Categories
Agama Renungan

Dua Perempuan

Perempuan pertama

Ditahannya airmata. Ia tak ingin hembusan debu menempel lebih tebal di pipinya yang sedari tadi sudah basah oleh airmata. Cukup sudah; tangis tak lagi berguna. Akhir seluruh kisah sudah membayang di pelupuk matanya.

Hatinya tersayat perih menatap penderitaan sang kekasih, sang guru, sang pemimpin, sang penyuluh jalan kebenaran dan keselamatan bagi dirinya dan bagi mereka yang mau mengerti.

Sejak semula ia tahu, tak akan mudah bagi sang kekasih untuk menyampaikan kabar kebenaran. Terlalu banyak yang harus terusik oleh kebenaran itu. Para pemuka kaumnya; para bangsawan dan pemimpin negara; para pencari kuasa; tak seorangpun dari mereka yang suka apabila zaman berubah dan tatanan bergeser–tak juga atasnama Sang Pencipta sekalipun.

Ya, ia tahu. Perempuan berhati putih bagai pualam ini paham. Berat jalan sang kekasih untuk menebarkan kebenaran.

Ia siap untuk semua itu.

Yang ia tak siap dan ia tak duga adalah pengkhianatan. Yang tak pernah terbersit dalam hati perempuan ini adalah penderitaan ragawi sang kekasih akibat seseorang gagal bertahan dalam kesetiaan.

Inilah jadinya kini. Ia tahu hidup sang kekasih sudah hampir tiba di penghujung. Semuda itu, dan seawal itu hidup sang kekasih harus diakhiri. Sedang pesan kebenaran belum lagi tersebar jauh.

Sejak beberapa hari ini hatinya letih membayangkan penderitaan sang kekasih. Hari ini penderitaan itu dilihatnya di depan mata. Tak sanggup hatinya menatap semua ini. Tapi ia tahu bahwa dirinya mesti bertahan. Ia harus sanggup menyertai sang kekasih hingga detik terakhir hidupnya. Ia ingin menjadi orang yang dipandang sang kekasih di ujung hayatnya. Dan yang paling ia harap, sungguh sangat ia harap, adalah mendengar suara sang kekasih untuk terakhir kalinya.

Karena itu diturutinya jejak sang kekasih. Tak sekejappun pandangannya beranjak. Tak ingin ia luput memahami pesan paling tersamarpun dari sang kekasih. Ia menatap dan berharap; dalam tiap degup jantung ia berharap. “Berilah aku pesan”, bisiknya, “isyaratkan sesuatu padaku”.

Tapi tak ada. Tak sekejap pesan tersamarpun yang bisa ia tangkap, sepanjang langkah menuju tempat di mana semua ini akan berakhir. Barangkali memang kebisuan yang akan menemani akhir penderitaan dan pengorbanan ini.

Maka bersimpuhlah ia setiba di sana. Duduklah perempuan ini di ujung kaki sang kekasih, tanpa berharap apapun lagi akan terjadi; selain kepulangan ke hadirat Sang Pencipta.

Dan tibalah saat. Dalam sekejap yang tak diduga-duganya, tiba-tiba ia dengar sang kekasih mencoba berbicara. Ucapannya lirih, terdengar seperti erangan, namun baginya tersimak sangat jelas: “jagalah anakmu”.

Kini ia ijinkan airmatanya kembali berhamburan. Sangat jelas ia dengar pesan terakhir sang kekasih, dan sangat jelas pula kesunyian yang terasa setelahnya. Semua sudah berakhir; sang kekasih telah pergi. Dan baiklah ia berjanji. Di sela deraian airmata ia berjanji untuk memenuhi permintaan terakhir sang kekasih itu. Tak ragu ia akan pendengarannya tadi. Tiada ragu pula ia akan apa yang harus diperbuat kini.

Dalam duduk bersimpuh ditemani airmata, diteguhkanlah hatinya untuk melangkahi lagi kehidupan. Ia tahu betul, dirinyalah yang mesti melanjutkan penyebaran kabar kebenaran. Ia paham sungguh, tak banyak orang lain yang bisa dipercayai, setelah pengkhianatan yang berakhir tragis ini. Ia mengerti betul, tak ada lagi ruang baginya di tanah ini. Ia harus pergi. Jauh. Ia harus pergi, ke tempat di mana ia bisa memenuhi janji pada sang kekasih, yang diucapkannya dalam sunyi.

Ia tahu hari-harinya tak akan mudah. Ia tahu sebuah dusta besar akan menghadang garis hidupnya. Ia tahu hanya sedikit orang, sangat sedikit orang, yang akan mempercayainya.

