Categories
Agama Politik Sejarah

Nuansa Hijau di Kampus Biru*

Keterbatasan tak jarang mendorong lahirnya kreatifitas yang luar biasa. Dalam keadaan yang serba dibatasi oleh lingkungan, manusia biasanya melahirkan ide-ide dan tindakan yang mengagumkan. Begitulah kiranya keadaan yang paling bisa menggambarkan menguatnya gerakan Islam di kampus sekuler seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta sejak pertengahan 1970-an.

Pembatasan dan eksklusi politik yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru saat itu sangat membelenggu sektor populer (termasuk kampus perguruan tinggi) dalam memainkan peran politik tradisional mereka. Strategi Orde Baru adalah memotong akses tradisional setiap kekuatan politik untuk memudahkan penguasa meletakkan mereka dalam kendali efektif. UGM yang merupakan kampus sekuler dengan dominasi gerakan nasionalis dan sosialis dikendalikan penguasa dengan cara membatasi ruang gerak dan ide kelompok-kelompok tersebut. Praktis pada masa itu, ruang leluasa bagi gerakan mahasiswa di UGM cuma tersedia di kegiatan-kegiatan keagamaan yang non-politis. Melanjutkan gaung dari Gerakan Salman di Bandung, di UGM pada paruh kedua tahun 1970-an berdirilah Jamaah Shalahuddin (JS) yang kemudian menandai era baru dalam gerakan mahasiswa Islam di kampus UGM.**

Catatan pengantar ini hendak mendiskusikan beberapa aspek penting dalam gerakan mahasiswa Islam di kampus UGM. Namun demikian, satu hal yang saya kira perlu digaris-bawahi. Kecuali studi singkat tentang JS yang saya lakukan untuk menulis thesis MA beberapa tahun lalu, sebenarnya tak ada penelitian akademik yang saya lakukan tentang gerakan mahasiswa Islam di kampus UGM. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya hendak mendiskusikan gerakan mahasiswa Islam di UGM ini dari perspektif seorang awam dalam melihat lingkungan yang selama 20 tahun terakhir ini ditinggalinya. Catatan ini adalah renungan seorang amatir tentang lingkungannya.

Pandangan Pribadi atas Sebuah Sejarah

Saya tidak cukup yakin, kelompok sosial-demografis macam apa yang saya wakili ketika tahun 1989 menginjakkan kaki pertama kali ke kampus UGM. Namun yang jelas, saya berasal dari sebuah kota kecil dengan lingkungan Nahdliyin yang cukup aktif dan boleh dibilang fanatik. Secara pribadi, saya memandang diri sebagai orang yang harus selalu berada di lingkungan yang agamis agar tak mudah larut dalam kemaksiatan yang jelas-jelas mengintai di setiap sudut kota besar. Itulah yang terbayang di benak saya, ketika waktu itu, hanya beberapa hari setelah sampai di Yogyakarta dan mendaftar ulang sebagai mahasiswa UGM, segera mencari tahu dimana tempat untuk turut dalam pengajian dan aktifitas keagamaan lainya di kampus ini. Pencaharian tersebut membawa saya ke dua tempat, yakni Masjid Mardiyah tak jauh dari RSUP Dr. Sardjito, dan Gelanggang Mahasiswa UGM tempat sekretariat JS berada waktu itu (harap dicatat bahwa Masjid Kampus UGM yang megah itu baru berdiri 11 tahun kemudian).

Di Gelanggang, saya segera bergabung dengan kajian tafsir hari Jumat pagi yang diasuh oleh Pak Yunahar Ilyas. Tentu saja, saya berusaha tak melewatkan salat Jumat di tempat ini, yang selalu menghadirkan tokoh-tokoh terkenal (termasuk seorang tokoh yang menjadi inspirasi saya untuk masuk ke UGM, yakni Dr. Amien Rais) sebagai khatib. Kendati tak cukup tertarik untuk melibatkan diri secara aktif dalam lembaga ini, saya bergaul cukup dekat dengan aktifis-aktifisnya. Waktu itu, saya menemukan paling tidak dua karakter khas dan menarik dari orang-orang di JS.

Pertama, sebagian besar mereka (kalau bukan semuanya), menampakkan identitas diri sebagai ‘netral’, dalam arti tak terkait atau terikat pada pengelompokan sosial NU dan Muhammadiyah. Kalangan ini jelas sekali berusaha mencitrakan diri sebagai kelompok yang mengutamakan identitas diniyah sebagai Muslim embel-embel apapun. Mereka menilai, umat Islam harus bersatu dalam shaf yang satu dan tak tercerai-berai oleh pengelompokan lama yang tidak produktif. Mereka, oleh karenanya, selalu saya nilai sebagai ‘santri baru’ yang unik. Tentu saja, saya saat itu belum memiliki cukup perspektif untuk menilai bahwa ‘netralitas’ ini adalah bagian dari embrio kelompok baru yang kelak akan bermanifes dan menambahi warna di atas peta pengelompokan Islam di Indonesia.

