Categories
Politik Sejarah

Kail-mengail Koalisi

[Teropong, Radar Jogja]

Pemilu legislatif yang baru saja digelar memberikan banyak kejutan. Paling tidak ada dua kejutan yang muncul dalam pemilu 9 April kemarin. Pertama, kemenangan luar biasa Partai Demokrat. Kedua, perolehan partai Islam yang secara total cenderung turun.

Kemenangan Partai Demokrat secara otomatik merubah peta konstelasi politik yang ada. Saat ini, kesempatan koalisi dengan Partai Golkar terbuka lebar. Partai Islam dengan perolehan suara terbesar, PKS sudah mengindikasikan keinginan kuatnya menjalin koalisi dengan Partai Demokrat. Sayangnya, langkah PKS mendekatkan diri dengan Partai Demokrat sedikit terhenti dengan dengan pernyataan bernada mengancam yang dikeluarkan Sekjen PKS Anis Matta.

Statement PKS yang menolak keikutsertaan Golkar dalam koalisi bersama Partai Demokrat adalah langkah yang terlalu awal dan cenderung sembrono. Saat ini, tidak ada partai manapun yangn berada dalam posisi bisa mendikte Partai Demokrat dan SBY. Bisa dikatakan, SBY memegang kartu as untuk koalisi. Dengan demikian, dia memiliki independensi dalam menentukan rekan koalisinya.

Tentu saja, SBY dalam waktu dekat harus mengeliarkan pernyataan terkait dengan koalisi. Hal ini penting dilakukan karena suhu politik yang kian memanas. Sikap diam tanpa memberikan indikasi yang jelas bisa merugikanposisi SBY yang sebenarnya aling kuat saat ini. Untuk bisa mengajukan paket capres-cawapres, Partai Demokrat hanya butuh ‘sumbangan’ lima persen suara, dan ini bisa didapat dari partai mana saja. Posisi PKS dengan delapan persen tidak cukup kuat untuk memberikan statemen bernada mengancam.

Pernyataan politik SBY terkait koalisi tidak harus disampaikan secara terbuka dan gamblang dengan menyebut partai mana saja. Tetapi, penting bagi dia (SBY) untuk memberikan indikator koalisi yang ingin dibangunnya. Tanpa statemen seperti itu dari SBY, arah koalisi tidak akan menemukan titik terang. Diam tanpa memberikan preferensi partai mana saja (atau partai seperti apa) akan membuat SBY dan Partai Demokrat kehilangan momentum.

Demi keseimbangan dalam koalisi, SBY akan tetap membutuhkan dukungan partai Islam. Tapi tidak harus diwakili PKS. SBY bisa saja memilih PKB atau partai Islam lain yang menunjukkan sinyal positif padanya. Gertakan PKS malah berpotensi membuat SBY menarik kembali rencana koalisinya dengan PKS.

Kubu Golkar sendiri masih belum satu suara mengenai koalisi dengan Partai Demokrat. Akbar Tanjung mengingatkan JK agar tetap mantap maju sebagai capres, sementara HB X menunjukkan indikasi kuat bergabung ke dalam kubu Megawati.

Kubu Mega akan menjadi tandingan terkuat Partai Demokrat. Tapi pressure dan effort yang harus dilakukan Mega jauh lebih kuat. Perbedaan suara PDI-P dan Partai Demokrat sekitar lima persen cukup signifikan. Karena itu, Mega harus benar-benar memikirkan koalisinya dengan matang dan penuh pertimbangan kalkulatif.

Salah satu langkah yang bisa ditempuh Mega adalah membangun koalisi dengan partai baru yang cukup kuat seperti Gerindra atau Hanura. Kedua partai belum punya basis massa dan kendaraan politik yang kuat namun mereka punya figur yang cukup menonjol dan komunikasi politik yang efektif. Apalagi kedatangan mereka sering dikaitkan dengan pembaharuan.

Yang jelas, saat-saat sekarang ini, kita semua masih harus membaca perkembangan yang ada. Setiap kemungkinan koalisi masih mungkin terjadi. Masih terlalu awal menentukan bentuk koalisi ideal seperti apa yang akan terbentuk, tapi sampai saat ini, terdapat indikasi yang cukup kuat untuk membangun koalisi antara partai nasionalis dengan Islam moderat. (Seperti dituturkan kepada Lutfi Rakhmawati)*