Categories
Politik

Kok Nambah Orang, Pak?

Selama pemerintahan SBY, setahun sekali gojekan itu muncul — selalu sekitar Oktober. Ada orang yang bertanya pada temannya, “ditelpon Cikeas, nggak?” Atau ada yang berkelakar, “wah HP saya semalam habis batere, jangan-jangan ada telpon dari Cikeas…”

Tapi tahun ini, kelakar itu nampaknya jadi kenyataan. Minimal ada tiga orang yang ditelpon Cikeas, dengan permintaan untuk menemui SBY. Sapta Nirwandar (Dirjen Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata), Wardana (Dubes RI untuk Singapura), dan Prof. Ali Ghufron Mukti (Dekan FK UGM), tak sedang digoda orang ketika mereka menerima telpon dari Cikeas. Mereka betul-betul sedang ditunggu oleh Sang Presiden, untuk ditawari jabatan Wakil Menteri. Mereka sedang kagem.

Bertiga, mereka akan memperbesar jajaran kabinet SBY. Di sekitar Sang Presiden dengan mandat lebih dari 60% suara rakyat ini, kini terdapat total 34 orang Menteri, 10 Wakil Menteri, plus 10 orang Staf Khusus. Jika kita tambahkan pejabat setingkat menteri seperti Ketua UKP4, Jaksa Agung, dll, maka tak kurang dari 60an orang berada di lingkaran inti kekuasaan. Jika dibandingkan dengan pejabat selevel ini di sekitar Presiden Amerika Serikat yang cuma 20an orang, betapa tambunnya piranti kuasa SBY ini.

Struktur yang aslinya tambun ini, dalam beberapa saat akan bertambah minimal tiga orang lagi dalam posisi sebagai Wakil Menteri. Meski sedikit, SBY telah menambah orang di sekitarnya. Pertanyaannya kini: mengapa itu dilakukan oleh Sang Presiden?

Jawabannya bisa amat beragam. Dilihat dari sudut pandang efektifitas pemerintahan, amat sulit memahami mengapa SBY perlu menambah orang. Makin besar sebuah struktur, makin berat dan lambat pembuatan keputusan di sana. Dengan karakter SBY yang tak sigap dalam membuat keputusan, penambahan orang meski “hanya” di jajaran Wakil Menteri kiranya bukan jalan yang menguntungkan bagi pemerintahan nasional.

Tapi jika dilihat dari sudut pandang psiko-politik, langkah SBY ini bisa saja dipahami sebagai upaya untuk mengurangi kepekatan politik di lingkar utama kekuasaan. Hal ini dibutuhkan oleh SBY yang sejak awal kekuasaannya selalu dipusingkan oleh urusan pembagian kue kekuasaan antara pihak-pihak yang berkerumun numpang-kuasa di sekitarnya. Parpol-parpol koalisi tak semuanya merupakan mitra kerja yang loyal. Sebagian tampak lebih sering membangkang dan menuntut.

Kendati Sang Presiden seharusnya bisa lebih leluasa menata kue kekuasaan (mengingat ia memperoleh mandat langsung dari rakyat, dengan porsi yang signifikan), kenyataannya ia tak berkutik di hadapan tekanan politik yang selalu beredar di sekelilingnya. Jangan heran jika perilaku SBY amat mirip dengan diktator yang sedang berada dalam masa senjakala kekuasaan: sulit percaya pada orang di sekitarnya, dan selalu butuh untuk menambah orang baru.

SBY sejak semula nampak tak cemerlang dalam upaya untuk membangun kekuasaan yang efektif di tingkat elit. Ben Anderson, salah seorang pionir dalam kajian konsep kuasa tradisional Jawa, pernah mengingatkan bahwa kemampuan memusatkan kekuasaan adalah ciri hadirnya mandat dan wahyu di tangan seorang pemimpin. Efektifitas kekuasaan seorang pemimpin dalam pandangan ini ditandai dengan kemampuannya untuk memusatkan segala yang bertentangan di sekelilingnya, untuk disatukan dalam genggaman sang pemimpin. Gagasan ini sejalan dengan konsep manajemen kekuasaan modern yang efektif dan ramping.

Jika kita masih meyakini gagasan ini, maka gejala yang nampak di panggung kekuasaan SBY adalah kegagalan untuk membangun kekuasaan yang efektif. SBY, para pembaca yang berbahagia, adalah pemimpin tanpa wahyu kuasa. Tapi ini mungkin bukan salah SBY. Sistem kita barangkali masih perlu pembenahan serius agar di sana bisa hadir seorang pemimpin yang berfungsi optimal. Bangsa ini kiranya perlu duduk bersama, dan sekali lagi memikirkan ulang mekanisme pemilihan pemimpin agar kita bisa memiliki presiden dengan kekuasaan efektif. Bersediakah kita?

(Kedaulatan Rakyat, 15 Oktober 2011)