Categories
Personal

Soto Madura di Albany Hwy

Ini cerita lama, yang saya dulu saya pernah tulis di milis Jalansutra, sebuah ajang obrolan para pecinta jalan-jalan dan makan-makan yang inspirasinya dimulai dari tulisan-tulisan Bondan Winarno di rubrik Jalansutra-nya Kompas. Cerita yang saya tulis 23 Januari 2006 ini dimuat ulang di sini, sebab seingat saya dulu belum pernah di-publish di MP atau website saya. Beberapa bagian saya edit sedikit untuk menyesuaikan dengan konteks saat cerita ini dilihat sekarang.

***

Entah kenapa, rasanya kok langka sekali orang Madura di Australia. Saya suka bingung: masak daya rantau orang Madura cuma sebatas Malaysia dan Arab Saudi. Dulu waktu tinggal di Adelaide (1998-2000), rasa-rasanya cuma saya dan Miming istri saya yang orang Madura. Makanya waktu si Perdana lahir, ada teman yang bercanda, “jadi tiga, orang Madura di Australia” … Nah, kalau sampai sekarang berarti ya sudah ada 4 orang Madura di Aussie, sebab ditambah si Afkar… 🙂

Tapi suatu malam di awal 2006 saya mendapat sebuah kejutan yang rada menyenangkan. Pada malam di tengah puncak summer itu saya menemukan masakan Madura yang dibuat oleh orang Madura. Keduanya barang langka di sini.

Begini ceritanya…

Setelah hampir sepuluh bulan lebih saya melakukan penelitian di Indonesia, Januari 2006 kami balik lagi ke Perth. Minggu pertama di kota ini, saya segera resettling in lagi, termasuk ngecek kondisi mobil yang selama kami di Indonesia saya titipkan pada seorang teman. Mobil saya bawa ke bengkel untuk servis lengkap, termasuk menguras radiator coolant-nya dan memastikan AC-nya bekerja sempurna. Maklum summer. Pendingin mesin dan ruangan mobil haruslah dalam kondisi prima.

Nah, di bengkel itu saya dapat cerita dari montirnya bahwa di Albany Highway, tak jauh dari Victoria Park tempat saya tinggal, ada restoran Indonesia baru, bernama Bintang CafĂ©. Letaknya cuma sekitar 20 meter-an dari resto Batavia Corner yang sudah lama ada. Daerah ini sudah masuk suburb East Victoria Park. “Enak-enak mas, makanannya. Mana murah lagi.” Begitu hasut si montir yang orang Indonesia asal Bandung itu.

Maka usai merampungkan urusan health check-nya mobil, malam ini kami dengan tak terlalu direncanakan sebelumnya, memutuskan untuk menuruti hasutan itu dan mencoba restoran baru ini. Sekitar jam 6 sore, saat matahari musim panas masih benderang dan baru akan terbenam 90-an menit lagi, kami berempat keluar dari rumah di Leonard Street, ke utara menuju Albany Hwy dan kemudian belok kanan ke arah timur. Tak sulit menemukan restoran yang sedang kami incar ini, sebab ancer-ancer Batavia Corner itu sangat kami hapal.

Restoran baru ini menempati sebuah los toko berukuran sekitar 6×6 meter, yang terletak di sudut paling luar sebuah kompleks pertokoan kecil di sisi utara Albany Hwy. Cuma ada sekitar 10-an meja di restoran ini, dan malam itu saya lihat sebagian besar mejanya terisi. Restoran ini cukup laris nampaknya.

