Categories
Politik

Menambal-Sulam Negeri

Salah satu aspek yang dalam politik Indonesia sering dipahami dan diperlakukan secara tidak tepat adalah pemilihan pimpinan eksekutif lokal. Tarik ulur politik kerap terjadi di lingkup ini. Kita masih ingat perdebatan panjang tentang mekanisme penetapan Sultan Hamengkubuwono sebagai Gubernur DIY. Padahal, mekanisme penetapan ini adalah konsekuensi saja dari desain pemerintahan di DIY yang khas dan istimewa, berdasarkan faktor-faktor historis dan sosiologis.

Kini publik kembali diminta perhatiannya oleh rencana penerapan mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Ide yang dulu digulirkan oleh Kemendagri ini belakangan disambut dengan dukungan sejumlah partai di DPR. Argumen pendukung ide pemilihan kepala daerah oleh DPRD ini biasanya ada dua: mahalnya biaya pemilihan kepala daerah secara langsung, dan maraknya penyimpangan seperti korupsi dan money politics dalam penyelenggaraan pilkada langsung.

Alasan tersebut sekilas nampak meyakinkan, namun sebenarnya cukup mudah dibantah. Maraknya korupsi dalam pilkada tak bisa dijadikan alasan untuk mengubah pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi pemilihan oleh DPRD. Korupsi dan money politics itu penyimpangan di lingkup manusia, bukan penyimpangan yang terlekat dalam katakter sistem pilkada. Jka korupsi yang menjadi masalah, maka korupsinya yang harus ditangani, bukan sistem pilkadanya yang diubah. Kita tak akan lupa bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD dulu juga sangat rentan dengan money politics. Masalahnya bukan pada bagaimana cara kepala daerah dipilih, melainkan bagaimana hukum ditegakkan untuk mencegah korupsi dan manipulasi.

Alasan mahalnya biaya pilkada langsung juga tak bisa diterima. Mahalnya biaya pelaksanaan pilkada secara langsung itu sebenarnya sudah dapat diduga semenjak sistem ini dirancang kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Yang harus diingat oleh pemerintah dan DPR adalah bahwa pilkada langsung (dengan segala konsekuensi biayanya) ini adalah amanat dari sistem presidensiil yang diperkuat di Indonesia semenjak jatuhnya Orde Baru. Dalam sistem presidensiil, anggota legislatif dan pimpinan eksekutif sama-sama memperoleh mandat dari rakyat. Karena itu dua-duanya bertanggung jawab kepada rakyat sang pemberi mandat. Konsekuensinya, mereka sama-sama harus dipilih secara langsung. Dalam sistem presidensiil, pemilihan kepala daerah secara langsung adalah keharusan. Jika pemerintah dan DPR menghendaki perubahan dalam mekanisme pilkada ini, mereka harus terlebih dahulu melakukan perubahan desain pemerintahan. Pemerintah dan DPR harus menghentikan kebiasaan menambal-sulam pemerintahan negeri ini. Mereka harus belajar berpikir komprehensif.

Kecenderungan di kalangan elit politik untuk menata negeri secara tambal-sulam itu memang patut dikhawatirkan. Fenomena ini tidak khas Indonesia. Larry Diamond dan Marc Plattner (2006) pernah menyampaikan sinyalemen tentang tidak nyambungnya penataan demokrasi dengan pelembagaan politik di sejumlah negara. Butuh waktu lama untuk membangun kultur demokratis, civil society yang aktif, serta infrastruktur administratif untuk mewujudkan negara yang efektif. Sementara itu, arsitektur kelembagaan suatu negara kadang diubah-ubah dengan cepat. Seolah menebak kejadian di Indonesia saat ini, Diamond dan Plattner mengingatkan bahwa rancangan pemilu kadang diubah-ubah di level undang-undang tanpa melakukan penataan secara komprehensif di level konstitusi.

Jika memang begitu kondisi umumnya, maka peran seluruh elemen masyarakat sipil menjadi mutlak diperlukan, untuk mengawal agar elit politik tak menerus-neruskan kebiasaan menambal-sulam negeri ini. Pengawasan dan tekanan harus terus dilakukan agar elit politik bisa lebih mampu menjaga konsistensi dalam menjalankan tugas mengelola dan menata pemerintahan kita. Kesukaan elit politik menambal-sulam pemerintahan harus dicegah agar tidak berjalan berlebihan. Dalam jangka pendek, rencana untuk menerapkan sistem pilkada oleh DPRD harus ditolak. Jika DPR tak bisa membendung rencana ini, kita masih punya MK sebagai bendungan hukum.