Categories
Politik

Koalisi Minim Platform

Dalam beberapa hari ini harga BBM akan dinaikkan oleh pemerintah. “April mop” kita tahun ini bakal tidak lucu. Mudah diduga, jagat politik ikut-ikut terpanaskan oleh rencana kenaikan BBM ini. Dari pusat kekuasaan kita mendengar (lagi-lagi) ada isu pembangkangan PKS terhadap kebijakan pemerintahan koalisi ini. Orang pun banyak angkat pendapat soal etika koalisi. Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Adakah persoalan etika yang dilanggar?

Menurut saya yang menarik untuk dibahas bukanlah persoalan etika. Yang lebih penting untuk dilihat adalah soal mismanajemen sebuah koalisi.

Dulu sebelum koalisi SBY terbentuk secara formal, saya menulis artikel ini berjudul “Numpang Menang, Nyicil Rongrongan” (KR, 14/5/2009). Di tulisan ini, saya menyebutkan antara lain bahwa faktor Boediono berpotensi menjadi sumber masalah dengan partai-partai Islam pendukung SBY, khususnya PKS. Sederhana saja, Boediono secara ideologis maupun orientasi program dan jejaring-nya tidak cukup ‘kompatibel’ dengan parpol Islam.

‘Faktor Boediono’ dalam tulisan itu adalah untuk mengatakan bahwa koalisi yang akan dibangun oleh SBY saat itu adalah koalisi yang tak memiliki platform bersama yang cukup kuat. Parpol yang turut mendukung SBY hanya didorong oleh kepentingan jabatan. Sedang SBY membutuhkan mereka untuk menjamin dukungan di DPR. Namun sejak tahun 2009 itu, kebutuhan SBY akan jaminan dukungan ini pun jelas tak mudah dipenuhi. Ancaman koalisi setengah hati dari PKS sudah muncul sejak dini.

Yang diharapkan dari SBY adalah kemampuan untuk menundukkan ‘kebinalan politik’ PKS. Sayangnya, SBY tak menunjukkan kemampuan dimaksud. Lalu apa masalahnya, dan bagaimana sebaiknya para pemimpin politik kita membangun koalisi di masa depan?

Ada sejumlah hal penting yang harus dicatat terkait koalisi dalam sebuah sistem presidensiil seperti di Indonesia. Banyak ilmuwan politik yang berpendapat bahwa koalisi adalah mekanisme yang lebih mungkin berjalan dalam sistem parlementer, ketimbang sistem presidensiil. Tak sedikit ilmuwan yang berpendapat bahwa koalisi akan melemahkan sebuah pemerintahan presidensiil, dimana presiden memperoleh mandat yang terpisah dari lembaga legislatif. Banyak yang memandang bahwa kalaupun ada koalisi dalam sistem presidensiil, maka koalisi itu tak akan cukup berhasil memberi dukungan pada presiden. Mandat yang terpisah yang dimiliki presiden meletakkannya pada ruang kontestasi politik yang (seharusnya) terpisah dari ruang kontestasi politik parpol.

Tapi cara pandang lain mengatakan bahwa koalisi adalah wajar diterapkan dalam pemerintahan presidensiil. Cheibub (2007) menunjukkan bahwa pemerintahan presidensial hasil koalisi jumlahnya sepadan dengan pemerintahan parlementer hasil koalisi. Mudah dipahami, pemerintahan yang dibentuk dalam sistem banyak partai akan membutuhkan sedikit “gotong-royong” antar parpol. Dalam sistem presidensial dengan multi partai, koalisi dibentuk untuk memudahkan jaminan dukungan parlemen terhadap kebijakan pimpinan eksekutif. Hanya dengan cara itulah seorang presiden bisa menjamin efektifitas pengambilan keputusan dalam pemerintahannya.

Jika kita lihat pemerintahan koalisi SBY, harusnya semua keputusan Presiden memang didukung oleh semua parpol peserta koalisi. Sayangnya bukan itu yang terjadi. Koalisi ini selalu sibuk dengan negosiasi ulang, sehingga pemerintahan selalu gaduh berpolemik sepanjang tahun.

Koalisi ini tak menunjukkan watak konsisten. Karakternya semi-anterior: campuran antara karakter koalisi anterior dengan koalisi posterior. Koalisi anterior dibentuk sebelum pemilihan presiden (atau pemilu legislatif dalam sistem parlementer). Koalisi posterior dibentuk setelah pemilu, didorong oleh agenda tertentu. Koalisi SBY ini dibentuk sebelum piplres, namun sifat hubungannya sangat ditentukan oleh isu per isu pasca pemilu. Sebenarnya ini tak layak disebut pemerintahan koalisi, karena absennya hal utama: common platform. Di atas saya katakan bahwa pengikat koalisi ini cuma kepentingan pembagian jabatan publik. Di sisi ini, koalisi SBY ini hanya sanggup menjadi koalisi jangka pendek. Masalahnya, sebuah pemerintahan yang efektif butuh lebih dari sekadar koalisi jangka pendek.

Maka itu, siapapun presiden yang terpilih tahun 2014 harus memulai dengan membangun platform bersama bagi koalisinya. Jika tidak, kita rakyat Indonesia lah yang akan capek dengan keributan tanpa henti dalam koalisi pemerintahan.

[Kedaulatan Rakyat, 26/3/2012]