Categories
Politik

Diskon Teladan

Bung Karno adalah seorang ideolog dan pemimpin politik yang flamboyan. Konon dia tak segan-segan merapikan dasi seorang wartawan istana saat menghadiri acara penting kenegaraan. Dalam kunjungan ke Amerika Serikat, BK sempat-sempatnya “menegur” cara berbusana Menhan AS Charless Wilson. BK membetulkan dasi Wilson sambil mengatakan bahwa komposisi warna baju dan dasinya kurang pas.

Pak Harto, sang junta militer yang murah senyum, juga konon sangat menekankan pentingnya kerapian para wartawan saat meliput acara di istana atau cendana. Wartawan senior Ali Shahab pernah menulis di blog pribadinya bahwa ia pernah memperoleh hadiah jas dari Probosoetedjo untuk dipakai saat meliput acara-acara Presiden Soeharto di istana.

Kedua pemimpin ini adalah diktator di jamannya masing-masing. Namun berselang waktu, banyak orang mengenang mereka sebagai pemimpin yang lengkap dan penuh kharisma. Mereka orang-orang yang memiliki aura pemimpin yang kuat, yang terpancar bukan saja dari kemampuannya memperhatikan hal-hal besar, namun juga hal-hal kecil dalam kepemimpinannya. Mereka dikenang bukan karena arah politiknya, namun karena teladan personal yang ditinggalkannya.

Di hari-hari ini, kita dihadapkan pada kegundahan sejumlah orang tentang melemahnya keteladanan dari pusat kekuasaan nasional. Contoh-contoh perilaku yang dinilai kurang layak, bermunculan dari ranah legislatif dan eksekutif; mulai dari yang ringan dan personal, hingga ke yang lebih berat dan institusional. Tak semua kekhawatiran publik itu beralasan, tapi tetap saja kekhawatiran itu menjadi wacana menarik belakangan ini.

Kehebohan di media massa dimulai ketika seorang menteri di Kabinet kerja merokok di depan wartawan, tak lama setelah dilantik. Terdengar juga kabar dari istana, bahwa dua orang menteri lainnya merokok di salah sudut istana, hingga ditegur oleh anggota Paspampres. Tentu saja si anggota ini langsung meminta maaf begitu tahu bahwa yang ditegurnya adalah dua orang menteri. Masih urusan rokok, seorang anggota DPR diberitakan berjalan di sisi Presiden RI sambil menghisap rokok tanpa sungkan.

Kabar lebih tak sedap lagi terdengar dari Senayan, kantor para anggota Dewan kita. Dalam sebuah rapat paripurna DPR, seorang anggota Dewan yang tak puas dengan keputusan pimpinan Dewan dilaporkan telah mendorong meja di depannya hingga rubuh terguling, menimbulkan suara gaduh karena gelas yang pecah. Hal ini jelas lebih parah daripada sekadar berita tiga orang menteri merokok di lingkungan Istana, dan satu orang anggota Dewan klepas-klepus di Ring 1.

Tak ayal, peristiwa-peristiwa itu langsung mengundang perbincangan panjang di khalayak ramai, termasuk di sosial media. Saya pribadi tak termasuk yang mengkhawatirkan dampak dari merokoknya para menteri di depan publik, apalagi dampak dari terlihatnya tato di betis seorang menteri. Saya merasa kita semua lebih patut khawatir pada perilaku politik anggota Dewan yang menggulingkan meja di Ruang Sidang. Tapi tetap saja, semua hal itu adalah kejadian yang membuat sejumlah kalangan mengkhawatirkan absennya keteladanan pejabat negara dalam hal perilaku personal. Jika publik mempermasalahkan hal ini, maka para pejabat publik tentu saja tak bisa menganggapnya sepele. Publik adalah sumber legitimasi terpenting dalam demokrasi.

Dalam pemerintahan, menjadi pejabat publik artinya bersedia mengemban amanah untuk bekerja yang terbaik bagi bangsa. Itu di satu sisi saja. Di sisi lain, menjadi pejabat publik artinya bersedia menggadaikan kehidupan pribadinya, untuk menjadi rujukan dan bahkan teladan publik. Di rumah pribadi, siapapun bebas menendang meja sampai roboh. Namun di ruang sidang DPR, Anda harus berpikir seribu kali untuk melakukannya. Demikian pula merokok di ruang publik apalagi di istana negara. Anda harus menahan diri untuk melakukan hal itu, apalagi jika Anda adalah seorang menteri, baik laki-laki ataupun perempuan.

Tapi apa yang akan kita, publik ini, lakukan jika para pejabat negara di atas sana memang tak menganggap bahwa perilaku politik apalagi perilaku personal mereka boleh dipersoalkan oleh publik? Kita mungkin harus menganggap bahwa saat ini tengah berlangsung diskon keteladanan dari pejabat publik. Ada baiknya kita mulai memperlakukan mereka seperti artis saja. Kita cukup nikmati nyanyian dan penampilan mereka, namun menutup mata terhadap perilaku personalnya. Kita tak layak membiarkan diri menjadi korban ketidak-mampuan pejabat publik memberikan teladan.