Categories
Politik Sejarah

Pancasila Memang Bukan Kecelakaan Sejarah

[Kedaulatan Rakyat, 5/5/2009]

Saya membaca artikel opini yang ditulis oleh Pak Slamet Sutrisno di KR (30/4/2009) dengan penuh minat. Artikel berjudul Pancasila: Kecelakaan Sejarah atau Keniscayaan? itu sangat menarik. Di dalam artikel ini, Pak Slamet menulis bahwa dalam sebuah diskusi buku tanggal 23 April 2009 di kampus UGM, Karim A. Ghofur mengatakan bahwa Pancasila adalah sebuah kecelakaan sejarah.

Ini menarik karena dalam diskusi buku karya As’ad Said Ali (Wakil Kepala BIN) berjudul Negara Pancasila tanggal 23 April lalu itu, saya lah yang menjadi pembahas, di samping Pak As’ad sendiri. Tak ada pembicara bernama Karim A. Ghofur dalam forum itu. Barangkali yang dimaksud oleh Pak Slamet adalah saya (Abdul Gaffar Karim) namun beliau salah tulis. Maka dalam hal ini, catatan pertama saya tentang artikel beliau adalah betapa tidak akuratnya perujukan nama orang di sana, apalagi terkait dengan statement yang memiliki implikasi serius.

Jika inakurasi penyebutan nama ini sangat mengganggu, maka inakurasi kutipan atas pendapat saya jauh lebih mengganggu lagi. Maka inilah catatan kedua saya (sekali lagi dengan mengasumsikan bahwa memang saya lah yang sebenarnya dimaksudkan oleh Pak Slamet): dalam forum itu saya sama sekali tak pernah mengatakan bahwa Pancasila adalah sebuah kecelakaan sejarah (sebagai kontras dari ‘keniscayaan sejarah’). Dalam diskusi itu, saya memang berkali-kali menyebut frasa ‘kecelakaan sejarah’, namun sama sekali bukan dalam konteks bahwa Pancasila memiliki makna seperti itu bagi bangsa Indonesia. Andai memang Pancasila saya sebutkan sebagai sebuah kecelakaan sejarah, tentu dalam forum (yang dihadiri secara terbatas oleh para pakar termasuk sejarawan dan ahli filsataf) itu akan ada banyak yang menentang pendapat saya. Sebab, argumen bahwa Pancasila adalah sebuah kecelakaan sejarah sangatlah tidak berdasar.

Yang saya sampaikan dalam forum itu adalah bahwa Pancasila dalam formulasi sebagaimana yang kita kenal sekarang, hadir akibat beberapa kecelakaan sejarah, dan bukan hasil keputusan yang bersifat sepenuhnya ‘normal’ dari suatu institusi yang memang memiliki kewenangan untuk menetapkan dasar negara secara prosedural. Saya analogikan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan Pancasila hingga saat ini belum dilandasi oleh ijab qabul yang final dan mengikat. Jadi, ‘kecelakaan sejarah’ yang saya maksudkan adalah kejadian yang melingkupi eksistensi Pancasila, dan bukan Pancasila itu sendiri.

Momen historis pertama yang menghadirkan Pancasila dalam formulasi sebagaimana yang kita kenal sekarang, adalah yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 malam. Ketika itu, sejumlah tokoh mendesak para founding fathers untuk mengubah sila pertama ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ agar tak lagi mencantumkan ketujuh kata setelah ‘Ketuhanan’. Dalam keadaan serba lekas, maka sila itu segera diubah menjadi ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Ruang waktu yang dimiliki oleh para pendiri negara kita saat melahirkan keputusan besar yang akan sangat mengubah arah bangsa Indonesia ini sangatlah terbatas. Keputusan ini tidaklah didasarkan pada pembahasan yang sungguh-sungguh tenang dan leluasa. Memang, pada akhirnya keputusan ini terbukti menghasilkan sila lebih baik ketimbang rumusan semula, kendati rumusan itu tetap menyiratkan adanya judeo-christian-islamic bias dengan konsep Tuhan yang tunggal seperti terkandung dalam frasa ‘Maha Esa’. Saya belum cukup teryakinkan bahwa ‘esa’ itu berarti ‘kuasa’ dan bukan ‘satu’ (seperti juga disebut-sebut oleh Pak Slamet dengan merujuk kolega saya Ari Dwipayana). Sebuah contoh dalam sejarah, beberapa etnis di semenanjung utara pulau Sulawesi menyatukan diri menjadi satu etnis lebih besar, dan penyatuan itu disebut sebagai Mina Esa (= menjadi satu). Kelak, Mina Esa ini akan dikenal sebagai Minahasa.

Momen historis berikutnya adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menetapkan untuk kembali ke UUD 1945 dan membubarkan Konstituante – yang karenanya menghentikan upaya perumusan sebuah konstitusi baru serta penyepakatan dasar negara yang tengah berlangsung di lembaga ini. Dalam pelajaran sejarah konvensional, kita diberitahu bahwa Konstituante gagal melaksanakan tugasnya, sehingga terpaksa dibubarkan. Kita juga diberitahu bahwa BK tak begitu suka dengan sistem parlementer yang saat itu berlaku, dan ingin berkuasa penuh dalam sistem presidensiil sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945. Dengan merujuk beberapa buku, termasuk karya Endang Syaifuddin Anshari dan Adnan Buyung Nasution, saya menyampaikan bahwa kedua hal itu tidak sepenuhnya benar. Konstituante tak bisa dibilang gagal (sebab tak lama lagi sudah akan voting tentang pilihan dasar negara: Pancasila atau Islam), dan BK sebenarnya cukup menikmati sistem parlementer yang tak mengharuskannya mengelola pemerintahan secara langsung. Desakan dari beberapa kalangan, termasuk PNI dan TNI lah yang akhirnya meyakinkan BK untuk mengambil keputusan bersejarah di tahun 1959 itu. Terkukuhkanlah lagi Pancasila, dalam sebuah mekanisme pengambilan keputusan yang sejatinya agak menyimpang.

Semenjak itu, dasar negara tak pernah dibicarakan secara cukup leluasa. Manajemen politik pemerintahan otoriter (baik BK atau Soeharto dengan langgamnya sendiri-sendiri) menutup perdebatan tentang dasar negara. Alih-alih, keduanya sibuk dengan proyek tafsir tunggal bagi Pancasila lewat indoktrinasi masing-masing. Tak ayal, Pancasila dalam formulasi sebagaimana yang kita kenal sekarang hadir akibat kejadian yang serba darurat, dan itulah yang saya andaikan sebagai suatu ‘kecelakaan sejarah’.

Mudah-mudahan ini cukup memberikan klarifikasi bahwa saya tak pernah mengatakan bahwa Pancasila adalah kecelakaan sejarah bagi bangsa Indonesia.

Ke depan, agenda bangsa Indonesia adalah untuk memastikan agar Pancasila segera disajikan dalam sebuah forum yang ‘normal’ sebagai ajang untuk secara bottom-up membangun kesepakatan bersama tentang Pancasila sebagai dasar negara. Ini sangat mendesak, sebelum persoalan menjadi kian ruwet – semisal akibat makin menguatnya gerakan transnasionalisme agama di Indonesia yang dalam jangka panjang berpotensi menyulitkan posisi Pancasila sebagai dasar negara.

Wallahu a’lam bissawab.