Categories
Politik

Parpol Seperti Apa?

Anak muda itu berdiri di podium. Gerak tubuh dan intonasi-nya amat meyakinkan. Kata-katanya tegas dan jelas. Pendengar di ruangan itu menatap takjub, saat pemuda berpeci hitam ini berucap, “Indonesia harus merdeka, sekarang. Sekarang, sekarang dan sekarang…!!!”. Hadirin bertepuk-tangan. Di luar ruangan, para telik sandi pemerintah kolonial mondar-mandir gelisah. Pemerintahan kolonial sedang berada pada keadaan amat stabil. Tuntutan merdeka, apalagi merdeka sekarang, amatlah berani.

Anak muda itu kelak akan menjadi pemimpin negara Indonesia. Ia adalah Presiden yang paling membanggakan sepanjang sejarah kita. Tapi saat ia mengucapkan kata-kata itu di Bandung tahun 20an dan 30an awal, mungkin banyak orang menganggapnya gila, minimal nekad. Ia memimpin PNI (didirikan tahun 1927; bedakan dari PNI yang berdiri tahun 1945) yang gerak-gerik kelembagaannya menunjukkan tekad yang sama ‘gilanya’ dengan apa yang ia ucapkan.

Apa yang melandasi keberanian itu? Landasan utamanya adalah ideologi. Landasan ini memberikan cara bersikap yang amat jelas dan konsisten. Partai yang ia pimpin bisa tegas memilih posisi jalan karena ada pegangan ideologis yang amat jelas. Mesin kolonial memang akan memberangusnya (sama seperti yang terjadi pada PKI saat itu), tapi ideologi yang diusungnya bergerak maju hingga sekarang.

Inilah yang tak lagi kita temui dalam parpol di Indonesia: pegangan ideologi yang jelas. Ideologi adalah serangkaian keyakinan yang mendasari tindakan secara konsisten. Ia ibarat aturan jalur kanan atau jalur kiri di jalan raya. Tanpa aturan itu, jalan raya akan amat kacau karena setiap orang setiap saat bisa berjalan di jalur yang berbeda dan berubah-ubah. Tanpa ideologi, perilaku parpol di panggung kekuasaan akan sangat mencla-mencle tak tentu arah. Mereka hanya akan dimotivasi oleh satu tujuan: jabatan dan kekayaan.

Hal ini lah yang secara umum terjadi di negeri kita sekarang. Tak mudah bagi rakyat Indonesia untuk membayangkan, apa bedanya jika yang berkuasa adalah Partai A atau Partai B atau Partai C. Di Australia, orang mudah membayangkan apa bedanya corak negeri benua itu kalau dipimpin oleh Partai Liberal atau Partai Buruh. Senada itu di Inggris, orang lekas mengetahui apa yang akan terjadi kalau Partai Buruh atau Partai Konservatif yang menang pemilu. Semua karena ada dasar ideologi yang terderivasi ke dalam program.

Sejak awal, parpol di Indonesia memang amat tergantung pada figur. Namun pada masa terdahulu, ideologi turut mendampingi, menjadikan parpol sebagai elemen politik yang penting dan relevan. Lalu tibalah fase deideologisasi yang sistematis sejak paruh kedua 60an. Pembatasan parpol oleh Soeharto memantapkan deideologisasi itu. Semua partai diminta mengabdi pada ideologi pembangunan, lalu digongkan dengan azas tunggal Pancasila. Game over.

Liberalisasi politik 1998 hanya memperbanyak jumlah partai, dari tiga penjadi puluhan, namun tak mengubah karakter ideologi partai secara berarti. Reformasi hanya memperbanyak jumlah partai yang tak memiliki pijakan ideologis. Partai hanya berfungsi sebagai kendaraan kuasa, bukan agensi ideologi yang penting. Beberapa malah cuma menjadi presidential party, yakni parpol yang didirikan semata sebagai kendaraan bagi politisi untuk menjadi presiden. Karakter itulah yang dimiliki oleh parpol seperti Demokrat, Gerindra, Hanura, dan Nasdem.

Yang diperlukan ke depan adalah parpol dengan ideologi yang kuat, yang diturunkan ke dalam program yang jelas. Kita tak perlu banyak parpol. Dua atau tiga parpol utama sudah cukup, selama kita tahu apa yang akan terjadi kalau parpol itu berkuasa.

Untuk itu diperlukan sejumlah langkah simultan. Di sisi pemilih, kita harus berani menghukum parpol yang mencla-mencle, dengan tak lagi memilih mereka. Di sisi negara, perlu langkah pembatasan jumlah parpol. Langkah pembatasan ini harus bisa memastikan bahwa hanya parpol dengan (prospek) pijakan kuat di ranah konstituen yang bisa bertahan. Dengan cara itu, orang tak bisa main-main dengan mendirikan parpol semudah mereka membuka konter HP di pinggir jalan. Ada kalanya perbaikan memang meminta korban. Jika dalam langkah pembatasan itu harus banyak parpol kecil yang berguguran, mungkin memang itu yang diminta oleh sejarah. Kita tak boleh ragu melakukannya.

(Kedaulatan Rakyat, 9/5/2012)