Categories
Penelitian Politik Sejarah

Bani Syarqawi

Ini tema yang pernah saya angkat di paper yang saya presentasikan bulan Pebruari lalu di Voices of Islam in Southeast Asia (VISEA) di Walailak University, Nakhon Si Thammarat, Thailand. Bani Syarqawi adalah nickname yang kadangkala digunakan untuk merujuk sebuah kelompok elit politik berbasis pesantren yang sangat kuat di Sumenep, dan mendominasi politik dan pemerintahan di kota ini khususnya sejak tahun 1999. Nama Bani Syarqawi mengacu pada kalangan yang memiliki ikatan genealogis pada seorang tokoh ulama penting yang hidup di Sumenep pada abad ke-19 bernama Kiai Syarqawi–namun secara longgar istilah itu juga mengacu pada mereka yang memiliki kaitan pendidikan atau hubungan guru-murid dengan jejaring pesantren yang terkait dengan Kiai Syarqawi.

Salah satu area di An Nuqayah -- gambar di-link dari http://www.manalagi.com/jamesplace/indonesia/madura/school.htmlSentra jejaring ini adalah sebuah pesantren besar bernama An Nuqayah yang terletak di desa Luk-Guluk (kadang ditulis sebagai Guluk-Guluk, namun pelafalan yang lazim menurut kaidah bahasa Madura adalah Luk-Guluk).

Pesantren ini memiliki sejarah panjang. Ia dimulai dengan sebuah kejadian yang nyaris tanpa sengaja.

Suatu ketika, seorang ulama dan pedagang dari Parenduan, sebuah desa di pesisir selatan Sumenep, pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan di kapal laut, ulama ini berkenalan dengan seorang ulama lain yang lebih muda, berasal dari kota Kudus. Ulama Parenduan ini sangat terkesan dan segera menjadi sangat dekat dengan si ulama muda dari Kudus.

Ketika berada di tanah suci, si ulama asal Parenduan jatuh sakit. Ia merasa ajalnya sudah dekat, sehingga berpesanlah ia pada kawan barunya dari Kudus itu, agar si kawan bersedia menikahi istrinya jika Allah berkenan memanggil-nya pulang saat berada di tanah suci. Ketika Kiai Gemma, si ulama asal Parenduan itu meninggal, maka Mohammad Syarqawi, si ulama muda asal Kudus itu, menikahi jandanya pasca ‘iddah dan kemudian turut pulang ke Parenduan.

Di desa inilah Kiai Syarqawi mendirikan sebuah pesantren kecil untuk memulai kegiatan dakwah dan pendidikan keagamaan. Tak lama berada di sana ia sudah dikenal sebagai ulama yang handal. Namun, beberapa tekanan sosial sedikit memaksa Kiai Syarqawi untuk memikirkan relokasi pesantrennya. Ia kemudian memutuskan untuk pindah ke arah utara, ke desa Luk-guluk. Pesantrennya di Parenduan kemudian dilanjutkan oleh Kiai Chotib, dan kelak akan berkembang menjadi pesantren modern Al Amin (yang menerapkan manajemen dan metode serupa di Gontor).

Peta SumenepDi Luk-guluk kiai Syarqawi memulai sebuah pesantren di area bekas sebuah kandang kuda. Catatan tertulis menyebutkan bahwa Kiai Syarqawi mendirikan pesantren ini pada tahun 1887. Di sini pulalah ia memulai sebuah network genealogis penting.

Kiai Syarqawi memiliki sejumlah istri. Beberapa sumber menyebutkan ia memiliki total 6 istri–istri kelima dan keenam dinikahi setelah dua istrinya yang pertama meninggal. Catatan silsilahnya menyebutkan Kiai Syarqawi memiliki 25 orang putra dan putri, baik di Kudus (dari istri pertamanya) maupun di Sumenep.

Keturunan yang di Sumenep itulah yang sejak awal abad ke-20 mulai membangun jejaring elit ulama di kota kecil ini, berpusat di pesantren kiai Syarqawi yang tak lama kemudian berkembang menjadi sebuah compound yang terdiri dari beberapa sub-pesantren. Ketika kiai Syarqawi meninggal pada tahun 1910, pimpinan pesantren ini dilanjutkan oleh putra-putranya, kiai Bukhori dan kiai Idris. Saat itu beberapa putra-nya yang lain masih menempuh pendidikan di berbagai pesantren di Jawa, Madura, dan Timur Tengah.

