Categories
Agama Renungan

Suatu Pagi di Surga

Suatu pagi di surga, seorang tokoh NU duduk di teras rumahnya yang asri. Dalam ketenangan pagi, ia khusyuk membolak-balik halaman kitab kuning seperti kebiasaannya di dunia dulu. Di meja sebelah, sepiring kacang rebus dan secangkir kopi susu mengepulkan asap hangat. Sesekali tokoh NU ini menjumput sebutir kacang rebus, membuka kulitnya, dan mengunyahnya pelan-pelan sambil matanya tak beranjak dari halaman buku yang tengah ia pegang.

Ini surga. Pagi di surga pastilah terasa sangat damai.

Tepat di seberang jalan depan rumah si tokoh NU, terdapat pula sebuah rumah yang tak kalah asrinya. Bentuk, ukuran, keindahan serta kemewahan rumah itu persis sama seperti rumah jatah si tokoh NU itu. Pastilah kedua rumah itu merupakan hasil investasi yang sepadan.

Pintu rumah di seberang jalan itu membuka pelan. Sang pemilik keluar rumah menuju halaman depannya yang sangat indah. Wajah si pemilik rumah memancarkan cahaya yang menebarkan damai. Dulu di dunia, ia adalah seorang tokoh Muhammadiyah yang cukup dikenal. Intelektual yang rajin berdakwah, itulah dia.

Dan pagi itu, terkejutlah si tokoh Muhammadiyah, ketika dari halaman rumahnya ia memandang ke rumah tetangga di seberang jalan.

“Ya Allah, ya Rahman ya Rahim,” gumamnya. “Aku seperti kenal wajah tetangga di depan rumah itu.”

Bergegas, ia berjalan melintasi jalan di depan rumahnya untuk memastikan. Dugaannya benar. Orang di seberang jalan itu memang adalah orang yang dulu ia kenal di dunia.

Maka diucapkanlah salam. “Assalamualaikum.”

Sedikit terkejut, si tokoh NU di seberang jalan mengangkat pandangan dari kitab kuningnya, dan membalas salam. “Wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.”

Lalu makin terkejutlah ia ketika melihat siapa yang baru saja menyapanya. “Ya akhi, ternyata antum. Ngapain di sini?”

“Lah, itu juga yang saya ingin tanyakan sama panjenengan,” jawab si tokoh Muhammadiyah. “Ngapain anda di sini?”

“Saya tidak tahu mengapa saya ada di sini. Seingat saya, usai yaumul-hisab tiba-tiba saja saya mendapati diri berada di tempat yang indah ini. Sangat menyenangkan.”

“Ya memang menyenangkan. Tapi yang bikin saya bingung, bagaimana anda bisa masuk surga?”

“Kenapa bingung, ya akhi?”

“Bukankah di masa hidup dulu anda ini terkenal banget dengan ibadah yang penuh TBC, tahyul-bid’ah-churafat, itu. Anda seingat saya gemar sekali nyampur-nyampur ajaran agama dengan tradisi masyarakat. Anda itu senangnya menyanjung-nyanjung Rasulullah dengan cara yang mengkhawatirkan.”

“Mengkhawatirkan?” Tanya si tokoh NU.

“Iya, mengkhawatirkan, sebab mudah sekali membuat anda terjerumus pada mengkultuskan Muhammad.”

“Jadi, kenapa kalau mengkultuskan Muhammad?”

“Lho, itu kan bisa menggelincirkan orang pada syirik kalau tak hati-hati.”

“Lha iya, kan saya sudah hati-hati biar kultus itu tak berubah jadi syirik.”

“Anda ini gegabah. Dan itu yang bikin saya heran.”

“Heran gimana toh antum ini?”

“Ya saya heran, bagaimana bisa anda masuk surga”

“Lha ya itu. Apa antum kira saya tidak heran juga?”

“Lho kok heran juga. Apa maksudnya?”

