Categories
Politik

Infeksi Sekunder

Selain artis, nama siapa sajakah yang masuk dalam daftar calon legislatif 2014? Kita tahu bahwa ada belasan nama dari Partai Demokrat yang terkait dengan keluarga Cikeas (atau tepatnya trah Sarwo Edhie Wibowo). Di Yogya, Partai Golkar menempatkan nama Siti Hediati Hariyati — entah ada hubungannya atau tidak dengan beredarnya stiker “penak jamanku toh?” Di Yogya juga, ada nama Hanafi Rais lewat PAN.

Sekilas orang akan mudah memberikan label: inilah politik dinasti. Tentu saja para pengurus partai politik akan membantah. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Hermanto membantah partainya menerapkan sistem politik dinasti. Adik ipar SBY ini mengatakan bahwa pencalonan dirinya, anaknya, serta keponakannya lewat PD telah melalui pertimbangan kapasitas yang sungguh-sungguh.

Bisa benar bahwa ini politik dinasti, namun bisa juga tidak. Kalaupun benar, belum tentu politik dinasti itu bermakna buruk. Dinasti barangkali adalah salah satu bagian dari pemanfaatan peluang politik yang sama sekali tak bisa disalahkan. Ini sangat terkait dengan perdebatan tentang bagaimana seorang pemimpin terbentuk. Dalam satu cara pandang, pemimpin diyakini muncul karena dibentuk oleh lingkungan. Cara pandang lain menganggap bahwa pemimpin hanya bisa dilahirkan,bukan dibentuk oleh lingkungannya.

Tapi kenyataan sosial jauh lebih beragam daripada dua anggapan teoritik itu. Mungkin memang ada aspek genetika, dan ada pula aspek lingkungan tempat seseorang tumbuh dan berkembang, yang membentuk kepemimpinan. Dua faktor ini yang membuat keturunan seorang tokoh berpotensi menjadi tokoh pula. Dengan kata lain, jika seseorang memang dilahirkan dari bibityang unggul, dan ia dibesarkan serta dididik dalam lingkungan yang juga unggul, dia telah berada di rute yang tepat untuk menjadi pemimpin.

Itulah sebabnya, ada dinasti dalam masyarakat, yakni deretan pemimpin yang tampak lahir turun temurun kendati bukan dalam sebuah monarkhi. Di panggung politik Amerika ada dinasti Kennedy. Di Australia ada dinasti Downer. Di India ada dinasti Nehru. Di Indonesia, dua generasi Sukarno telah menjadi presiden. Di lingkup lain, ada Bani Hasjim yang telah melahirkan ketua Shumubu (cikal bakal kementrian agama di jaman Jepang), Menteri Agama dan Presiden RI.

Namun kadangkala, dinasti politik tak bisa dianggap lumrah dan niscaya. Ada saat dimana dinasti politik merupakan gejala dari persoalan politik yang cukup serius. Dalam konteks demokrasi elektoral, terbentuknya dinasti politik bisa saja adalah –meminjam istilah medis– infeksi sekunder, yakni infeksi karena mikroorganisme yang muncul setelah ada infeksi primer sebelumnya (yang bukan karena mikroorganisme, melainkan sebab alergi).

Jika gelagat dinasti politik yang dipaparkan di awal tulisan ini adalah infeksi sekunder, lalu apa infeksi primernya? Infeksi primernya adalah gagalnya politik kepartaian di negeri ini. Partai politik diharapkan memainkan sejumlah fungsi termasuk pendidikan dan kaderisasi politik secara terstruktur, berbasis ideologi dan program yang kuat.

Apabila fungsi itu berjalan dengan baik, maka partai politik tak akan pernah kekurangan orang untuk dijadikan caleg. Kenyataannya, parpol di Indonesia seperti mati kutu dan tak punya orang yang kapabel dan elektabel. Itu sebabnya mereka membuka pintu lebar-lebar bagi para artis. Itu pula sebabnya ada nama ganda dalam caleg antar parpol.

Kegagalan kaderisasi itu bisa muncul karena kesalahan pengelolaan parpol, namun bisa juga karena desain kepartaian kita yang kebanyakan memang masih mengabdi pada kepentingan individu dan keluarga besarnya. Itulah sebabnya tokoh dan para putra-putrinya menjadi sangat sentral di sejumlah parpol.

Jadi, dinasti politik itu tidak salah, andai saja ia bukan gejala infeksi sekunder dalam demokrasi elektoral kita.

(Kedaulatan Rakyat, 3 Mei 2013)