Dakwah dan Politik

[Catatan: Ini cuma cerita khayalan. Nama orang dalam cerita cuma rekaan. Kalau ada yang mirip dengan nama di dunia nyata, ya anggap saja rejeki.]

Ihsan sudah lama gelisah. Hatinya bimbang. Kamar tidurnya belakangan kian terasa sempit dan pengab. Padahal udara sih nyaman-nyaman saja. Ini sudah bulan Nopember 1954, dan hujan sudah sejak dua bulan lalu turun. Memang, udara malam kadang terasa agak lebih hangat dibandingkan bulan-bulan lalu. Tapi sebenarnya hujan telah membuat udara terasa bersih. Harusnya Ihsan bisa tidur lebih nyaman. Tapi nyatanya tidak.

Ihsan gelisah bukan karena apa-apa. Ia bingung mau ikut ajakan siapa. Tahun depan, beberapa bulan lagi, akan ada pemilu. Sebagai orang yang sudah memenuhi syarat, Ihsan akan ikut nyoblos. Ia yakin bahwa nyoblos dalam pemilu ini penting sebab ia ingin turut menentukan siapa pemimpinnya. Namanya juga santri, urusan nyoblos dalam pemilu ia nanya kiai. Kalau urusan nyoblos yang lain-lain bisa saja tidak pakai nanya-nanya kiai. Tapi untuk nyoblos yang ini, mending nanya-nanya dulu.

Nah ini dia. Gara-gara itu, mahasiswa tingkat dua di sebuah fakultas kedokteran ini jadi bingung. Dua kiai yang ia tanya memberi jawaban beda-beda. Kiai Umar di pesantren Al-Huda bilang, Ihsan sebaiknya pilih Masyum#, karena partai ini adalah wadah bersama ummat Islam Indonesia yang paling tepat untuk jadi wasilah politik. Tapi Kiai Ali di pesantren An-Nur lain lagi. Beliau nyuruh Ihsan nyoblos partai N# saja. Partai yang baru misah dari Masyum# dua tahun lalu ini, kata Kiai Ali, adalah satu-satunya wadah bagi para ahlussunnah wal-jamaah seperti kita.

Ihsan jadi puyeng. Dua Kiai ini, dua-duanya ia jadikan panutan, kok tumben ngasih nasehat beda-beda. Biasanya nasehat mereka selalu sama. Ya kalaupun ada beda, biasanya cuma beda-beda tipis. Lha ini, urusan nyoblos pemilu kok bedanya jadi rada tebel? Satu nyuruh nyoblos Masyum#, satunya nyuruh milih N#. Bukan cuma pada Ihsan mereka berkata begitu. Dalam tausiyah umum pada masyarakat pun mereka kadang selipkan pesan seperti itu. Jadi mau ikut yang mana ini?

Ya, ya, ya… Ihsan tahu, Kiai Umar akan nyalon jadi anggota lembaga nasional di Jakarta sana dari Masyum#, sedang Kiai Ali bakal nyalon dari N#. Entah mereka akan nyalon untuk Konstituante atau untuk DPR, Ihsan tak tahu persis. Yang sudah terbayang adalah kebingungan: nyoblos partainya Kiai Umar apa partainya Kiai Ali. Ia harus pilih salah satu. Pilih dua-duanya tidak sah (kecuali kalau beliau-beliau itu nyalon untuk dua lembaga yang beda). Tapi kalau tidak pilih keduanya, gak bisa juga. Ia ingin nyoblos, sebab ini bakalan jadi pengalaman pertama ada pemilu di negeri yang baru beberapa tahun lalu merdeka ini. Apa ia mau pilih PN#? Ah, partai sekuler. Kaum santri masak mau nyoblos partainya orang abangan. Kalla! Atau sekalian saja nyoblos PK#, partainya orang-orang komunis itu? Ah, amit-amit. Na’udzubillaahi min dzaalik.

Dalam gundah, akhirnya Ihsan memutuskan untuk melakukan salat istikharah. Ia ingin memohon petunjuk Sang Kuasa agar dapat menentukan pilihan secara lebih mudah. Malam itu ia berwudlu lalu siap-siap untuk salat.

Tapi ketika hendak mulai salat istikharah, Ihsan tercenung. Lah, masak salat istikharah menanyakan hal yang terlalu sederhana, cuma urusan nyoblos. Kenapa tidak sekalian bertanya sesuatu yang lebih besar, yang lebih substansial?

Betul juga. Tapi apa yang lebih substansial itu?

