Categories
Politik

Yang Muda Yang Korupsi

Tahun 1977 Sjuman Djaja membuat sebuah film berjudul ‘Yang Muda Yang bercinta’. Dalam film ini WS Rendra membacakan sebuah puisi pembuka yang berisikan kritik sosial-politik yang amat tajam, dan turut mempopulerkan film tersebut. Kini, 35 tahun kemudian, andai Sjuman masih hidup, mungkin ia akan membuat sebuah film yang juga akan terkenal: ‘Yang Muda Yang Korupsi’.

Sumber inspirasi untuk membuat film itu cukup banyak. Berbeda dengan kehidupan kaum muda tahun 1970an yang ditandai oleh pembatasan politik yang menguat, kaum muda di masa kini berada dalam ruang leluasa untuk memainkan peran politik.

Sayangnya, banyak fenomena tak menggembirakan tentang kaum muda di politik kini. Sejumlah politisi berusia belia, 30an hingga 40an tahun, sedang terpajang namanya di media massa karena kasus korupsi berskala masif yang mereka lakukan — atau yang mereka terlibat di dalamnya. Jika tahun 1970-an kaum muda mengenal jargon “buku, pesta dan cinta”, kini banyak kaum muda yang berkutat dalam “kuasa, harta dan panggilan KPK”. Betapa ironis.

Yang paling ironis, ruang bagi kaum muda untuk bergelut dalam harta dan kuasa itu adalah partai politik. Kadang korupsi itu dilakukan secara langsung di parpol (seperti kasus politisi muda Partai Demokrat), kadangkala dilakukan via lembaga parlemen (yang dilakukan secara bancakan oleh banyak parpol). Kiprah kaum muda di partai politik bukannya membuat elemen demokrasi modern ini makin berkibar di Indonesia, namun justru membuatnya makin terpuruk. Padahal, partai politik adalah elemen yang paling sengsara dalam demokrasi prosedural di Indonesia, sebab lembaga ini tak pernah memperoleh kepercayaan publik yang memadai.

Hanya berselang 5 tahun sejak liberalisasi politik yang menghadirkan banyak parpol di Indonesia, Asia Barometer meluncurkan survey popularitas lembaga demokrasi di sejumlah negara termasuk Indonesia. Tiga tahun kemudian, PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) melemparkan lagi survey senada. Hasilnya sama: parpol adalah lembaga yang paling tidak dipercaya oleh masyarakat Indonesia. Padahal sebagai negara yang sedang menjalani transisi dari otoritarianisme, Indonesia seyogyanya cukup mengelu-elukan kehadiran pemilu multi-partai.

Hingga hari ini, tak ada satu survey pun yang menolak hasil kedua survey di atas. Popularitas kandidat atau politisi mungkin naik atau turun, namun tak ada survey yang mengatakan popularitas parpol naik. Jika hari ini dilakukan survey seperti yang dilakukan Asia Barometer dan PPIM di atas, tak ada yang akan terkejut jika hasilnya adalah bahwa kepercayaan masyarakat pada parpol semakin nyungsep. Penyebabnya amat jelas: korupsi masif di lingkungan parpol yang justru memudarkan harapan orang pada generasi muda yang harusnya menjadi agen perubahan ke arah politik yang lebih baik.

Apa akibatnya? Akibat paling mengganggu adalah sulitnya menyederhanakan peta kepentingan politik. Kehadiran parpol yang dipercaya masyarakat memudahkan penyederhanaan politik. Tapi jika tak ada kepercayaan pada parpol, maka kepentingan politik setiap orang akan mencari salurannya sendiri-sendiri, sehingga jalurnya pun menjadi rumit.

Karena itu, sudah amat mendesak bagi kita untuk sekali lagi merombak tatanan politik negeri ini agar bisa berfungsi lebih baik. Kita tak bisa menyerukan para politisi (khususnya politisi muda ) untuk menghindari perbuatan korupsi. Kita juga tak bisa hanya berharap pada KPK untuk menangkap dan menindak para koruptor. Yang kita perlu lakukan adalah mencegah korupsi terjadi.

Sebagai masyarakat, penting bagi kita untuk punya rasa percaya pada parpol. Bagaimanapun parpol adalah elemen utama dalam demokrasi modern. Hanyasaja, kepercayaan itu tak boleh diberikan begitu saja tanpa pengawasan. Pemberian “cek kosong” pada politisi sudah terbukti sangat membahayakan. Para politisi ini mungkin saja orang yang tadinya amat kita percayai: dosen kita, ustadz kita, senior dan sahabat kita di lembaga masyarakat; namun begitu mereka menjadi politisi, pada mereka ada kekuasaan besar, dan kekuasaan besar cenderung korup besar-besaran. Para politisi negeri ini membutuhkan kita, masyarakat dan konstituen ini, untuk tak terjerumus dalam korupsi. Mereka sedang sakit, dan pengawasan dari kita adalah obatnya.

(Kedaulatan Rakyat, 9 Februari 2012)