Categories
Personal

Demi Menjaga Akhlaq…

Saya benci anjing. Betul. Apalagi kalau anjing itu berukuran besar, berbulu hitam lebat, lidahnya menjulur-julur dan meneteskan liur. Hah… kalau saya melihat anjing seperti itu saat jalan kaki, mending saya belok segera, atau pura-pura menyeberang jalan agar tak berpapasan dengannya.

Semua ini mungkin akibat sebuah pengalaman sedikti traumatis dengan anjing. Waktu kecil di Malang dulu, saya pernah tak sengaja menginjak kotoran anjing. Mengetahu hal itu, ibu saya segera mengambil langkah emergency yang sangat heboh. Saya digiring segera ke dekat keran air. Kaki saya diguyur air sambil terus disuruhnya saya menggosokkan kaki itu ke tanah. “Tujuh kali,” kata ibu saya yang sangat Syafi’iyyah itu, “agar najis besar kotoran anjing itu hilang.” Bukan mencuci tujuh kali-nya yang memberi pengalaman traumatik, melainkan ekspresi wajah ibu saya saat menyebut najis besar terhadap kotoran anjing itu. Ekspresi wajahnya mungkin mirip ekspresi wajah seorang pejuang Hamas saat melihat serdadu Israel atau Amerika.

Maka sejak saat itu saya tidak suka sama anjing…

Tapi Jumat kemarin saya terpaksa mengorbankan kebencian terhadap anjing itu, demi menjaga akhlaq terhadap sesama manusia. Dan ini berakibat sedikit fatal. Hari itu di depan Woolworths di Centro Victoria Park, saya berpapasan dengan seorang nenek-nenek bule berumur sekitar 80-an tahun. Nenek-nenek berambut perak yang wajahnya mirip Queen Elizabeth II ini menuntun seekor pudel kecil yang cantik. Bulunya jelas hasil permak salon anjing yang mahal.

Entah kenapa, pudel yang sebenarnya lucu ini tiba-tiba mendekati saya sambil berteriak-teriak cempreng. Wufff… wuff… Reflek saya menghindar. Biar pudel ini cantik, tapi ia tetap saja anjing. Dan ingat: saya benci anjing.

Tahu pudelnya bergenit-genit mendekati saya, si nenek-nenek malah memberi dorongan: “O Yuppy, you like this gentleman, don’t you“. Halah, namanya Yuppy. Kenapa nama anjing selalu tersimak absurd buat saya?

Hati saya cemas karena didekati seekor anjing. Ingin rasanya saya minggat menghindarinya. Tapi saat itu saya ingat perintah Rasul agar berlaku ramah dan menebar senyum pada semua orang. Ini bagian dari akhlaq. Apalagi pudel ini terikat pada tali-kekang yang tersambung ke tangan seorang nenek-nenek tua. Pasti sedikit senyum dan sapaan ramah akan menyenangkan hati si nenek.

Hi Yuppy,” saya sapa si pudel kecil sambil senyum seramah-ramahnya demi sang nenek (dan demi menjaga akhlaq seperti perintah Rasul itu). “You are such a nice dog…” Harapan saya pudel ini segera pergi.

Tapi fatal, si Yuppy rupanya malah kegeeran saya puji begitu. Tak dinyana, ia nyosor menciumi dan menjilati sepatu kanan saya sambil sedikit bergulung-gulung di ujung celana jeans yang saya pakai. Halah… seketika saya ingat wajah ala ‘Hamas’ yang pernah ditunjukkan oleh ibu dulu. Najis besar…

Sampai di rumah, segera saya cuci celana jeans dan sepatu itu. Tujuh kali, bercampur sabun sebab agak ribet untuk mencampur dengan pasir… Saat memandangi sepatu kulit yang sedang basah merana itu, saya tercenung. Inilah salah satu harga yang harus dibayar, demi berbuat ramah kepada orang lain, demi menjaga akhlaq. 🙂 Semoga cepat kering kau sepatu…