Categories
Politik

Instrumentasi Kuasa

Mungkin kata instrumentasi ini terdengar sangat teknis dan berbau mesin. Kata ini merujuk pada serangkaian alat, prosedur serta standar yang digunakan untuk memastikan sesuatu berjalan dengan baik. Jika kita mendengar istilah “instrumentasi kekuasaan”, maka yang dimaksud adalah alat, prosedur serta standar yang digunakan untuk memastikan kekuasaan berjalan dengan baik.

Betapa penting instrumentasi kekuasaan (setelah legitimasi) dapat kita lihat dari beberapa contoh berikut ini.

Beberapa waktu yang lalu, saya hadir untuk mempresentasikan makalah di conference yang dilaksanakan oleh National College of Public Administration and Governance (NCPAG), University of The Philippines (UP), di Manila. Pembukaan acara ini dihadiri oleh Presiden Filipina, Benigno Aquino III.

Sejak awal acara, saya sudah menikmati atraksi kekuasaan yang mengesankan. Presiden Aquino memasuki ruangan dengan bergegas, diiringi rombongan. Semua mengenakan baju barong. Presiden, senator, dan ajudan serta pengawal bergerak cepat menuju panggung. Presiden dan berapa senator lalu duduk di panggung, ditemani rektor UP dan dekan NCPAG. Sang Presiden nampak bergerak relaks dan wajar. Wajahnya menebar senyum. Tak ada urat kaku terlihat di sana.

Saat dipersilakan memberikan sambutan pembukaan, ia berjalan cepat ke podium. Sang presiden berpidato ringkas, memetakan agenda penataan birokrasi di Filipina. Ia menekankan sejumlah capaian. Pada para pendengar, dengan raut wajah yang ramah, akrab, serta bahasa tubuh yang luwes, ia ceritakan dukungan dari sejumlah senator, masyarakat luas, termasuk juga dukungan dari UP. Dukungan ini ia kontekskan dengan harapan menuju birokrasi yang kian hari kian bersih dan bebas korupsi.

Sang Presiden bercerita tentang capaian dan dukungan. Ia tak curhat dan mengeluh tentang hambatan.

Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, saya transit di KL. Dengan fasilitas Wi-Fi gratis yang amat cepat di KLIA, saya jelajahi dunia maya. Tanpa sengaja saya temukan video Jokowi yang sedang memberikan sambutan di acara Indonesian Young Changemaker Summit (IYCS), Februari 2012.

Jokowi dalam video itu nampak bersahaja, bahkan cenderung ndesa. Ia tak menampilkan bahasa tubuh gila hormat. Sambutan ia sampaikan di luar podium yang tersedia. Intonasinya saat berbicara pun ringan dan nampak alami. Dalam sambutannya, Jokowi menceritakan sejumlah capaian sebagai walikota Solo. Ia antara lain menekankan dua hal. Pertama, keberpihakan pada kepentingan rakyat. Kedua, penataan birokrasi sebagai upaya untuk menerapkan keberpihakan pada rakyat itu. Dengan ringan hati ia ceritakan pemecatan sejumlah pejabat birokrasi karena tak mendukung gagasan-gagasannya sebagai pimpinan politik. Dengan cara yang sama pula ia paparkan dukungan civil society yang solid.

Sama seperti Presiden Aquino, sang walikota menceritakan capaian dan dukungan. Ia tak curhat dan mengeluh tentang hambatan.

Lalu di media massa hari-hari ini, saya pun menyimak berita tentang Presiden SBY yang mengingatkan para menteri yang terlalu sibuk mengurusi parpolnya untuk mundur dari kabinet. Dalam pengantar pembukaan rapat kabinet paripurna di Kantor Presiden (19/7), SBY menekankan bahwa dinamika politik setelah Ramadan akan meningkat seiring persiapan parpol menghadapi Pemilu dan Pilpres 2014. Bila ada menteri yang kader parpol merasa tidak sanggup membagi energinya dengan tugas pemerintahan, kata SBY, mereka sebaiknya mundur baik-baik dari KIB II.

Presiden kita, lagi-lagi, menunjukkan karakter kekuasaan yang tak efektif. Pada para menteri yang diangkatnya pun, ia memerlukan forum terbuka untuk menegur. Sebagai Presiden, ia berhak memecat menteri-menteri yang tak mendukung irama pemerintahannya. Namun ia memilih untuk kembali curhat pada publik. Pun, itu dilakukan selalu dengan ekspresi kaku dan tegang.

Apa yang membedakan SBY dengan Jokowi dan Aquino? Para pembaca yang budiman, jawabnya adalah instrumentasi kekuasaan seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini. SBY tak cukup berhasil melakukan instrumentasi kekuasaan, sehingga ia tak terlalu mampu membangun wibawa politik dan pemerintahan yang efektif. Ia malah cenderung meletakkan diri dalam tarik-menarik politik, dan sesekali melenguh seakan ia adalah korban dari semua hal. Kita melihat kekuasaan yang sekadar punya legitimasi, namun tanpa instrumentasi. Di sini, tak cukup tersedia alat, prosedur serta standar yang bisa digunakan untuk memastikan kekuasaan berjalan dengan baik.

Tugas kita, seluruh bangsa Indonesia adalah untuk memastikan bahwa Presiden RI tahun 2014 adalah orang yang bisa melakukan instrumentasi kekuasaannya secara baik. Semoga kita mampu!

[Kedaulatan Rakyat, 21 Juli 2012]