Menu di Bintang CafĂ© ini standar restoran Indonesia, dengan nasi dan mie goreng, serta rendang dan sate as the must. Bedanya dengan kebanyakan resto lain, di menu terlihat ada juga soto Madura, dengan keterangan ingredient-nya termasuk “beef, egg and tripe”. Lumayan juga saya pikir. Ini kejutan kecil yang manis, sebab biasanya tak lazim ada restoran Indonesia di Perth menawarkan menu soto Madura. Tentu saja daging, telur dan babat itu adalah piranti yang sangat minim buat soto Madura, sebab seharusnya ada juga usus dan paru di situ. Tapi jelas mustahil untuk membuat soto Madura dalam formasi lengkap di sini. Usus jelas-jelas tidak boleh dikonsumsi manusia di Australia…

Malam itu kami putuskan untuk memesan soto Madura dan kwie tiau goreng. Perdana dan Afkar tadi sudah keburu makan malam rada awal, jadinya pada tidak pesan makan. Tapi saya sudah duga, mereka tidak memesan makanan untuk juga menjaga bargaining power agar dibolehkan mengambil masing-masing sekaleng Pepsi 🙂 Kids are kids….

Makanan yang kami pesan rasanya cukup mantap. Buat saya yang senantiasa menempatkan diri sebagai konsumen ketimbang analis kuliner (artinya cuma ada dua jenis makanan: enak atau gak enak), maka rasa soto Madura dan kwie tiau gorengnya cukup lezat. Tapi tidak begitu halnya dengan Miming. Dia bilang, soto Madura-nya dapat nilai 7 saja, tak lebih dari itu. Weh, bagi saya sudah mendekati 9 itu? Rupanya dia ‘mendeteksi’ bahwa soto itu memakai bumbu jadi yang kemungkinan merek Indof**d atau B**boo…  Ah, masak sih? Lidah saya tak bisa membedakan mana bumbu yang asli mana bumbu jadi yang mengandung MSG. Kalaupun pakai bumbu jadi ya tidak apa-apa. Yang penting enak… Tapi buat Miming, masakan dengan bumbu jadi adalah pengkhianatan terhadap ikrar setia para pecinta kuliner sejati.

Usai makan, ketika hendak pulang, Miming menyempatkan diri bertanya pada pemilik Bintang CafĂ© ini, “kok tumben ada menu soto Madura segala, mas?” To our surprise, si owner itu jawab, “ya karena saya orang Madura”. Hah?! Kami tertawa ngakak. Ini kejutan manis kedua di malam itu. Ini orang Madura kelima yang kami ketahui terdampar di benua para kangguru dan koala ini. Hehehe…

Akhirnya, kami kemudian ngobrol-ngobrol sebentar dengan pemilik Bintang CafĂ© ini. Namanya Rudiyanto, dan biasa dipanggil Rudy. Ia orang Sampang yang sudah 10 tahun tinggal di Perth, dan menikah dengan Evana yang berasal dari Solo. Mereka berdua bersama-sama mengelola restoran ini. Yang cukup menyenangkan buat kami adalah obrolan dengan Rudy itu dilakukan dalam bahasa Madura. Kendati dengan dua dialek berbeda (satu dialek Sumenep dan satu dialek Sampang — dengan perbedaan yang kerap berpotensi menimbulkan sedikit kekacauan komunikasi), tapi rasanya lucu saja ngobrol pakai bahasa Madura nun jauh di sini.

Rudy ini tadinya kerja di hotel, paling lama di Hilton, sebelum memutuskan untuk membuka bisnis sendiri bersama istrinya. Sebentar dia sempat buka café di Northbridge. Tapi di sana sewanya kemahalan, $7,500 sebulan. Dia lalu dia mencari tempat yang lebih murah, dan mendapatkan tempat yang sekarang dia pakai, dengan sewa cuma $1,400 sebulan.

Dari Bintang CafĂ©, malam itu, dua tahun lalu itu, pun kami pulang dengan perasaan sedikit lega. Rasanya kami jadi ingin membuat ikatan keluarga Madura di Perth (or something like that). Kan lumayan sudah ada 5 orang anggota. Masak kalah sama keluarga Palembang, keluarga Padang, keluarga Sunda… 🙂 * racist mode: on*