Categories
Agama Buku

‘God is not Great’

Beberapa waktu yang lalu di sebuah toko buku di Perth Airport saya membeli buku berjudul God is not great: How religion poisons everything. Buku yang diterbitkan oleh Allen & Unwin tahun 2007 ini ditulis oleh Christopher Hitchens, seorang penulis kelahiran Inggris yang kini tinggal di Amerika Serikat. Saya pernah melihat buku ini sebelumnya di Angus&Robertson. Tapi waktu itu saya tak terlalu tertarik karena judulnya yang terlalu bombastis. Saya selalu berprasangka bahwa buku dengan judul bombastis isinya tak akan menarik. Apalagi, jelek-jelek begini saya masih merasa cukup religius 🙂 sehingga buku dengan judul yang melecehkan Tuhan agak malas saya sentuh. Namun saat berada di Airport itu saya masuk ke sebuah toko buku kecil, dan tak melihat cukup banyak buku menarik. Karenanya buku yang semula saya acuhkan itu pun saya sentuh, dan saya buka halaman demi halaman.

Ternyata secara sekilas isinya tampak menarik. Bukan berarti menurut saya isinya benar. Buku itu menarik karena dengan melihatnya sekilas, benak saya tiba-tiba mengeluarkan banyak bantahan terhadap isinya. Saya pikir, bagus lah kalau begitu, isinya cukup layak dibaca. Prasangka saya gara-gara judul yang bombastis itu mungkin tak terbukti. Karenanya, saya bawa buku itu ke kasir dan saya bayar. Selama dua mingguan terakhir ini saya sesekali mengistirahatkan benak dari kepenatan menulis disertasi dengan membaca buku ini.

Si penulis, Hitchens, adalah seorang atheis. Ia secara gamblang menegaskan posisi tersebut dalam buku ini. Buku setebal 307 halaman ini sepenuhnya melihat agama dan kebertuhanan dari sudut pandang atheisme. Bagi para atheis, Tuhan itu tidak ada; agama adalah struktur palsu yang bertujuan untuk mengilusikan keberadaan Tuhan di satu sisi, serta untuk menegakkan hegemoni di atas pengikutnya di sisi yang lain. Sepanjang buku ini, Hitchens memaparkan berbagai fakta untuk mendukung proposisi tersebut.

Di sinilah letak kelebihan buku ini. Selama ini debat antara theisme dan atheisme lebih banyak berpijak pada gagasan. Karya-karya yang berbicara tentang agama (baik menolak ataupun menerima kebenaran agama) kebanyakan didasarkan pada argumentasi dan gagasan yang dihasilkan dari pemikirian. Buku Hitchens ini, sebaliknya, lebih banyak memaparkan fakta sebagai cara untuk menunjukkan ketidak-adaan Tuhan.

Hitchens terutama melihat agama-agama langit yang selama ini dikenal sebagai agama monotheistik, yakni Yahudi, Islam dan Kristen. Namun ia juga mengupas agama-agama lain seperti Hindu dan Buddha.

Ia memulai dengan menjelaskan problematika dalam memahami ‘takdir’ (tentu saja Hitchens tidak menggunakan kata ‘takdir’ – saya pakai kata ini untuk memudahkan saja). Ia ambil contoh: Seorang guru agama mengatakan betapa luar biasanya keadilan Tuhan. Ia ciptakan dedaunan berwarna hijau, sebab mata manusia rupanya paling nyaman melihat warna hijau. Bagi Hitchens, ini salah kaprah. Rasa nyaman melihat warna hijau adalah hasil proses adaptasi mata manusia terhadap lingkungannya yang berwarna hijau, bukan sebaliknya.

Di bagian berikutnya, Hitchens menyoroti kekerasan yang muncul atasnama agama. Ia menggambarkan bahwa agama adalah sumber dorongan sangat besar terhadap timbulnya kekerasan sebagaimana banyak dicatat dalam sejarah. Hitchens mencontohkan beberapa kasus, termasuk (sudah dapat diduga) kasus 911.

Bersama dengan kekerasan ini, agama juga merupakan sumber opresi terhadap kemanusiaan. Agama, kata Hitchens, mengajarkan banyak hal yang mengharuskan manusia memandang dirinya begitu buruk. Ia menggambarkan bagaimana ketiga agama langit mengajarkan bahwa manusia dihadapan Tuhan adalah pendosa, dan bahwa manusia diciptakan dari debu atau lumpur atau gumpalan darah. Menurutnya, seluruh ajaran agama didasarkan pada perendahan manusia sebagai sesuatu yang memang dirancang bermasalah, dan kehidupan bagi manusia semata-mata dimaksudkan sebagai masa tunggu akan datangnya hari kemudian, atau akan datangnya sang juru selamat.