Lama Ihsan duduk diam berpikir di atas sajadah-nya. Aroma parfum merek Hadjar Aswad oleh-oleh Kiai Ali dari tanah suci yang ia usapkan di sajadah tercium samar-samar. Tasbih cendana pemberian Kiai Umar dalam genggamannya meruapkan wewangian lain. Keduanya menemaninya berpikir beberapa lama. Ditimbangnya banyak hal, hingga akhirnya ia bisa menemukan pertanyaan yang tepat. Ah, ternyata mau bertanya saja sulit, apalagi mau menjawab.

Tapi kini Ihsan mantap, dalam salat istikharah ia akan mencari jawaban untuk pertanyaan ini: bisakah politik dan dakwah dituang bersama dalam satu gelas? Ia tahu bahwa Islam adalah kaffah. Ia paham bahwa dakwah dan politik tak bisa dipilih salah satu atau dibuang salah satu. Masalahnya, bisakah keduanya diminum bersamaan dari satu gelas yang sama? Yak, itulah pertanyaannya.

Maka berdirilah ia. “Allahu Akbar…,” ucapnya, dan dimulailah usahanya untuk mencoba melakukan dialog personal dengan Sang Maha Pembimbing.

Usai salat, separuh beban rasanya telah sirna. Maka tidurlah Ihsan malam itu dengan nyenyak, hingga suara tarhim* pagi itu membangunkannya. Bergegas ia wudlu dan pergi ke masjid sebelah untuk salat subuh berjamaah. Hari pun berjalan dalam rutinitas biasa.

Ketika malam tiba, Ihsan mulai gelisah lagi. Mengapa belum ada tanda-tanda jawaban akan pertanyaannya dalam salat istikharah semalam? Mengapa belum ada ilham sama sekali dalam seharian ini untuk dijadikannya sebagai rujukan jawaban? Tilawah Qur’an hari ini juga tak secara khusus bisa ditafsirkannya sebagai jawaban terhadap pertanyaan itu.

“Mungkin harus salat lagi,” batin Ihsan.

Malam itupun ia mengulangi istikharahnya, masih dengan pertanyaan yang sama. Dan malam itupun ia tidur lagi dengan harapan yang sama. Tapi hari esoknya berjalan tetap dalam kekosongan jawaban yang sama. Hari ketiga juga begitu. Esoknya lagi tetap sama. Lusanya juga… dan tak terasa sudah sepuluh malam Ihsan ber-istikharah tanpa menemukan sedikitpun petunjuk yang menenangkan hati.

Malam kesebelas Ihsan salat istikharah lagi dengan keyakinan bahwa jika kali ini tetap belum ada hasil, barangkali memang pertanyaan ini terlalu remeh untuk ditanyakan dalam salat. Atau barangkali jawabannya telah sangat jelas. Entahlah. Dalam gamang yang sempurna, Ihsan ber-takbiratul ihram.

Rampung salat ia tidur dalam kegundahan seperti sebelum salat istikharah di malam pertama. Semua terasa begitu tak jelas. Ia siap-siap kalau tidurnya akan gelisah. Apalagi hujan malam itu deras sekali. Mudah-mudahan tak ada petir yang bisa merusak tidur.

Tapi justru inilah saat. Malam inilah saat datangnya sebuah ilham dalam mimpi yang sama sekali tak diharapkannya. Mimpi itu, rasanya agak janggal. Dalam mimpi itu ia merasa sedang berdiri di atas mimbar sebuah masjid yang sangat indah. Dari atas mimbar itu ia memberikan tausiyah pada jamaah yang tekun mendengarkannya.

“Amma ba’du…,” Ihsan mulai berbicara usai membuka khutbah. “Jamaah rahimakumullah. Politik dan dakwah adalah nafas dan darah bagi ummat Islam.”

Dalam mimpi Ihsan berdeham sedikit, membersihkan tenggorokan. “Tanpa dakwah, kita ini ibarat raga tanpa darah. Tanpa politik, kita ini ibarat makhluk hidup tapi tak bisa bernafas.”

Hadirin manggut-manggut tanda setuju.

Ihsan melanjutkan: “Tanpa dakwah dan tanpa politik, kita sebagai ummat akan ‘laa yamuutu fiiha wa laa yahya‘. Maka kita harus menyeimbangkan kedua-duanya.”

Hadirin makin manggut-manggut. Dan Ihsan dalam mimpi pun kian bersemangat.

