Categories
Politik

Tahun yang Capedeh

Bung Karno pernah menyebut tahun 1964 sebagai tahun vivere pericoloso (hidup di ambang bahaya). Pidato kenegaraannya yang amat bergelora pun ia beri judul “Tahun Vivere Pericoloso (TAVIP)”. Jangan heran, banyak orang yang lahir tahun 1964 diberi nama “Tavip” oleh orang tuanya. Banyak orang terinspirasi oleh pidato yang sekali lagi menegaskan bahwa ‘revolusi Indonesia belum selesai..!!’ itu.

Jika saja BK masih hidup, mungkin ia akan memberi nama khas pada tahun 2014 ini; 50 tahun setelah TAVIP-nya. Entah nama apa yang akan ia berikan. Tapi saya usul agar BK memberi nama tahun 2014 ini sebagai “Tahun yang Capedeh”, sebab ini adalah tahun yang penuh keanehan dan kenaifan politik.

Ada tokoh reformasi yang bergandengan mesra dengan tokoh yang sejak lama dianggap sebagai kontra-reformasi. Ada partai-partai politik yang lahir dari rahim reformasi tapi kini bergabung dalam koalisi yang dinilai sebagai neo-Orba. Di sisi lain, ada partai politik yang memainkan isu-isu populisme tapi rajin sekali merawat dan mereproduksi oligarkhi dalam tubuhnya.

Yang sangat mengherankan, ada partai pemenang pemilu yang nampak tak punya daya apapun dalam pergulatan politik di parlement, sejak detik pertama mereka dilantik. Pening kepala kita memikirkan: bagaimana sebuah partai bisa menang tapi kalah sekaligus. Bagaimana parpol jawara beserta kawan-kawannya kini cuma bisa berkeluh-kesah di media? Tarik-menarik soal pilkada dimenangkan oleh pihak yang ‘kalah’ bersama konco-konconya. Kursi pimpinan DPR diborong habis oleh koalisi merah-putih (KMP), tanpa menyisakan satupun kursi buat koalisi Indonesia hebat (KIH). Sampai saat tulisan ini dibuat (7/10 sore), kursi pimpinan MPR masih sengit diperebutkan dalam sidang pleno yang tak kalah tegangnya dibandingkan sidang pleno DPR sebelumnya. Kekuatan politik di parlemen nampak acakadut.

Apa yang sebenarnya terjadi? Yang kita lihat adalah akibat dari tak bekerjanya manajemen politik di sejumlah partai. Salah satu manifestasinya adalah terbengkalainya proses regenerasi di sebagian besar parpol kita. Kecuali PKS, parpol-parpol kita praktis masih dipimpin oleh tokoh yang sama semenjak berdiri, atau semenjak reformasi politik tahun 1998 lalu.

Nama-nama di panggung kepartaian tak banyak berubah sejak dulu: Amien Rais, Megawati, Wiranto, Prabowo, Muhaimin Iskandar, Susilo Bambang Yudhoyono, Aburizal Bakrie. Kecuali Muhaimin Iskandar, mereka semua adalah politisi yang sudah sangat senior dari segi usia. Muhaimin meski masih muda juga sangat senior dari segi karier politik.

Sehebat-hebatnya para politisi ini di masa reformasi, mereka kini sudah mulai mengalami degenerasi dalam kemampuan dan idealisme politik. Itu hukum alam yang tak bisa dibantah. Meski menifestasinya berbeda, esensi persoalan dalam sikap serta performa politik Amien Rais dan Megawati sebenarnya sama saja. Semuanya terkait dengan masalah degeneratif. Amien Rais mengecewakan publik karena idealisme politik yang nampak sudah sangat degeneratif. Sementara itu, Megawati juga mengecewakan publik karena kemampuannya mengelola mandat politik rakyat yang diberikan pada partainya juga sangat degeneratif.

Tahun ini menjadi aneh, karena Amien Rais berada di posisi yang “non-reformis”, sedangkan Megawati tak mampu mengerahkan kekuatan parpolnya untuk membuktikan kedigdayaan di parlemen. Andai Amien Rais tak berada di posisinya sekarang, dan andai Megawati masih cukup masterful, mungkin akan beda jalan cerita politik kita. Atau lebih jauh lagi: andai bukan Megawati, Prabowo, Amien Rais, Wiranto dll yang menjadi pemain utama politik kita, maka kisah di hari-hari ini akan jauh berbeda. Itu artinya pekerjaan rumah parpol di Indonesia sementara ini bermuara pada satu agenda saja dulu, yakni regenerasi kepemimpinan. Segera.