Bagian yang sangat menarik adalah yang mengupas tentang naskah-naskah suci agama. Hitchens membeberkan dengan panjang lebar apa yang dinilainya sebagai cerita-cerita palsu dan fiksional dalam Old Testament (khususnya Musa, 10 perintah Tuhan, dan peristiwa eksodus dari Mesir yang menurutnya mengada-ada), serta keanehan dan kontradiksi yang banyak terdapat dalam New Testament. Hal ini bagi Hitchens adalah bukti yang sangat kuat bahwa agama adalah buatan manusia semata.

Mitos-mitos di kalangan Yahudi dan Kristen, kata Hitchens, banyak disalin begitu saja dalam Al Quran. Islam, tulis Hitchens, ‘builds upon its primitive Jewish and Christian predecessor, selecting a chunk here and a shard there, and thus if these fall, it partly falls also.’ (h. 123).

Di bagian akhir, Hitchens menekankan pentingnya suatu kesadaran baru bahwa agama sudah kehilangan justifikasinya di jaman modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Hitchens secara khusus menyebut ‘the telescope and the micorscope‘ [h. 282] sebagai contoh) bisa memberikan jawaban atas banyak hal penting. Manusia tak lagi memerlukan agama sebagai penjelas. Yang lebih penting lagi kata Hitchens, semua jawaban yang disediakan oleh akal dan rasionalitas itu hanya bisa berguna jika mitos dan agama bisa ditanggalkan.

***

Pada intinya, buku ini berguna bagi siapapun dalam dua kubu: mereka yang atheis, dan mereka yang percaya akan adanya Tuhan. Bagi para atheis, buku ini jelas memberikan referensi yang cukup komprehensif untuk mendukung penolakan atas keberadaan Tuhan dan peran agama. Namun bagi mereka yang bukan atheis, buku ini membeberkan secara lengkap dan mudah dipahami bagaimana seorang atheis berpikir.

Anda berada di posisi yang mana, itu sepenuhnya terserah anda. Tapi saya menutup buku ini sambil bergumam, ‘nice try, Mr. Hitchens‘.

Gaya menulis Hitchens, harus diakui, sangat memukau. Ia memaksa orang untuk terus membaca. Bagi saya ada dua alasan mengapa buku ini begitu dibaca cukup sulit diletakkan. Pertama, di banyak bagian saya mendapati argumen yang mudah untuk disetujui pada tingkat permukaan, namun mengundang pikiran untuk menjelajah lebih jauh dan menyanggahnya. Misalnya, Hitchens betul ketika mengatakan bahwa banyak penganut agama yang terbelenggu pada mitos yang menghalangi mereka untuk berpikir rasional. Yang tidak diselami oleh Hitchens adalah bahwa kehidupan dalam mitos ini kebanyakan adalah produk dari interpretasi yang sempit dan melenceng terhadap agama, dan bukan intensi ajaran agama itu sendiri.

Kedua, buku ini ditulis dengan bahasa yang sangat profokatif dalam membeberkan apa yang dinilainya sebagai keburukan dan kepalsuan agama. Banyak kata-katanya yang kerapkali sangat terasa menjengkelkan. Saya senantiasa terdorong untuk terus mencari halaman demi halaman, apalagi yang akan ditulis Hitchens secara sinis tentang aspek tertentu dalam agama dan kebertuhanan. Entah sengaja entah tidak, Hitchens terasa begitu menjengkelkan ketika ia melompat-lompat dari ilustrasi tentang perilaku individual, ke argumen tentang ajaran agama; atau dari ilustrasi tentang keterbelakangan masyarakat, ke irrasionalitas agama; dan seterusnya. Kejengkelan inilah yang saya nikmati dalam membaca buku ini.

Yang jelas, secara umum bagi saya ada satu keberatan mendasar terhadap cara berpikir ala Hitchens: ia menjadikan penolakannya terhadap sebuah agama sebagai dasar untuk menilai dan selanjutnya menolak seluruh agama…

***

Sebagai penutup, video ceramah Hitchins tentang buku ini cukup menarik untuk disimak.

 

 

***

Tentang buku ini:

Judul: God is not great: How religion poisons everything

Penulis: Christopher Hitchens

Penerbit: Allen & Unwin, NSW

Tahun: 2007

Isi buku:

1: Putting It Mildly
2: Religion Kills
3: A Short Digression On The Pig; or, Why Heaven Hates Ham
4: A Note On Health, To Which Religion May Be Hazardous
5: The Metaphysical Claims of Religion Are False
6: Arguments From Design
7: The Nightmare Of The Old Testament
8: The “New” Testament Exceeds The Evil Of The “Old” One
9: The Koran Is Borrowed From Both Jewish and Christian Myths
10: The Tawdriness Of The Miraculous And The Decline Of Hell
11: Religion’s Corrupt Beginnings
12: A Coda: How Religions End
13: Does Religion Make People Behave Better?
14: There Is No “Eastern” Solution
15: Religion As An Original Sin
16: Is Religion Child Abuse?
17: An Objection Anticipated
18: A Finer Tradition: The Resistance Of The Rational
19: In Conclusion: The Need for a New Enlightenment