Categories
Politik

Mengajarkan Kebodohan

Apa yang terjadi jika reshuffle kabinet dilakukan sejak dulu? Seperti apa suasana panggung politik Indonesia kalau saja setiap gesekan dalam kabinet koalisi disusul oleh kocok-ulang kabinet oleh SBY? Jawabnya bisa beragam. Bisa saja pemerintahan akan segera efektif karena reshuffle itu berarti mengganti menteri buruk dengan menteri yang (lebih) baik. Bisa pula sama saja, sebab mungkin parpol-parpol koalisi tak punya stok orang baik untuk disodorkan pada Sang Presiden.

Tapi kita tahu, reshuffle kabinet tak pernah terjadi dalam periode ini. Tiap beberapa bulan, isu reshuffle dimunculkan, menyusul berita korupsi oleh menteri tertentu dalam kabinet koalisi. Namun reshuffle tak pernah terjadi.

Nampaknya SBY dan para petinggi parpol dalam koalisinya yang tak harmonis itu cuma saling gertak. Mereka saling menakar posisi dan garis batas antara mereka, lalu menawar ulang bagian masing-masing.

Ketika kesekian kalinya itu reshuffle ini muncul, saya merasa agak malas untuk memperhatikannya secara terlalu serius. Sederhana saja: toh tak akan terjadi apa-apa setelah gaduh saling lempar isu itu. Tapi jika kita pikirkan agak hati-hati, sebenarnya isu reshuffle ini memiliki implikasi amat serius bagi proses pendidikan politik di negeri ini.

Jika saya boleh mengatakannya dengan ringkas: isu reshuffle yang muncul-hilang-muncul-hilang ini telah membodohi masyarakat. Politisi yang berada di balik isu itu telah mengajarkan kebodohan pada masyarakat.

Para ilmuwan politik bersepakat bahwa dalam proses politik (seperti pemilu, rekrutmen politik, proses kebijakan, komunikasi politik) terdapat elemen pendidikan. Dari proses itulah individu dalam sebuah polity belajar tentang posisi dan peran politik yang harus dan bisa dimainkannya. Interaksi dalam proses tersebut memberi pengetahuan pada individu warga negara, tentang cara memainkan peran politik. Proses politik yang diamati oleh individu tersebut tak ubahnya cermin besar. Pada cermin besar itulah setiap indivudi berkaca diri. Mereka akan menemukan jatidiri politiknya dengan melihat pada cermin besar itu.

Dalam serangkaian isu reshuffle yang amat seperti alarm-palsu itu, rakyat melihat contoh elit politik yang tak fokus bekerja untuk kepentingan masyarakat. Pekerjaan para elit ini nampak sekali hanyalah urusan membesarkan parpol mereka masing-masing.

Jangan lupa, nyaris bersamaan dengan isu reshuffle itu, selalu ada isu korupsi di kementrian tertentu. Publik melihat dengan amat jelas adanya pola semacam ini. Bagi banyak orang, tak ada keraguan lagi bahwa bagi-bagi kuasa antara parpol-parpol koalisi ternyata cuma bagi-bagi mesin ATM di kementrian. Parpol-parpol ini berlomba menjadikan kementrian yang mereka kuasai sebagai sumber bagi pundi-pundi uang Parpol. Ketika bancakan ini menimbulkan suasana tak nyaman, maka berteriaklah mereka tentang reshuffle.

Dari “teladan” seperti inilah, seluruh bangsa Indonesia, khususnya para generasi muda penerus kepemimpinan politik di masa depan, belajar berpolitik. Apa yang diajarkan kepada mereka? Yang diajarkan adalah ketrampilan untuk melakukan bancakan politik, ketimbang mengemban amanat kekuasaan dengan sebaik-baiknya.

Di saat yang sama, rakyat melihat pentas politik yang penuh dengan tipu daya dan saling tekan. Reshuffle hanya jadi gertak sambal yang pedas di lidah tapi tak ada artinya. Ini pemandangan politik yang tak boleh terus berlangsung. Resiko terburuknya adalah: semakin lama generasi penerus kepemimpinan politik negeri ini akan semakin jago dalam tipu-daya politik. Resiko minimalnya adalah: Rakyat bisa kehilangan kebanggaan dan rasa turut memiliki terhadap proses politik. Jika ini terjadi, maka rakyat mungkin akan lebih suka bungkam dan kehilangan sikap kritis. Akibatnya, peluang demokrasi Indonesia untuk berkembang akan kembali mengecil.

Jadi, wahai para politisi, cukupkanlah membual tentang reshuffle, sebab hal itu hanyalah membodohi masyarakat. Berhentilah mengajarkan kebodohan.

——————–

* Ditulis untuk harian Kedaulatan Rakyat, 21 September 2011

** Gambar diambil dari: SINI