“Tapi — ya, tetapi hadirin yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, darah dan nafas itu tak pernah tercampur mentah-mentah dalam raga kita. Memang kedua-duanya nanti akan berujung pada niatan besar yang sama, tapi prosesnya terpisah. Kedua-duanya dianugerahi Allah organ yang berbeda kendati letaknya berdekatan. Kita bernafas dengan paru-paru, dan darah kita diatur oleh jantung.” Ah, iya. Dalam tidurpun si mahasiswa fakultas kedokteran ini masih bisa berceramah tentang anatomi.

“Maka oleh karena itulah,” Ihsan menandaskan dengan yakin, “dakwah dan politik pun tak boleh kita campur sembarangan, sama seperti darah dan nafas yang tak bercampur serampangan dalam perjalanan awalnya.”

Setengah sadar Ihsan berusaha membantah ceramahnya dalam mimpi. Tapi diri yang dalam mimpi tak mau di-interupsi. “Dakwah dan politik memang kita harus punya. Kedua-duanya kita harus punya. Harus! Tapi kedua-duanya itu harus kita atur sebaik-baiknya agar tak tercampur secara salah.”

Diri dalam mimpi itu lalu melempar tanya pada hadirin: “Bagaimanakah pencampuran yang salah itu?”

Dijawabnya sendiri, “untuk mengetahui pencampuran yang salah, kita harus mengetahui pencampuran yang benar.” Ah lumayan, belajar kitab As-Sullam dulu membuatnya bisa bermain-main logika sedikit.

“Pencampuran yang benar,” lanjut Ihsan, “adalah ketika politik dilandasi oleh tujuan-tujuan dakwah. Oleh karena itu, pencampuran yang salah adalah adalah ketika dakwah dicampuri oleh kepentingan-kepentingan politik.”

“Ya sodara-sodara,” Ihsan menaikkan suara, “politik harus dipengaruhi oleh niat dakwah, tapi dakwah tak boleh dipengaruhi oleh niat politik.”

“Mengapa?” Ihsan melempar tanya lagi, “mengapa begitu?”

Pertanyaan retoris ini dijawabnya sendiri. “Sebab politik itu urusan kuasa, dan dakwah itu urusan amar ma’ruf nahi munkar. Politik itu, sodara-sodara, bersifat eksklusif. Dakwah itu, sodara-sodara, bersifat inklusif. Yang inklusif boleh mempengaruhi yang eksklusif dan bukan sebaliknya.”

“Dalam politik, saya bisa mengajak sodara-sodara untuk memilih si A. Orang lain mengajak sodara-sodara memilih si B. Sodara-sodara hanya bisa mengikuti ajakan saya, atau mengikuti ajakan orang lain itu. Tak bisa sodara-sodara ikuti keduanya. Itulah contoh eksklusifitas politik.”

“Tapi dalam dakwah, sodara-sodara, kita bisa ikuti seruan kebaikan sesiapapun. Saya mengajak sodara-sodara salat dan zakat. Orang lain mengajak sodara-sodara puasa dan memperbanyak sodaqah. Kedua-duanya bisa diikuti tanpa saling meniadakan. Itulah inklusifitas dakwah.”

“Jadi hadirin,” Ihsan melemparkan kalimat simpulannya, “kita boleh berpolitik dengan niat dakwah, tapi tak boleh berdakwah dengan niat politik.”

Dilihatnya hadirin mengangguk-angguk mantap. Hatinya senang.

“Wallaahul-muwafiq ilaa aqwaamith-thariq,” Ihsan menutup ceramahnya, “wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.”

… ‘Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaik. Yaa imaamal-mujaahidiin…’ Suara bacaan tarhim* di masjid sebelah membangunkan Ihsan dari mimpi ceramahnya. Ia membuka mata. Masih dalam baring, ia tercenung. Mimpi aneh, pikirnya. Mengapa ia yang memberikan nasehat, dan bukan orang lain yang memberinya nasehat untuk menjawab kegundahan hatinya?

Ia bangun, menyeret kaki ke kamar mandi, lalu berwudlu. Saat wudlu ia berpikir: Ilham bisa datang dengan cara apa saja. Siapa tahu mimpi ceramahnya tadi adalah sebuah ilham yang sebenarnya telah lama bersemayam dalam diri, dan menemukan jalan keluar dalam mimpi. Mimpi tadi adalah jawaban bagi gundahnya.

Alhamdulillah, bisiknya dalam hati. Aku telah menemukan jawaban. Aku akan bermakmum selalu pada Kiai Ali dan Kiai Umar dalam dakwah. Tapi coblosan tahun 1955 nanti, itu urusan lain…

———-
*

* Gambar diambil di: http://bringingtruth.com