Kedua, banyak dari mereka yang bagi saya nampak ‘melompat’. Saya terbiasa di lingkungan kampung saya, dimana orang mempelajari dan mendiskusikan agama sesuai dengan tingkat penguasaan ilmunya masing-masing. Saat belajar fiqh, misalnya, seorang santri akan urut mulai dari thaharah (cara bersuci, baik dari najis maupun hadats). Mereka fokus betul di situ, mulai dari penguasaan ilmu hingga prakteknya. Sebelum rampung menguasai aspek thaharah, mereka tak akan melompat membicarakan topik besar seperti tauhid. Tapi yang saya temui di Gelanggang Mahasiswa UGM kerap sebaliknya. Banyak teman yang saya lihat masih melakukan wudlu’ dengan cara yang tidak sempurna, namun saat berdiskusi bisa begitu canggihnya berbicara tentang tauhid uluhiyah. Saya waktu itu kerap tertegun karenanya. Para ‘santri baru’ ini, demikian menurut saya ketika itu, benar-benar sembrono dan tidak urut dalam mempelajari agama.

Pemahaman saya tentang para santri baru ini mulai lebih utuh ketika perspektif saya tentang gerakan Islam mulai meluas, dan sekaligus interaksi dengan mereka mulai sedikit berjarak. Hingga awal tahun 1990-an, kelompok ini masih terlihat non politis dan benar-benar fokus pada kegiatan diniyah — setidaknya demikian bagi pengamat yang tidak cukup jeli. Ruang-ruang politis dalam gerakan kemahasiswaan lebih banyak dinisbahkan pada kelompok ekstra kampus seperti HMI dan PMII yang memiliki ideologi, struktur lembaga dan gerakan, serta basis sosial yang telah sangat jelas. JS, hingga masa itu, tampak lebih sibuk dalam upaya untuk menyebarkan dakwah kampus yang inklusif.

Namun dengan segera kesan itu akan memudar jika JS diamati lebih dekat. Pada paruh kedua tahun 1990-an mulai terasa suasana persaingan yang kian meningkat, di mana JS bukan saja terlibat amat aktif di dalamnya, namun juga menjadi insiator intonasi persaingan yang menguat. Upaya-upaya politik untuk menguasai struktur mahasiswa oleh kelompok tertentu yang menamakan diri Partai Bunderan kian terlihat. Namun demikian, identitas kelompok baru ini juga tidak selalu jelas bagi publik pada umumnya. Mereka yang berkecimpung langsung dalam gerakan mahasiswa mengetahui persis apa dan siapa kekuatan baru yang mulai mendominasi badan kemahasiswaan intra kampus baik di level universitas maupun level fakultas ini. Namun pihak luar tak selalu mudah membaca peta yang perlahan menjadi kian jelas ini.

Pada saat yang sama, muncul pula kelompok lain yang memiliki visi politik sangat berbeda dibandingkan dengan kalangan dominan di JS. Kelompok ini secara perlahan kian kasatmata bagi publik awam, kendati pada masa-masa ini masih tak terlalu eksplisit menyuarakan penolakannya pada konsep negara-bangsa serta upaya sistematisnya untuk menjadi bagian dari sebuah Khilafah Islamiyah yang kosmopolit. Kelompok ini jelas-jelas berpeluang (dan kelak akan betul-betul muncul sebagai) pesaing paling penting bagi kelompok yang semula mendominasi JS.

Pada akhir tahun tahun 1990-an, pergeseran yang luar biasa dalam setting politik nasional melahirkan peluang baru bagi politik akar-rumput di Indonesia, dan gaungnya jelas terasa sepenuhnya di UGM. Kelompok-kelompok mahasiswa Islam di UGM pun memperoleh peluang yang tak pernah terjadi sebelumnya untuk menampilkan diri secara eksplisit. Kelompok dominan di JS segera turut menampilkan diri dalam KAMMI, yang selanjutnya menegaskan afiliasi politiknya dengan PK (kemudian PKS). Afiliasi sosial dan intelektual terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) yang pada era sebelumnya hanya secara samar-samar dan internal diekspresikan, kini mulai berani ditampilkan secara eksplisit pada publik. Pada saat yang sama, afiliasi pada kepentingan politik dan kepartaian nasional juga kian tegas ditampilkan, dan hal ini kemudian turut memperkaya nuansa rivalitas antara gerakan mahasiswa di kampus.