Tapi ia tak perduli. Kakinya kini siap melangkah tanpa ragu. Biarlah, ia bisikkan pada hatinya, biarlah sejarah yang akan menyucikan kehidupannya dari semua noda pengkhianatan dan dusta ini…

 

Perempuan kedua

Dengan hati gundah, perempuan itu memandangi keringat di kening sang ayah yang tampak berkilau bagai kristal. Diusapnya pelan keringat itu. Tubuh sang ayah terasa panas. Sejak beberapa hari terakhir ini, lelaki yang sangat ia kagumi dan hormati itu terbaring di peraduannya yang begitu sederhana.

Sang ayah sering gelisah belakangan ini. Bukan, bukan rasa sakit yang digelisahkannya–jelas bukan pula kematian. Sang ayah gelisah akan perilaku orang-orang jika ia telah tiada.

Perempuan ini, putri kesayangan sang ayah, sangat memahami kegelisahan itu. Sang ayah telah berhasil mengenalkan orang-orang itu pada cahaya kebenaran, dan mengajak mereka untuk tinggalkan kegelapan. Ia pulalah yang menyatukan sanak-kerabat yang bertikai itu.

Namun belakangan, perempuan ini melihat orang-orang itu mulai bertikai lagi. Persaingan antar sanak yang dulu selalu jadi masalah dan berhasil didamaikan oleh sang ayah, kini merebak lagi. Tiga hari lalu ia dengar sang ayah berbicara dengan gusar, menyuruh orang-orang itu menjauh dari dekatnya. Entah apa yang terjadi. Yang ia dengar sang ayah agak marah karena permintaannya akan sesuatu dibantah oleh seseorang. Ah… mereka mulai berani lancang membantah perintah sang ayah.

Perempuan ini sangat sedih, sebab sejak itu kondisi sang ayah memburuk hingga hari ini. Jauh di lubuk hatinya, perempuan ini sadar bahwa detik-detik terakhir bersama sang ayah sudah kian mendekat. Karena itu ia, dan suami dan kedua putranya, memutuskan untuk terus berada dekat sang ayah. Ya, kendati ia tahu di sebelah sana orang-orang sudah mulai berembug tentang bagi-kuasa. Ia tak perduli.

Sang ayah baginya jauh lebih penting.

“Mendekatlah anakku; kemarilah engkau, wahai cahaya hatiku yang berpendar indah”, ia dengar sang ayah memanggilnya. Ia senang setiap kali sang ayah memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Dan sungguh ayahnya adalah orang yang mudah memberikan pujian. Itulah sebabnya ia disukai banyak orang.

Mendekatlah perempuan ini pada sang ayah. Dilihatnya isyarat tangan sang ayah, memintanya mendekatkan wajah. Sang ayah ingin membisikkan sesuatu yang barangkali tak boleh didengar sesiapapun orang lain di ruangan ini. Maka didekatkanlah telinganya ke pipi kanan sang ayah. Lalu didengarnya lelaki mulia ini membisikkan kata yang menyayat hatinya:

“Putriku, cahaya hatiku, aku harus pergi. Telah tiba waktuku untuk pulang ke haribaan-Nya yang agung”

Tak mampu ia berkata-kata. Tanpa ia kehendaki, sedu-sedan dan airmatapun menguasai dirinya. Tak ada yang paling menyedihkan baginya selain berpisah dari sang ayah. Tak sanggup ia membayangkan kehidupan tanpa dia. Mengapa seberat ini beban yang harus ditanggungnya?

Selagi ia membiarkan diri dalam hanyut kesedihan itu, kembali ia lihat sang ayah memintanya mendekat.

Dan ia dekatkan lagi telinganya di pipi kanan sang ayah. Jelas, sangat jelas didengarnya sang ayah berbisik kembali:

“Putriku, tak perlu engkau bersedih begitu. Engkaulah orang pertama yang akan menyusulku dan menemaniku di sana.”

Begitu didengarnya kalimat itu, sirnalah segala sedih dan galau hati. Gembiralah hatinya kini mendengar jaminan bahwa ia tetap akan bersama sang ayah segera, tak lama setelah kepergian ragawinya.

Tatkala saat itu tiba, dipandangnya dengan damai kepergian sang ayah. Baginya segala soal tak lagi penting. Ia tahu di luar sana ada orang-orang yang mempertengkarkan kuasa. Ia paham ke mana ia harus berpihak dan berdiri. Perempuan ini sama sekali tak ragu. Ia tak bergidik oleh resiko apapun. Baginya arah kehidupan sudah sangat jelas adanya. Arah paling jelas dalam kehidupannya kini adalah persuaan segera dengan sang ayah kembali, di alam sana.

Memang terasa baginya, hidup sepeninggal sang ayah begitu berat, begitu penuh dengan galau dan himpitan. Namun ucapan sang ayah benar jua: dua purnama setelah kepergiannya, perempuan berhati teguh ini pun menyusul. Kerinduannya terobati sudah. Yang tertinggal adalah manusia dalam tikai abadi. Ketika kelak suami dan kedua putranya tiba menyusul, pahamlah ia bahwa mereka bertiga telah menjadi tumbal sekaligus tapak dalam tikai abadi itu.[]