Categories
Pendidikan Politik

“Mau Cerdas Kok Susah”

Salah satu tujuan pendidikan politik adalah untuk mewujudkan pemilih yang cerdas, yang mampu menentukan pilihan secara logis berdasarkan informasi yang cukup. Kebanyakan lembaga yang melakukan program pendidikan pemilih mentargetkan hal serupa. Mungkin tak banyak yang mengetahui bahwa keinginan untuk mewujudkan pemilih yang cerdas itu ternyata bisa sangat sulit. Pengalaman saya dengan beberapa program yang kami kelola di Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) UGM menunjukkan bahwa upaya mengajak pemilih untuk menggunakan pilihan secara cerdas itu sama sekali tidak mudah.

Kesulitan untuk mewujudkan pemilih yang cerdas itu lebih banyak disebabkan oleh faktor di sisi supply ketimbang di sisi demand. Sebenarnya cukup mudah untuk mengajak pemilih bersikap cerdas dan mendasarkan pilihan pada informasi tentang caleg yang akan dipilih. Itu sisi demand-nya. Masalahnya, informasi tentang caleg itu biasanya susah didapat. Tak mudah bagi para pemilih untuk mengetahui tentang apa dan siapa caleg yang tersedia di dapil mereka. Sisi supply-nya sangat tak mendukung terwujudnya pemilih yang cerdas.

Ada beberapa masalah dalam sisi supply ini. Pertama, tak mudah mengetahui siapa caleg yang ada di sebuah dapil. Banyak caleg yang seperti muncul tiba-tiba dari negeri antah berantah, mencoba peruntungan di sebuah dapil. Sejumlah caleg tak punya akar di wilayah tempat dia berlaga. Akibatnya, tak cukup mudah untuk membuat mereka ‘dikenali’ oleh para pemilih.

Kedua, kalaupun seorang caleg cukup dikenali di sebuah wilayah, tetap tak mudah untuk menimbang potensi mereka karena track record yang tak cukup diketahui oleh publik. Mereka dikenali sebagai pribadi, namun tak cukup dipahami tentang reputasi politiknya. Misalnya, kami di JPP UGM mendesain kartu kontrol pemilih, untuk menakar komitmen dan potensi kerja para caleg dari sudut pandang pemilih. Kesulitan terbesar yang dihadapi kebanyakan pemilih adalah mereka tak tahu apa yang telah dan akan dilakukan oleh para caleg. Mereka tak bisa menakar kualitas seorang caleg karena tak ada informasi yang cukup. Seorang pemilih yang terlibat dalam aktifitas ini mengatakan: “ini mau cerdas saja kok susah,” sebab tak tersedia cukup informasi tentang kandidat. Sumber-sumber online juga tak cukup menyediakan informasi yang dibutuhkan.

Ketiga, masih terkait dengan masalah kedua di atas, sangat sedikit caleg yang betul-betul serius mengenalkan diri, komitmen, program dan potensinya pada masyarakat. Tentu saja tak semua caleg menyandang masalah ini. Namun publik bisa melihat bahwa banyak sekali caleg yang tak memberikan kejelasan tentang komitmen dan potensi macam apa yang ditawarkan pada masyarakat. Menjelang pemilu, suasana malah seperti lomba pembuatan tagline, sebab spanduk para caleg kebanyakan berisi jargon dan semboyan seperti “berikan bukti bukan janji”, “yang lain hanya bertopeng”, atau yang lebih falsafati seperti “migunani tumraping liyan”. Jargon-jargon seperti ini tak membantu pemilih untuk lebih cerdas.

Untuk mengatasi persoalan ini, pendidikan politik perlu dilakukan tak hanya terhadap pemilih. Pendidikan politik harus bergerak lebih banyak lagi di sisi supply untuk memberikan pengetahuan strategi dan komunikasi politik pada caleg. Seluruh stakeholders di ranah negara dan masyarakat perlu perlu bekerja lebih keras untuk mewujudkan politisi yang cerdas dan mampu mencerdaskan pemilih.

Dalam hal ini, terdapat setidaknya dua hal penting yang perlu digaris-bawahi. Pertama, peran partai politik sangat sentral. Partai perlu digeret untuk menjadi pelaku utama pendidikan politik dan pendidikan politisi. Pendidikan politik ini sebenarnya memang tugas parpol, namun tak banyak yang benar-benar melakukan. Banyak parpol yang hanya menjadi penyedia tiket bagi politisi. Jangankan mengawal ideologi para caleg, mendudukkan program saja tak sempat dilakukan. Para politisi pemegang tiket ini didorong untuk menang, sebab parpol butuh banyak kursi di DPR untuk mencapreskan pemimpinnya. Ini harus diubah. Parpol harus betul-betul menjadi agensi utama pendidikan politik, sebab hanya parpol lah yang bisa melakukan pendidikan politik efektif. Parpol dimungkinkan menjatuhkan sanksi bagi politisi yang tidak menunjukkan performa politik bagus.

Kedua, lembaga masyarakat sipil termasuk universitas perlu mendukung parpol untuk mengembangkan kemampuan pendidikan politik. Jujur saja, akademisi selama ini lebih sibuk memberikan advice pada parpol untuk memenangkan pemilu semata. Konsultan politik dan lembaga-lembaga survey juga melakukan hal senada. Kalau soal kecanggihan memainkan trick politik untuk memenangkan pemilu, parpol kita jago-jago. Para penasehatnya juga piawai semua. Namun dalam hal pendidikan politik, mungkin hanya satu-dua parpol yang betul-betul punya desain jelas. Ke depan, akademisi dan konsultan politik perlu lebih giat mendorong parpol untuk memahami pentingnya peran pendidikan politik bagi pemilih dan politisinya. Berhentilah jadi pemoles citra dan kemenangan parpol semata-mata.