Yang sangat menarik buat saya belakangan, kekuatan penyokong ide khilafah yang menolak demokrasi ala Barat, yakni HTI, tak lama kemudian kian menampakkan eksistensinya di JS, dan secara unik mampu membangun kerjasama-kerjasama programatik dengan kelompok dominan yang berafiliasi pada Ikhwanul Musliminisme di sana. Tentu saja ada rivalitas dan ketegangan yang tetap sangat terasa, namun koeksistensi keduanya dalam lembaga yang sama merupakan sebuah fenomena menarik, mengingat visi politik mereka yang sangat berseberangan.

Yang penting untuk dicatat, sebagai pemerhati awam saya tak melihat relevansi yang sangat kuat dari organisasi seperti HMI dan PMII dalam setting politik kemahasiswaan di kampus UGM. Barangkali orientasi mereka yang lebih bersifat keluar menyebabkan kehadiran mereka di kampus menjadi tidak semenonjol KAMMI dan HTI yang memang sangat serius mengarap lahan mahasiswa ini sebagai target sekaligus media dakwah. Hal yang sama juga terjadi pada kalangan Islam liberal yang secara nasional mulai menguat sejak pertengahan tahun 1990-an. Gerakan ini tak menjelma menjadi kekuatan mahasiswa Islam yang secara signifikan mampu mengimbangi dominasi tradisional KAMMI dalam gerakan mahasiswa Islam di kampus UGM, baik pada aras wacana maupun pada aras tindakan.

Catatan Penutup

Beberapa saat menjelang pemilu legislatif yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009, saya melihat beberapa kejutan yang mengesankan terkait dengan gerakan mahasiswa di kampus UGM. Kejutan pertama terjadi di dunia maya. Di sebuah situs pertemanan yang saya ikuti, seseorang muncul memperkenalkan diri dan memberikan invitasi untuk menjadi kontak saya. Segera saya setujui invitasi itu, setelah melihat profil orang itu. Tak lama kemudian ia muncul menyapa saya, menyebutkan nama dan afiliasinya. Yang paling menarik, ia menyebut diri sebagai “aktifis JS, tapi bukan kader PKS”. Belakangan saya tahu, yang dimaksud ialah dia warga HTI yang juga aktif di JS. Beberapa kali saya bertemu dia saat salat jamaah di Masjid Kampus atau di forum diskusi, dan kehadiran sosok seperti ini di JS menegaskan perkembangan koeksistensi sebagaimana saya sebutkan pada bagian terdahulu.

Kejutan lain saya temui di spanduk BEM UGM yang terbentang di beberapa titik lokasi di kampus. Spanduk itu menyebutkan semboyan BEM UGM yang “Konsisten Melayani”. Pilihan kata ini sontak menarik perhatian saya karena dua alasan. Pertama, slogan ini memiliki nuansa berbeda dari slogan-slogan terdahulu yang cenderung bernuansakan ‘perlawanan’ dan tekad untuk berubah. Slogan ini mengesankan konservatisme kekuasaan. Kedua, sangat sulit untuk tak mengaitkan slogan ini dengan milik PKS yang berbunyi”Terus Melayani”. Tak bisa tidak, ini menegaskan peta politik mahasiswa di kampus UGM yang tak bisa dipungkiri memang didominasi oleh KAMMI yang berafiliasi dengan PKS. Namun yang paling menarik, ini mengindikasikan kian tak disangkalnya afiliasi politik tersebut oleh gerakan mahasiswa di kampus. Pertanyaannya kini, apakah ‘pengakuan’ ini didasari oleh kalkulasi politik yang matang berjangka-panjang ataukah sekadar impuls kegairahan politik mahasiswa? Itulah salah satu hal yang perlu terus dikaji dan akan menjadi tema menarik dalam lingkup analisis tentang gerakan mahasiswa Islam di kampus UGM. Yang jelas, nuansa hijau di kampus biru itu telah melewati rentang sejarah panjang. Ke arah mana nuansa hijau ini akan tumbuh, mari kita amati bersama.

Wallahu a’lam bissawab.

————————-

*Catatan pengantar untuk buku karya Claudia Saluz, Dinamika Gerakan Mahasiswa Islam (2009).

** Jamaah Shalahuddin tak cukup banyak dikaji dalam dunia akademik. Salah satu di antara sedikit publikasi ilmiah tentang JS dapat dibaca dalam Abdul Gaffar Karim, 2006, “Jamaah Shalahuddin: Islamic Student Organisation in Indonesia’s New Order, The Flinders Journal of History and Politics, vol. 23. Riset tentang kelompok ini yang dilakukan oleh Claudia Saluz untuk disertasinya sungguh merupakan apresiasi akademik terhadap JS yang sudah sejak lama seharusnya muncul.