Categories
Politik Regulasi

Ketuk Palu Pemilu Serentak

Palu sudah diketukkan. Kamis lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu. Dalam Putusan No. 14/PUU-XI/2013, MK menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal yang mengharuskan Pilpres dilaksanakan seteleh Pilleg kini tiada lagi.

Meski demikian, KPU periode sekarang tak perlu gelagapan, sebab MK menetapkan bahwa pemilu serantak baru akan dilaksanakan tahun 2019 dan pemilu seterusnya. Saya tak paham betul apa konsekuensinya, namun pasal 9 dalam UU ini tak dihapus oleh putusan MK, meski termasuk yang dimintakan peninjauannya oleh pemohon. Pasal ini mengatur bahwa pasangan capres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol dengan minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara sah secara nasional. Penyelenggara pemilu 2019 mungkin perlu berpikir keras untuk menerapkan pasal ini. Tapi itu urusan nanti.

Kini pertanyaannya: apa efek utama pelaksanaan pemilu serentak ini bagi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia? Yang jelas, biaya pemilu bisa dihemat. Trilyunan uang rakyat bisa disimpan jika pemilu dilaksanakan secara serentak. Angkanya bisa cukup signifikan. Putusan MK menyebut-nyebut angka 5 – 10 trilyun rupiah bisa dihemat dengan melaksanakan pemilu secara serentak. Biaya lain (termasuk untuk money politics) sangat boleh jadi juga bisa dihemat, karena kampanye parpol dan capres bisa seiring. Pada ujungnya, ini juga bisa meminimalisir korupsi. Bukan rahasia lagi bahwa biaya money politics banyak diambil oleh parpol dari uang negara lewat korupsi.

Selebihnya, saya merasa tak ada efek signifikan bagi penegakan presidensialisme di Indonesia. Esensi presidensialisme terletak pada mandat yang terpisah antara eksekutif dan legislatif. Esensi ini sudah terkawal dengan pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung, yang kita laksanakan sejak 2004. Pilpres dilaksanakan serentak atau tidak dengan pemilu legislatif, itu tak ada pengaruhnya secara spesifik terhadap penegakan presidensialisme dan demokrasi. Yang merasakan pengaruhnya hanyalah partai politik. Dengan pemilu serentak, apalagi tanpa syarat presidential treshold, partai gurem pun bisa mengajukan calon presiden. Tapi kita juga perlu melihat bahwa pilpres memiliki dapil berskala nasional yang memerlukan energi politik dan dana yang amat besar. Pilpres berbeda dengan Pilbup yang skalanya kecil sehingga memungkinkan banyak pasangan calon nekad maju kendati tak jelas modalnya. Meski secara teoritik semua parpol bisa mengajukan pasangan capres, pada prakteknya hitung-hitungan politik tetap akan menghasilkan pasangan calon yang cukup rasional.

Aspek lain yang justru sangat menarik di balik putusan MK ini adalah betapa mudahnya palu judikatif menentukan sesuatu yang secara politik agak lama diperjuangkan, baik oleh beberapa parpol maupun oleh LSM. Sejak tahun 2000an sudah mulai ada gagasan untuk melaksanakan pemilu legislatif dan eksekutif secara serentak. Ide ini bahkan sudah muncul sebelum amandemen ketiga UUD 1945 yang mengamanatkan pemilihan presiden secara langsung. Hanyasaja, ide pemilu serentak ini agak berseberangan dengan keinginan kuat untuk menyederhanakan kepartaian, serta tak begitu disukai oleh partai-partai besar.

Kendati begitu, gagasan itu tak pernah redup. Sejumlah parpol terus mengupayakan ditiadakannya presidential treshold yang memberatkan parpol gurem itu. Di DPR, gagasan ini muncul dalam keinginan untuk merevisi UU Pilpres yang akhirnya kandas di akhir tahun 2013. Bulan Oktober 2013, Badan Legislatif (Baleg) DPR memutuskan penghentian revisi UU Pilpres, sehingga UU No. 42/2008 tetap berlaku. Kita pasti ingat, partai kecil dan menengah seperti Hanura dan PPP walkout dari sidang yang menetapkan penghentian revisi UU Pilpres itu.

Sejumlah lembaga-lembaga non-pemerintah selama beberapa tahun terakhir pun sibuk melakukan advokasi parlementer untuk mendorong pemilu serentak, dengan dasar pikiran bahwa pemilu serentak akan lebih efisiean, dan masyarakat tak harus berurusan dengan banyak pemilu beserta segala kerumitannya.

Ketika jalur intra parlementer ini tertutup di bulan Oktober 2013, maka jalur tekanan belok dari ranah legislatif ke ranah judikatif lewat MK. Keinginan untuk mewujudkan pemilu serentak itu justru berhasil di sini. Seorang teman pegiat LSM menulis status di facebook-nya, mengutarakan betapa upaya advokasi tiga tahun di DPR justru berhasil dengan langkah-langkah ringkas di MK. Silang kepentingan di DPR sangat ruwet sehingga menyulitkan langkah advokasi itu. Tarik-menarik antar parpol bukan main kisruhnya. Di MK, silang kepentingan itu lebih sederhana dan lebih mudah dikelola.

gambar: http://lensaindonesia.com

Jadi, mungkin justru inilah pelajaran penting bagi masyarakat dan akademisi di Indonesia: advokasi politik lebih baik dilakukan lewat MK ketimbang lewat DPR.

Selamat berjuang di ranah judikatif…!