelah istirahat 3 hari di rumah usai mengikuti Voices of Islam in Southeast Asia (VISEA) di Thailand. Ini kali pertama saya ke ibukota pemerintahan Australia ini. Canberra kota yang cantik dan teratur, namun sayang sehari sebelum saya tiba di kota ini, ada hujan es (hail) yang menyebabkan kerusakan di sana-sini dan membuat pemandangan jadi sedikit kurang indah.

Forum Australia Deliberates ini diadakan di Old Parliament House yang bersejarah, dan hingga tahun 1980-an masih digunakan sebagai tempat berkantor dan bersidangnya para wakil rakyat Australia. Gedung ini sangat besar, dengan dua ruang sidang besar dan puluhan ruang rapat kecil. Ruang-ruang ini memenuhi kebutuhan peserta yang selama tiga hari banyak berdiskusi dalam kelompok kecil membahas berbagai topik, untuk kemudian dibawa ke forum paripurna setiap hari.

Dalam setiap kelompok tentu ada yang Muslim, ada yang non-Muslim. Hal yang diperbincangkan dalam kelompok-kelompok kecil itu terutama dimaksudkan untuk memperlebar ruang pemahaman akan perbedaan yang ada dalam masyarakat Australia, dan bagaimana setiap orang bisa mensikapi perbedaan itu secara bijak. Misalnya, kami mendiskusikan topik tentang values. Selama ini media massa (dan pemerintah Australia juga) kadang mengkontraskan antara apa yang mereka sebut sebagai Australian values dan Islamic values. Dalam kelompok kecil itu kami melontarkan pertanyaan untuk dijawab bersama: benarkah kedua value itu berbeda dan memiliki kontras yang tak bisa dijembatani?

Untuk menjawab pertanyaan ini kami membuat rincian kandungan setiap value tersebut. Setelah rincian itu dibuat, kita bisa melihat bahwa kedua value itu tak memiliki kontras apapun. Ada kandungan keadilan, kejujuran, tolong-menolong, sedekah, menjaga lingkungan, dan seterusnya. Semuanya ada di kedua value. Nah, kontrasnya di mana? Diskusi kelompok kami akhirnya memandang bahwa kontras terdapat bukan dalam value, melainkan dalam life-style. Sudah jamak diketahui bahwa orang Australia itu senang sekali ber-pesta, dan di dalamnya tentu ada minum-minum. Jelas, gaya hidup seperti ini tak bisa dianggap selaras dengan panduan hidup seorang Muslim. Orang Australia juga sangat menikmati pantai mereka terutama di musim panas, untuk berenang dan berselancar. Namanya berenang di pantai, sudah pasti semua pakai bikini. Malah tak jarang para perempuan berjemur diri, dengan berbaring tengkurap bertelanjang dada. Di pantai nudis, urusan tentu lebih gawat dari itu. Semua ini berarti bahwa ada aturan tentang aurat yang terlanggar. Bagi kaum Muslim, ada keberatan untuk menselaraskan diri dengan hal itu.

Dari diskusi itu kita lalu bisa memahami bahwa perbedaan antara Muslim dan non-Muslim di Australia sebenarnya tak menyangkut hal mendasar. Tanpa perbincangan yang saling terbuka antara kedua elemen, makan prasangka akan tetap ada, sebagaimana anggapan bahwa Australian values tak cocok dengan Islamic values itu.

Bagi saya manfaat terbesar dari kehadiran di forum ini adalah menguatnya kesadaran bahwa dalam sebuah masyarakat majemuk (termasuk di Indonesia sudah barang tentu), perbedaan itu perlu diterima sebagai kewajaran. Tak bisa perbedaan itu ditutup-tutupi dan dianggap tak ada, namun tak seyogyanya juga perbedaan itu diperbesar akibat prasangka yang tak menemukan jawaban. Jika kita selalu bersedia untuk membincangkan perbedaan dengan kepala dingin, kita insya Allah akan mudah hidup secara sehat dalam perbedaan itu.

Ketika ditanya oleh fasilitator kelompok saya tentang kesan setelah hadir di forum ini, saya jawab, “It’s really good to talk about the difference“.