“Ya saya ini heran juga. Kok bisa antum ini masuk surga. Padahal antum dulu sukanya beribadah yang minim-minim saja. Tidak ada afdhol-afdholnya sama sekali ibadah antum itu. Antum suka naruh Al Qur’an sembarangan, tergeletak begitu saja di meja, seperti buku-buku biasa. Dan bukankah antum dulu sering sekali salat idul fitri di tanggal 30 Ramadlan? Atau puasa tanggal 30 Sya’ban? Ck… ck… ck… ”

“Lho, itu hasil hisab.”

“Iya hasil hisab. Kami juga hisab dulu sebelum rukyat. Dan hasil hisab kami gak senekad antum itu.”

“Itu metode anda saja yang sudah ketinggalan jaman.”

“Ah kami selalu belajar ilmu falakh terbaru, dan metode kami juga terbaru. Tapi saya gak heran kalau dalam hal ini. Dari dulu antum ini paling susah kalau diminta untuk tawaddu’ ya akhi…”

“Terus, apa maksudnya?” Tanya si tokoh Muhammadiyah lagi.

“Ya maksudnya, antum ini kok bisa masuk surga. Saya heran.”

Keduanya lalu tertegun. Benar juga. Dengan dua ragam ibadah yang satu sama lain saling berbeda, mengapa keduanya bisa sama-sama masuk surga? Bahkan, rumah mereka pun sangat mirip.

Mereka berdua lalu memutuskan untuk mencari jawaban, apa sebenarnya yang membawa mereka ke surga. Si tokoh Muhammadiyah mengajak tetangganya si tokoh NU itu untuk masuk ke rumahnya. Berdua mereka menuju ke ruang kerja si tokoh Muhammadiyah, dan duduk di depan sebuah superkomputer yang teramat canggih. Komputer itu bisa mendeteksi niat dan tujuan penggunanya. Begitu kedua tokoh ini duduk dan menatap si komputer, alat ini pun mulai mengolah kata kunci yang terbaca di benak keduanya. Tak lama, di layar komputer muncullah hasil pencarian mereka.

Komputer itu mulai dengan menyajikan statistik amal ibadah kedua tokoh ini. Betapa mengesankan nilai ibadah mereka berdua. Masing-masing tersenyum bangga membaca catatan ibadahnya.

Tapi senyum itu tak lama. Komputer kemudian mengkonversi prestasi ibadah mereka masing-masing ke dalam nilai tukar untuk membeli tiket ke surga. Ternyata, seluruh ibadah mereka berdua itu tak memiliki nilai tukar yang berarti. Dengan seluruh prestasi ibadah itu, mereka tak akan sanggup membeli sekuntum bunga surga pun — apalagi rumah indah-mewah-megah seperti yang kini mereka tinggali.

Jadi, kata komputer itu, ibadah mereka mungkin hebat, tapi nilainya sangat kecil dibandingkan anugerah Allah yang mereka kini nikmati.

Lalu apa yang membawa mereka berdua ke surga? Komputer menjawab, yang membawa mereka ke surga adalah ridla Allah.

“Apa yang membuat Allah ridla pada kami?” tanya mereka berdua.

“Hanya Allah yang tahu,” jawab si komputer.

“Lalu tak berguna sama sekalikah ibadah kami itu?”

“Tentu berguna. Ibadah itu adalah cara anda berdua untuk meminta ridla Allah.”

“Lha bagaimana dengan ibadah teman saya ini yang penuh bid’ah?” tanya si tokoh Muhammadiyah.

“Iya,” si tokoh NU menimpali cepat. “Bagaimana pula dengan ibadah dia yang serba minim dan hambar itu?”

“Dalam penilaian Allah yang penting adalah hati yang menggerakkan ibadah itu,” jawab si komputer, “dan bukan ragam-rinci ibadah itu sendiri.”

“Jadi dengan hati yang tulus, Allah me-ridlai kami?”

“Belum tentu juga. Ridla Allah ya sepenuhnya hak Allah.”

“Jadi, wahai komputer, ente pun tak bisa sepenuhnya tahu apa yang membuat Allah ridla?”

“Begitulah.”

“Ah, payah ente.”

“Lho, tapi saya tahu apa yang bisa membuat ridla Allah lenyap musnah.”

“Apa itu?”

“Kesombongan, dan hati yang merasa diri paling benar sedang orang lain pasti salah.”[]

 

——————————

Gambar dipinjam dari sini.