Categories
Sosok

Dinasti

Dari manakah datangnya pemimpin dan tokoh dalam setiap masyarakat? Banyak cara orang menjelaskan bagaimana seorang pemimpin ‘tercipta’. Dalam satu cara pandang, pemimpin diyakini muncul karena dibentuk oleh lingkungan. Seseorang menjadi pemimpin karena ia memperoleh gemblengan dan pengalaman untuk memimpin. Kata cara pandang ini, pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan.

Cara pandang lain menganggap bahwa pemimpin hanya bisa dilahirkan, tak bisa semata-mata dibentuk oleh lingkungannya. Menurut pendapat ini, kepemimpinan hanya bisa muncul dalam jiwa seseorang yang memang dilahirkan sebagai pemimpin atau tokoh. Seseorang ini terlahir sebagai pemimpin karena ia memiliki garis darah sebagai pemimpin dari orang tuanya. Atau paling tidak, ia jelas-jelas menunjukkan watak pemimpin sejak sangat dini.

Tentu, kenyataan sosial jauh lebih beragam daripada dua anggapan teoritik itu. Mungkin memang ada aspek genetika, dan ada pula aspek lingkungan tempat seseorang tumbuh dan berkembang, yang membentuk kepemimpinan. Dua faktor ini yang membuat keturunan seorang tokoh berpotensi menjadi tokoh pula. Dengan kata lain, jika seseorang memang dilahirkan dari bibit yang unggul, dan ia dibesarkan serta dididik dalam lingkungan yang juga unggul, dia telah berada di rute yang ‘tepat’ untuk menjadi pemimpin. Itulah sebabnya, ada dinasti dalam masyarakat, yakni deretan pemimpin yang tampak lahir turun temurun kendati bukan dalam sebuah monarkhi.

Di panggung politik Amerika ada dinasti Kennedy. Di Australia ada dinasti Downer. Di India ada dinasti Nehru. Di Indonesia, dua generasi Sukarno telah menjadi presiden. Mereka telah memulai pula sebuah dinasti. Selain dinasti Sukarno, salah satu yang bisa kita lihat di pentas politik dan keagamaan di Indonesia adalah ‘dinasti Hasyim’. Siapakah mereka?

Dinasti ini dimulai dari tokoh yang di kalangan NU dikenal sebagai Hadratus Syaikh KH Hasjim Asj’ari (biasanya ditulis pula sebagai Hasyim Asy’ari). Dialah yang bersama KH Wahab Hasbullah mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Kiai Hasyim lahir dan besar di lingkungan pesantren. Sejak tiga generasi sebelumnya, keluarga Hasyim telah mengelola pesantren di Jombang, tempat tokoh ini dilahirkan. Seperti lazim ditemui dalam tradisi pesantren yang kerap melacak legitimasi sosialnya terhadap para raja dan/atau ulama besar di masa silam, silsilah keluarga kiai Hasyim kerap di-klaim memiliki rantai hingga Jaka Tingkir dan Sunan Giri.

Kiai Hasyim juga mengikuti tradisi putra seorang kiai dengan berguru ke berbagai pesantren sejak usia belia, termasuk pesantren-pesantren besar di Jawa/Madura, hingga ke Mekkah (dimana ia bertemu dan belajar bersama dengan Muhammad Darwisy yang kelak berganti nama menjadi Ahmad Dahlan dan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912). Sepulang dari Mekkah, Kiai Hasyim mendirikan pesantren Tebuireng yang sangat terkenal itu. Tebuirang dan Kiai Hasyim sangat dikenal sebagai pusat kajian Hadits saat itu, hingga Kiai Cholil (Bangkalan) yang notabene adalah guru Kiai Hasyim senantiasa menyempatkan hadir di setiap kuliah Hadits yang diberikan muridnya itu.

