Categories
Agama Sosial

Fitrah Islam Indonesia

Beberapa waktu yang lalu saya membeli buku karya Sadanand Dume berjudul Teman saya yang fanatik: membongkar jaringan Islam garis keras di Indonesia. Buku yang dalam dalam Bahasa Inggris terbit tahun lalu dengan judul My friend the fanatic ini berisi catatan penulisnya tentang Islam di Indonesia berdasarkan persentuhan pribadinya dengan sejumlah orang dan kelompok Muslim di negeri ini.

Kecuali cara penulisannya yang sangat bertutur (dan karenanya jadi menarik untuk terus disimak halaman demi halaman), tak ada yang terlalu istimewa dari isi buku ini. Kisah dan fakta yang terdapat di dalamnya biasa saja; tak ada yang baru bagi yang cukup gemar mengamati perkembangan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Namun ada satu aspek yang luar biasa dalam buku ini, yakni kekuatannya untuk mengajak saya merenung dan mengingat kembali tentang betapa uniknya Islam di Indonesia. Bab demi bab yang melompat dari satu setting sosial ke setting sosial lainnya, mendorong pembaca untuk mencari benang merah yang menyamakan karakter Islam di berbagai tempat di kepulauan ini.

Karakter utama Islam di Indonesia adalah paduan yang luar biasa harmonis antara sebuah kultur ‘transnasionalis’ dengan tradisi-tradisi lokal. Kutipan Dume atas karya antropolog Clifford Geertz saat membandingkan Islam di Indonesia dan Morocco sungguh pas: Islam di Indonesia mencocokkan diri dengan peradaban yang telah ada, ketimbang membangun sendiri peradaban yang terpisah. Pencampuran yang unik antara nilai baru sebuah agama global dengan peradaban lokal yang telah lama hidup dan berakar telah menghasilkan Islam Indonesia yang tak melulu harus sibuk dengan simbolisasi ke-Arab-an. Saat esensi agama diambil, sebagian simbolisasinya dicarikan dalam konteks lokal.

Dengan kata lain, Islam di Indonesia adalah agama yang membawa kontribusi pada peradaban yang sudah kaya dan majemuk. Ketimbang merubah sama sekali peradaban itu, Islam lebih banyak memperkaya nuansa di dalamnya. Ini persis sama seperti watak kuliner Indonesia. Kita menerima masakan khas Arab, India, Cina, Eropa, dan sebagainya. Namun ketimbang sama sekali menelan mentah-mentah menu impor itu, bangsa Indonesia cenderung memodifikasinya sehingga jadilah masakan yang tak sepenuhnya sama dengan masakan di negeri asalnya. Dalam hal ini saya teringat sebuah penjelasan yang secara tak sengaja muncul dan saya ungkapkan tentang kuah kari, kepada seorang peneliti dari Belanda yang sedang mengamati Islam di Indonesia beberapa bulan lalu. Padanya saya katakan: “Islam di Indonesia sama seperti kuah kari ayam ini. Kari memang berasal dari India. Kami menerima dan mengadaptasinya menjadi kari seperti yang kau lihat. Adaptasi itu menjadikan kuah kari ini benuansa lain dari yang ada di India, tanpa harus kehilangan karakter dasarnya. Itulah Indonesia: kami menyerap, dan kami memodifikasi.”

Kemampuan komunitas sosial Indonesia untuk menyerap dan memodifikasi inilah yang antara lain turut menyebabkan proses penyerapan Islam di Jawa mungkin tersimak berjalan lambat; sedemikian rupa sehingga sejarawan Ricklefs menyebutkan bahwa hingga 6 abad pun Jawa masih dalam proses Islamisasi. Dalam catatannya di sebuah situs jaringan sosial, Martin van Bruinessen menekankan betapa gerakan transnasionalis seperti Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin pun sedikit banyak mengalami proses penyerapan dan adaptasi itu. Memang betul HT dan IM telah banyak merubah wajah Islam Indonesia dewasa ini, demikian tulis van Bruinessen, namun lebih banyak lagi yang telah mereka lakukan untuk bisa berwajah Indonesia.

Merebaknya pola pikir keagamaan yang radikal dan menghalalkan kekerasan sungguh merupakan interupsi yang anomalis terhadap karakter umum Islam Indonesia yang adaptif, dan karenanya cenderung toleran dan ramah tersebut. Ini pun mengingatkan kita pada falsafah dasar puasa: hasrat duniawi yang menjajah nafsu manusia adalah kondisi anomalis yang hendak dimurnikan dengan lakon puasa Ramadlan yang akan berkulminasi pada momen Idul Fitri. Kekerasan dan radikalisme dalam beragama adalah kondisi anomalis, yang terhadapnya kita harus mampu melakukan pemurnian.

Apabila selama ini kita terfokus pada pemurnian individual di bulan Ramadlan dan Syawal, maka tak ada salahnya jika sesekali kita lakukan pula upaya “pemurnian sosial”. Dalam konteks ini, momen puasa Ramadlan dan Idul Fitri adalah peluang utk memikirkan lagi posisi agama dan keberagamaan di dalam masyarakat majemuk di Indonesia. Jika nilai moral Idul Fitri adalah kembali pada kondisi yang fitrah, yakni yang terkalibrasi menurut konteks individual dan sosial, maka fitrah yang harus tetap dipertahankan oleh Islam di Indonesia adalah karakternya yang lokal, membumi, toleran dan menghargai perbedaan. Di sini jelas-jelas tak ada ruang bagi kekerasan.

Wallahu a’lam.