Tahun 1920an, sejumlah putra almarhum kiai Syarqawi pulang ke Luk-guluk usai menyelesaikan pendidikan. Masing-masing kemudian membangun pesantren sendiri dalam compound warisan sang ayah. Kiai Ilyas mendirikan pesantren di area yang kini dikenal sebagai Lubangsa, berdekatan dengan area asli pesantren kiai Syarqawi yang disebut sebagai Dhalem Tenga (=Gedung Tengah). Kiai Abdullah Sajjad kemudian mendirikan pesantrennya sendiri di area yang kini dikenal sebagai Latee. Sementara itu seorang menantu (yang sekaligus dulunya adalah santri) kiai Syarqawi bernama kiai Hussaini mendirikan pesantren di area yang berdekatan namun tak lagi termasuk dalam compound inti kiai Syarqawi, yakni pesantren Al Furqan di Sabajarin.

Pada pertengahan tahun 1930-an terjadi beberapa perkembangan penting terhadap pesantren-pesantren ini. Perkembangan utama adalah mulai dibentuknya lembaga konfederasi terhadap pesantren-pesantren Lubangsa, Al Furqan dan Latee, yang diberi nama An Nuqayah. Nama ini diambil dari judul sebuah kitab karya Jalaluddin al Suyuti yang berisikan 14 bab tentang ilmu pengetahuan. Perkembangan lain yang juga penting adalah mulai digunakannya sistem madrasi untuk melengkapi sistem sorogan dan wetonan yang sudah digunakan sejak era kiai Syarqawi. Sistem madrasi ini diperkenalkan oleh kiai Khazin, putra kiai Ilyas.

Pada awal tahun 1960-an, kiai Hasan Bashri, salah seorang menantu kiai Ilyas, menambahkan lagi satu pesantren terhadap konfederasi An Nuqayah ini. Pesantren ini didirikan di area yang kini dikenal sebagai Nirmala. Sedikit berbeda dari keluarga besar kiai Syarqawi, kiai Hasan Bashri adalah ulama yang memiliki visi terbuka tentang mazhab fiqh, dan tidak secara khusus menganggap mazhab Syafii lebih superior dibandingkan mazhab lainnya.

Beberapa tahun setelah Nirmala, kiai Ishomuddin, putra kiai Abdullah Sajjad mendirikan satu lagi pesantren, sementara kakaknya kiai Basyir meneruskan kepemimpinan di Latee. Kini terdapat lima pesantren dalam gugus An Nuqayah.

Di luar kelima pesantren dalam sentra jaringan putra-putra kiai Syarqawi ini, sejumlah pesantren lain juga didirikan baik oleh menantunya, maupun mantan murid-muridnya, dengan tetap menjaga afiliasi sosial kepada An Nuqayah. Ini turut menguatkan jejaring sekaligus kompetisi di antara kelompok elit agama yang kian lama kian besar ini.

Dari generasi pertama, salah satu menantu kiai Syarqawi bernama kiai Imam merupakan akar dari salah satu ekstensi jejaring Bani Syarqawi. Putri kiai Imam menikah dengan kiai Ali Wafa yang memiliki pesantren di sebuah desa pesisir utara bernama Ambunten. Kelak pesantren ini (sekarang bernama Al Aswaja) menjadi sangat penting secara sosial dan politik, sebab sebagian besar santri dan jaringan sosialnya menyebar di area kepulauan Sumenep. Cucu kiai Ali Wafa saat ini adalah Ketua PKB di Sumenep.

Dari generasi kedua, putri kiai Ilyas menikah dengan kiai Siradjudin yang mendirikan pesantren Nurul Islam di Bluto, sebuah desa ke arah selatan Luk-Guluk. Pimpinan pesantren Nurul Islam, putra kiai Siradjudin bernama kiai Ramdlan, adalah Bupati Sumenep sejak tahun 2000.

Di DPRD sejumlah cucu kiai Syarqawi juga memainkan peran penting. Tokoh paling menonjol, dengan karier politik paling panjang, adalah kiai Warits Ilyas yang pernah menjadi anggota MPR dan kini memegang jabatan sebagai Wakil Ketua DPRD Sumenep. Ulama dan politisi senior ini kerap menunjukkan kualitas-nya sebagai playmaker politik handal.

Bani Syarqawi, sebuah elit berbasis agama, telah mentransformasi diri menjadi elit politik.