Sumbangan utama Kiai Hasyim terhadap masyarakat adalah dalam dunia pendidikan agama Islam. Sumbangan lain yang juga sangat penting adalah dalam pergerakan nasional meski tetap dalam kerangka komunitas Muslim. ‘Investasi’ terpenting dia jelas adalah pendirian NU–dimana ia menjadi satu-satunya orang yang pernah memegang jabatan Rais Akbar. Investasi berikutnya dia tanam di lembaga-lembaga seperti Majlisul Islam A’la Indonesia (MIAI), Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Shumubu. MIAI adalah wadah konfederasi ummat Islam Indonesia yang didirikan tahun 1937. Kelak di jaman Jepang, wadah konfederasi ini digantikan oleh Masyumi (bedakan dari Masyumi yang partai politik dan didirikan tahun 1945 pasca proklamasi, dengan Kiai Hasyim juga sebagai ketua umum). Tahun 1942 pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Shumubu, kantor urusan keagamaan yang akan menjadi cikal bakal departemen agama kelak. Kiai Hasyim menjadi ketua Shumubu yang ketiga setelah Kolonel Horie (perwira Jepang) dan Prof. Hoesein Djajadiningrat. Penting dicatat bahwa di jaman Jepang ini Kiai Hasyim pernah masuk penjara karena menentang upacara Seikerei (ruku’ ke arah matahari terbit di pagi hari).

Kendati beberapa jabatan formal dipegang Kiai Hasyim di tahun 1940-an, namun sebagian besar peran riil sebenarnya dilaksanakan oleh putranya, KH Abdul Wahid Hasyim. Orang di generasi kedua dinasti yang sedang kita perbincangkan ini merupakan tokoh sentral di semua lembaga yang dirintis oleh Kiai Hasyim. Di MIAI dan Masyumi, dia memegang peran kunci, begitu pula di Shumubu. Kiai Wahid praktis senantiasa bertindak menjadi proxy ayahnya ketika di tahun 1940-an itu beberapa jabatan penting dipercayakan pada Kiai Hasyim namun beliau lebih banyak berada di Tebuirang. Di pesantren Tebuireng dan NU, Kiai Wahid juga menjadi penerus kepemimpinan ayahnya terutama sejak Kiai Hasyim meninggal tahun 1947. Di NU Kiai Wahid menjadi menjadi Ketua Umum Pengurus Besar hingga beliau meninggal.

Peran terpenting Kiai Wahid dalam pergerakan nasional disumbangkannya ketika dia turut aktif dalam penyiapan kemerdekaan Indonesia. Kiai Wahid adalah angota Panitia Sembilan yang menyusun UUD 1945 serta Pembukaan-nya. Segera setelah kemerdekaan, Kiai Wahid dipercaya untuk menjabat Menteri Agama RI yang pertama (1945, kemudian 1949-1952). Langkah Kiai Wahid memang penuh dengan warna-warni politik. Di bawah kepemimpinannya NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi di tahun 1952, dan memutuskan untuk berdiri sebagai partai politik.

Sayangnya, Kiai Wahid tidak berumur panjang. Setahun kurang beberapa hari setelah keputusan NU keluar dari Masyumi, Kiai Wahid meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Dalam mobil yang mengalami kecelakaan itu Kiai Wahid mengajak serta putra pertamanya, Abdurrahman Addakhil. Sang putra yang selamat dalam kecelakaan itu kini dikenal publik sebagai KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Gus Dur adalah generasi ketiga dalam Dinasti Hasyim. Sejak awal dia terekspose kepada dunia politik yang merupakan lingkup pergaulan ayahnya sebagai menteri agama. Ia juga terekspose pada beragam ide karena bacaannya yang sangat luas sejak kecil. Tradisi pendidikan pesantren dijalaninya di Yogyakarta, Magelang dan Jombang. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al Azhar, Kairo (di mana dia berteman dekat dengan Gus Mus) dan Universitas Baghdad di Iraq.

Sepulang dari Mesir dan Iraq, Gus Dur memulai kiprahnya di dunia LSM, sebelum akhirnya terlibat intensif dalam kepengurusan NU. Pada tahun 1984, ia memotori keputusan penting NU untuk kembali ke Khittah 1926 dan melepaskan diri dari kaitan formal dengan PPP. Di tahun 1984 pula ia mulai memegang jabatan sebagai Ketua Umum PB NU. Kita mengetahui sejarah Indonesia belakangan membawa Gus Dur ke kursi Presiden RI–yang didudukinya tak terlalu lama.

