Categories
Politik

Jika Bukan NKRI

Hari Minggu yang lalu, di pelosok selatan bumi Yogya, mobil saya tertahan tak bisa berjalan lancar di depan sebuah balai desa. Di lapangan seberang balai desa rupanya sedang ada keramaian, sehingga jalan tak lebar yang membentang di antara kedua tempat itu jadi penuh sesak. Keramaian itu adalah bagian dari penyambutan terhadap Hari TNI tanggal 5 oktober ini. Di atas panggung yang dibangun di tengah lapangan, saya melihat sebuah spanduk besar yang menegaskan dukungan TNI terhadap keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Sambil mengemudikan mobil yang merayap perlahan, saya berpikir, betapa uniknya kita memperlakukan unitaranisme. Bagi TNI, NKRI harga mati. Bagi beberapa ormas, NKRI adalah bentuk final. Bagi kalangan ultra-nasionalis yang sedang memegang kendali di MPR, unitarianisme bahkan bisa sejajar dengan dasar negara — sehingga mereka menjadikan prinsip negara kesatuan sebagai salah satu pilar kebangsaan, bersanding dengan Pancasila dan UUD 1945.

Tapi benarkah sedemikian sakralnya unitarianisme, sehingga elemen-elemen penting bangsa ini berebut untuk menjadikannya harga mati dan bentuk final? Andai saja Indonesia bukan negara kesatuan, masih adakah spanduk serupa yang saya lihat hari Minggu itu? Mungkinkah TNI, di hari ulang tahunnya ini, akan menegaskan dukungan pada negara yang bukan ‘kesatuan’?

Jawaban bagi pertanyaan ini tak mudah. Sakralisasi unitarianisme sudah sedemikian rupa di negeri ini, sehingga kita tak merasa punya ruang berpikir lain sebagai alternatif. Sangat boleh jadi, banyak di antara kita yang mewayuh-artikan ‘kesatuan’ dengan ‘persatuan’. Bukankah amat lazim kita mendengar frase ‘menjalin persatuan dan kesatuan’?

Padahal, kesatuan tak sama dengan persatuan. Persatuan adalah kondisi bersatu tak tercerai berai; lawan katanya adalah perpecahan. Pada kata inilah berlaku pepatah ‘bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.’ Sedangkan kata ‘kesatuan’, padanya terdapat makna yang amat berbeda. Kesatuan adalah pilihan sistem pemerintahan, dimana pemerintah pusat menjadi lokus kekuasaan. Alternatif terhadap ‘kesatuan’ adalah ‘federalisme’ atau ‘konfederasi’. Lawan kata ‘kesatuan’ bukanlah ‘perpecahan’.

Jika Indonesia menjadi NKRI, itu adalah sepenuhnya pilihan politik, yang sebenarnya terbuka untuk terus didiskusikan ulang. Pilihan politik ini tak harus diberi label ‘harga mati’ atau ‘bentuk final.’ Yang tak bisa ditawar dalam format ketata-negaraan kita adalah Negara Republik Indonesia (NRI). Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4 menyebutkan ‘… maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada…’

Kalau kita sekarang mengambil unitarianisme sebagai pilihan sistem pemerintahan, itu adalah hasil debat sejarah antara para pendukung negara kesatuan (yang dimotori oleh Bung Karno) dan pendukung negara federal (yang dimotori oleh Bung Hatta dan Sutan Sjahrir). Jika ‘kesatuan’ mau kita sama-maknakan dengan ‘persatuan’, apakah kita hendak menuduh bahwa patriot besar seperti Hatta dan Sjahrir saat itu menolak persatuan bangsa? Bahwa para pendukung ide negara kesatuan yang menang, itu adalah kenyataan sejarah. Tapi kenyataan sejarah ini adalah kenyataan politik. Ia bukan kewajiban kebangsaan dan kenegaraan.

Jadi jika kita mendengar TNI menyatakan dukungannya terhadap keutuhan NKRI, itu lebih merupakan pernyataan politis. Seyogyanya, sebagai elemen pertahanan negara, tugas TNI adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan negara. Dalam hal ini, yang diwajibkan untuk dijaga keutuhannya adalah NRI. Sumpah setia TNI seyogyanya tertuju pada penjagaan keutuhan dan kedaulatan NRI. Akan halnya huruf ‘K’ yang ditambahkan di sana, itu adalah pilihan politik, yang tak memerlukan campur-tangan TNI.

Maka, dirahayulah TNI-ku. Jayalah selalu. Mari kita bersama-sama bersumpah setia untuk menjaga PERSATUAN Negara Republik Indonesia!

(Kedaulatan Rakyat, 5 Oktober 2011)

*Gambar dipinjam dari SINI.