Categories
Buku Sejarah

Gajah Mada

Salah satu target saya yang utama semenjak kembali ke Jogja beberapa waktu lalu adalah mengenali lagi peta kuliner kota tercinta. Target utama lainnya adalah melengkapi rak buku dengan koleksi novel-novel karya satrawan negeri sendiri, yang selama empat tahun saya berada di Perth sangat minim updating.

Yang paling saya gemari tetaplah novel sejarah, yang senantiasa menjadi candu paling menyenangkan ditengah kepenatan pekerjaan. Saya selalu menikmati ekstase yang terasakan saat membaca novel-novel sajarah yang ditulis sangat kuat oleh para sastrawan besar. Sebut saja novel Arus Balik-nya Pramudya Ananta Toer. Novel ini membuat saya sedih ketika membalikkan halaman terakhir, berharap pitutur di dalamnya tak segera usai. Atau bacalah novel Sam Po Kong: Perjalanan Pertama karya Remy Sylado. Betapa memukau, sehingga dulu saya sanggup menenggelamkan diri dalam buku yang tebalnya lebih dari 1000 halaman itu dan menyelesaikannya hanya dalam dua hari. (Sayang, novel terbaru penulis ini tentang Pangeran Diponegoro tak terlalu ‘bertenaga’ seperti karyanya tentang Cheng Ho itu). Tengok juga kekuatan bercerita Romo Mangun dalam trilogi Roro Mendut – Genduk Duku – Lusi Lindri. Di sana saya banyak temukan ilham dalam memahami sejarah Mataram dan worldview orang Jawa. Juga, betapa kuatnya perubahan sosial di Jepang pada era Tokugawa tergambarkan dalam novel Musashi karya Eiji Yoshikawa yang bahkan lebih tebal dari Pelayaran Pertama itu. Bacalah, jika anda belum membacanya.

Yang terakhir saya lengkapi adalah seri novel tentang Gajah Mada, karya Langit Kresna Hariadi. Novel ini terbit pertama kali tahun 2004, beberapa bulan setelah saya meninggalkan Jogja. Tahun 2005 ketika saya melakukan penelitian lapangan di Manado, sempat saya lihat seri pertama novel ini di Gramedia. Sayangnya saya tak langsung membeli saat itu, dan akhirnya terlupakan karena sempitnya waktu hingga saya kembali ke Perth. Ketika melihat seri lengkap novel ini di toko buku Social Agency beberapa waktu lalu, tanpa ragu saya borong semuanya. Diskon 20% yang selalu diberikan oleh toko buku ini lumayan mengurangi tingkat kerusakan dompet untuk membayarnya.

Sejak buku pertama terbit hingga tahun 2007, novel ini telah berkembang menjadi 5 (lima) buku yang masing-masing menuturkan kronologi perjalanan hidup sang Mahapatih. Buku pertama (yang berjudul Gajah Mada) mengenalkan sang tokoh semenjak ia masih seorang bekel muda yang gagah dan menonjol, dan bagaimana ia mulai terlibat dalam intrik-intrik kekuasaan yang melibatkan para bangsawan tinggi kerajaan Majapahit.

Buku kedua, berjudul Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara dan terbit pertama kali Februari 2006, mulai mengisahkan peran Gajah Mada dalam menyelamatkan Majapahit dari perpecahan akibat ketegangan yang berlanjut. Yang menarik, dalam buku kedua ini ada bonus peta lanskap kompleks istana Majapahit berukuran cuku besar.

Di buku ketiga, berjudul Gajah Mada: Hamukti Palapa yang terbit pertama kali Juli 2006, dituturkan tentang lahirnya sumpah Palapa yang legendaris itu, beserta konteks-konteks lahirnya ikrar ekspansionis tersebut. Dalam buku ini, terdapat bonus sebuah booklet berisikan saduran kitab Negarakertagama.

Buku keempat, yang agak lebih tipis dibandingkan keempat buku lainnya, membeberkan sebuah kisah yang kelak akan menjadi akar ketegangan kultural antara dua etnis besar di Indonesia, Jawa dan Sunda. Buku ini berjudul Gajah Mada: Perang Bubat (terbit pertama kali September 2006). Seperti judulnya, buku ini menggambarkan silang-silang ambisi, asmara, dan tipudaya politik yang berujung pada meletusnya Perang Bubat yang kisahnya berpangkal pada seorang putri jelita bernama Dyah Pitaloka.

Buku terakhir, Gajah Mada: Madakaripura Hamukti Moksa (terbit pertama kali Mei 2007), melukiskan era akhir dari kejayaan sang Mahapatih. Gajah Mada digambarkan sebagai pihak yang banyak menerima tudingan kekesalan dari banyak orang, akibat gegar politik seusai Perang Bubat. Sang tokoh harus menelan pil pahit. Ia tersingkir dari posisi politik utama dan harus menjalani senjakala hidupnya dalam sepi. Tapi Majapahit pun tak bisa bergembira sepeninggal tokoh ambisius ini…