Peran Gus Dur yang terbesar disumbangkannya dalam lingkup dialog antar agama. Dia termasuk tokoh yang gigih menyuarakan pendapat bahwa semua ummat beragama seyogyanya bisa senantiasa duduk berdampingan secara damai, selama pembenaran agama sendiri tak diikuti dengan penudingan agama lain sebagai salah sehingga penganutnya tak perlu diperlakukan sepadan dengan sesama pemeluk agama sendiri. Ia banyak dipuji sekaligus banyak dicaci karena cara pandang ini. Kontroversi senantiasa menjadi bagian dari hidupnya selama ia berada di puncak karier politik dan keagamaan.

Pada generasi ketiga Dinasti Hasyim, kita juga mengenal KH Salahuddin Wahid. Ia adalah adik kandung Gus Dur yang selepas dari pendidikan di ITB lebih banyak aktif di dunia konstruksi. Gus Solah, demikian ia biasa dipanggil, senantiasa mengakui bahwa dirinya tak terlalu intens mendalami dunia pesantren. Namun demikian, ia tak jauh beranjak dari dunia NU. Keterkaitan dengan dunia NU dijaganya lewat aktifitas di Ansor, PMII dan belakangan di struktur formal kepengurusan sebagai Ketua PB NU. Di tahun 2004 ia sempat menuai kecaman ketika bersedia mendampingi Jenderal (Purn.) Wiranto dalam pemilihan presiden RI. Catatan pelanggaran HAM yang dikaitkan dengan Wiranto menjadi titik keberatan banyak kalangan terhadap keterlibatan Gus Solah yang nota bene adalah Wakil Ketua Komnas HAM. Kini, Gus Solah kembali ke akar genealogis dan sosialnya di dunia pesantren dengan memegang estafet kepemimpinan di Pesantren Tebuireng, Jombang

Di generasi keempat, Dinasti Hasyim mulai menampakkan ragam warna. Ada dua figur yang kita bisa ambil sebagai contoh. Figur pertama adalah Zannuba Ariffah Chafsoh, atau yang banyak orang kenal sebagai Yenny Wahid. Ia adalah putri Gus Dur. Jalur pendidikan perempuan kelahiran 1974 ini kebanyakan berada di luar dunia pesantren. Ia menyelesaikan S1 di Universitas Trisakti, dan gelar Master diperolehnya dari Harvard University. Sebelum sang ayah terpilih menjadi Presiden RI, Yenny lebih banyak berkarier di dunia kewartawanan. Sejak 1999 ia memilih melepaskan pekerjaannya, dan berkonsentrasi untuk menjadi mata dan telinga bagi Gus Dur yang memang memiliki masalah penglihatan dalam makna literer. Yenny kemudian turut aktif dalam pendirian the Wahid Institute, di mana ia kini menjabat sebagai direktur. Ia sempat menjadi staf ahli Presiden SBY, sebelum akhirnya memutuskan untuk lebih memilih posisi sebagai Sekjen PKB yang sejak 2007 ini dijabatnya.

Figur kedua adalah seorang pria bernama lengkap Irfan Asy’ari Sudirman, dan lebih akrab disebut sebagai sebagai Irfan Wahid. Ia adalah putra Gus Solah, yang banyak menekuni dunia seni dan banyak dikenal dalam dunia multimedia. Sebagai putra seorang kiai, dan sebagai bagian dari sebuah dinasti penting dalam dunia pendidikan dan dakwah Islam, Irfan memiliki keperdulian yang tinggi terhadap aktifitas dakwah, dan menggunakan sarana seni untuk kepentingan itu. Pendidikan formal ia jalani di Institute Kesenian Jakarta (IKJ) dan The Art Institute of Seattle, Amerika. Irfan kemudian serius menekuni dunia periklanan dan rumah produksi. Irfan bukan ‘orang panggung’. Ia lebih banyak berada di balik layar, dan mungkin karena itulah ia tak setenar Yenny saudara sepupunya itu. Ia kini aktif di PKS sebagai anggota Dewan Pakar partai ini, sekaligus sebagai koordinator kehumasan fraksi PKS di DPR. Irfan-lah yang menciptakan semboyan PKS yang sangat terkenal khususnya dalam masa Pemilu 2004: “Bersih dan Perduli“. Sama seperti para pendahulunya dalam garis dinasti Hasyim, Irfan telah pula memberikan kontribusi terhadap sebuah kekuatan baru dalam politik Islam Indonesia.