Categories
Politik

Simalakama?

Tak ada yang mengejutkan: Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi akhirnya bersepakat untuk mendepak PKS. Pembangkangan PKS dalam rencana penaikan harga BBM minggu lalu rupanya membuat para petinggi partai-partai koalisi (PD, PG, PAN, PPP dan PKB) merasa PKS tak lagi layak menjadi bagian dari bagi-bagi kuasa yang mereka tengah nikmati.

Juga tak mengejutkan: pengusiran PKS dari koalisi ini tak segera menjadi pasti, karena Sang Prabu masih diam seribu-bahasa. SBY masih membisu. Mungkin Presiden sedang merenung. Dalam sejumlah hal yang memiliki persoalan dan implikasi cukup jelas pun, SBY kadang butuh waktu lama untuk memutuskan. Kini di depannya ada sebuah persoalan yang bisa menjadi simalakama politik. Kita tak perlu heran kalau SBY akan banyak menimbang-nimbang.

Yang menarik untuk dibahas adalah apa akibat politik dikeluarkannya PKS dari koalisi. SBY mungkin paham betul bahwa pengusiran PKS dari koalisi bisa saja memuaskan hati para petinggi parpol yang mendongkol karena ulah PKS. Namun ia pasti perlu mengkalkulasi bahwa tindakan itu bisa justru sangat menguntungkan PKS.

SBY sangat boleh jadi masih mengingat strategi politik yang dilakukannya kala masih menjadi menteri di bawah Presiden Megawati. Saat itu ia disingkirkan secara politik oleh Sang Presiden. Namun SBY memanfaatkannya untuk menuai simpati publik, dan mempermudah langkahnya menuju RI-1. Sebagian kemenangannya di tahun 2004 adalah hasil dari pemanfaatan ‘penindasan’ politik yang ia alami.

Saat ini PKS memiliki peluang untuk berada dalam posisi serupa (meski tak sepenuhnya sama). Penolakan kenaikan BBM adalah isu yang mudah memperoleh dukungan masyarakat secara luas. Sikap parpol yang menolak rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM ini dengan lekas bisa dicitrakan sebagai pemihakan terhadap kepentingan publik.

Tentu saja kalangan yang lebih terpelajar di masyarakat bisa memahami bahwa penaikan harga BBM bukan saja dibutuhkan, namun bisa jadi adalah keharusan. Namun publik secara luas lebih memiliki sentimen pemihakan pada kekuatan politik manapun yang menolak rencana itu. Kalkulasi publik secara umum amat sederhana: kenaikan BBM itu akan membawa efek domino yang luar biasa masif terhadap kenaikan harga-harga komoditas. Akibatnya, beban ekonomi masyarakat secara umum akan meningkat. Kalkulasi sederhana ini amat faktual. Mudah dipahami bahwa publik gampang dibuat panik olehnya.

SBY dan partai-partai koalisi praktis telah menjadi musuh publik karena rencana penaikan harga BBM tersebut. Penjelasan apapun yang disampaikan oleh pihak-pihak yang berwenang pada dasarnya tak akan terlalu didengarkan oleh masyarakat awam. Mereka sedang galau, serta membutuhkan satu elan dan simbol penolakan.

Di lingkup politik jalanan, gerakan mahasiswa memenuhi kebutuhan itu. Di politik elit di Senayan, penolakan PDI-P dan Gerindra sempat turut memberikan angin segar. Secara konsisten mereka memposisikan diri sebagai parpol yang selalu membela kepentingan wong cilik. Namun demikian, tak ada yang lebih mudah ditangkap oleh mata publik selain penolakan dari bilik kekuasaan sendiri. PKS secara sangat cerdik mengambil peluang dengan melakukan mufarraqah dari pendapat umum partai-partai koalisi, dan menggabungkan diri dengan gelombang psiko-politik yang menguat.

Jika karena perbuatan ini PKS terlempar dari koalisi, mereka pasti dengan amat lekas akan memanfaatkannya untuk menguatkan pencitraan sebagai partai yang bersih dan memihak pada kepentingan publik. Ini jelas-jelas investasi besar menuju 2014. SBY dan Setgab Koalisi telah membantu PKS untuk curi start kampanye.

Jadi Bapak Presiden SBY, biasanya saya sering suntuk melihat Bapak lambat memutuskan. Namun kali ini, saya ingin menyarankan Bapak untuk berpikir labih lama lagi sebelum memutuskan untuk menendang PKS. Bertindaklah adil untuk semua parpol. Jangan membantu PKS menang mudah dalam Pemilu 2014.

[Kedaulatan Rakyat, 7 April 2012]

*Gambar diambil dari SINI