Categories
Politik

Parpol Dalam Kemelut

Apa yang sebenarnya terjadi di sejumlah parpol kita, barangkali yang tahu hanya Tuhan dan pimpinan tertinggi parpol itu. Tapi di permukaan, publik bisa melihat sejumlah fakta yang cukup jelas. Konflik dan kemelut muncul di banyak parpol. Kadang kemelut ini berujung pada langkah penegakan hukum, tapi kadang juga tidak.

Ada PPP dan Golkar yang tokoh-tokohnya kesenggol kasus korupsi pengadaan Al Quran. Ada Partai NasDem yang baru saja lolos verifikasi tapi sudah ketahuan belang rebutan kuasanya. Yang terkini ada PKS yang Presiden-nya masuk bui karena kasus suap, dan Sekjen-nya naik ke posisi itu. Dan yang seolah tiada ujung, ada Partai Demokrat yang seluruh indikasi korupsi sudah menuju pada sang Ketua Umum, namun bahkan sang Ketua Dewan Pembina tak sanggup menjatuhkannya.

SBY lewat Jero Wacik (mungkin juga lewat Ruhut Sitompul dengan jurus bola liarnya) sudah tiada henti mentitahkan kejatuhan Anas Urbaningrum. Namun singgasana yang diduduki Anas seolah terbuat dari batu karang kukuh: tegak tak bergeming semilimeterpun. Dukungan dari pengurus-pengurus daerah dan jejaring lama Anas rupanya telah memberi kekuatan ampuh padanya.

Sementara itu di PKS urusan nampak lebih mudah. Ketika sang Presiden ditangkap KPK, mekanisme partai degan lekas melokalisir masalah. Sang Presiden mundur, dan seperti diduga, Majelis Syuro di bawah kendali penuh Hilmi Aminuddin mengamankan posisi Presiden untuk sang anak kesayangan, Anis Matta. Era Sekjen berakhir, kini orator handal ini menjadi orang nomer satu dalam badan eksekutif partai.

Ada beda, ada kesamaan dalam kasus PKS dan PD. Urusannya sama-sama korupsi, namun di PKS Majelis Syuro tersimak punya gigi, di PD Dewan Pembina seperti hanya punya podium dan mikrofon – setidaknya untuk urusan Anas Urbaningrum.

Kesamaan lain: sangat boleh jadi kemelut di tubuh parpol itu adalah indikasi naiknya suhu politik secara signifikan. Politik kita sedang demam. Hampir dapat dipastikan, konflik antar parpol dan konflik internal parpol akan kian keras mendekati 2014. Ada beberapa hal yang turut menyebabkan hal itu.

Pertama, 2014 adalah masa pergantian pimpinan nasional. Era SBY akan berakhir. Di tahun 2009 orang masih mengkalkulasi peluang terbatas untuk merebut kursi pimpinan nasional, karena SBY sebagai petahana sedang maju. Tapi di tahun 2014, semua kandidat adalah orang ‘baru’. Parpol akan sangat sibuk menguji dan mengejar peluang. “Darah kotor” sesedikit apapun akan disingkirkan dari parpol, agar dapat berlaga penuh. Masalahnya, “darah kotor” ini kadang mudah dibuang, kadang tak mudah. Karena itu, konflik internal akan marak.

Kedua, ‘seleksi’ terkini yang menyisakan 10 parpol bisa saja membuat sejumlah politisi justru makin kuatir. Kemampuan berlaga ke-10 parpol itu mungkin di atas kemampuan parpol yang tersingkir. Jika itu benar, medan laga kian akan berat. Kekuatiran terhadap medan laga yang makin berat ini akan mendorong politisi untuk memperkuat parpol masing-masing, baik dengan menambah kader dan massa maupun dengan menguatkan akses terhadap sumber-dana. Bajak-membajak politisi akan menguat. Akibatnya tubuh banyak parpol akan terkena demam politik yang cukup serius.

Ketiga, pengalaman berpolitik semenjak 1998 memberikan satu pengetahuan umum bagi banyak orang: politik adalah gerbang pada kekayaan. Masuk dan menguasasi jabatan publik berarti menguasai sumberdaya, dan otomatis kekayaan pribadi akan terdongkrak fantastis. Sejumlah politisi memang nampak sanggup bertahan dalam kesederhanaan. Namun kebanyakan mereka tiba-tiba menjadi OKB dalam waktu singkat. Tak bisa disalahkan jika banyak orang tergiur dengan iklan semacam ini. Mereka yang terpukau pada glamornya dunia politik di tanah air bisa jadi meningkat di tahun 2013/2014 nanti. Bayangkanlah antrian pendaftaran PNS yang selalu disesaki ribuan orang, dan tak jarang berakhir ricuh. Siap-siap sajalah jika politik kita di tahun 2014 akan seperti itu.

Allahu a’lam.

——————————————-

Gambar milik http://www.nation.com.pk