Categories
Politik Renungan

Konsensus*

Salah satu persoalan bangsa kita saat ini adalah merosotnya kemampuan untuk hidup dalam keberamanan secara sehat. Penyatuan bangsa-bangsa di Nusantara ini bukanlah sebuah keniscayaan, melainkan hasil dari upaya aktif untuk membangun konsensus antara elemen-elemen yang ada di dalamnya. Sebagai sebuah bangsa yang disusun di atas penyatuan banyak bangsa, kita membutuhkan alat perekat berupa kemauan untuk menghargai perbedaan.

Sayangnya, kini banyak di antara kita yang justru kehilangan kemampuan itu. Sebagian elemen bangsa kita malah semakin terampil melakukan upaya pembungkaman pihak-pihak lain yang berbeda dari dirinya. Banyak di antara kita yang tak sanggup menyikapi keragaman dengan baik, dan melihat perbedaan sebagai masalah yang harus diselesaikan dengan penyeragaman. Alih-alih menjaga konsensus, kita kini lebih bersemangat untuk saling mendominasi satu sama lain. Ini adalah persoalan yang tidak bisa dipandang remeh. Karena negeri ini lahir dari konsensus, maka negeri ini bisa punah jika konsensus itu pudar. Sesederhana itu.

Kita memerlukan upaya terus-menerus untuk mengembalikan kemampuan diri mengelola keragaman dan menjaga konsensus – bahkan memperbaharui konsensus bilamana diperlukan.

Dengan merayakan Sumpah Pemuda, kita sebenarnya berpeluang untuk kembali belajar membangun konsensus. Sumpah Pemuda dan rangkaian peristiwa yang berjalan hingga belasan tahun setelahnya, adalah peristiwa konsensus. Pada masa-masa itu, anak-anak bangsa membangun kesepakatan-kesepakatan sosial yang kemudian melahirkan Indonesia. Wujud terbesar dari konsensus kebangsaan kita adalah Pancasila. Ideologi negara ini dirumuskan oleh Bung Karno dengan metodologi konsensus.

Tapi kini, Pancasila telah sedemikian rupa kita perlakukan sebagai dogma yang statis. Pancasila tak lagi menjadi apa yang oleh Bung Karno disebut sebagai “sebuah dasar yang dinamis”. Sejak masa Orde Baru, Pancasila berubah menjadi doktrin yang disakralkan, yang oleh penguasa digunakan sebagai alasan untuk menindas pihak-pihak yang berseberangan dengan mereka secara politik. Pancasila diajarkan sebagai hafalan tiap hari Senin. Butir-butir Pancasila dijadikan bahan dasar kurikulum indoktrinasi masif. Cara-cara itu berhasil mencetak warga negara yang patuh, tapi telah menggeser Pancasila dari pemersatu yang brilliant menjadi penggebuk yang menyakitkan.

Kita bisa kehilangan essensi Pancasila, yakni kemampuan untuk berkonsensus. Belajar dari sekolah Orde Baru itu, Pancasila kini cenderung kita gunakan sebagai alat untuk menolak pihak lain yang kita tidak sukai. Kalau ada orang yang tak sejalan dengan kita secara politik, maka dengan mudah kita beri dia cap sebagai “tidak Pancasilais”. Jadi tak hanya dalam urusan beragama Islam saja ada kelompok takfiri. Dalam ber-Pancasila pun ada kelompok takfiri, yakni mereka yang suka menuding orang lain sebagai tidak Pancasilais; sebagai kafir Pancasila.

Dan itulah pengkhianatan sejati terhadap Pancasila, yakni ketika Pancasila digunakan justru untuk menolak apalagi menyingkirkan anak bangsa, sebab sejatinya Pancasila dilahirkan untuk merangkul.

Agenda terbesar kita saat ini adalah belajar untuk kembali merangkul, ketimbang saling menyingkirkan. Kita harus belajar berkonsensus lagi. Salah satu cara untuk membuat kita terampil menjaga dan memperbaharui konsensus adalah dengan benar-benar kembali kepada Pancasila sebagai metodologi berpikir, bukan sekadar rumusan lima sila yang statis.

Seperti apa medotologi Pancasila yang berbasis konsensus itu? Mari kita tengok lagi apa yang dikatakan oleh Bung Karno di sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai tanggal 1 Juni 1945.

Kita bersama-sama mencari persatuan philosophischegroondslag, mencari satu Weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi: setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.

Bung Karno saat itu melihat bahwa serakan bangsa-bangsa di kawasan Nusantara ini bisa disatukan melalui amalgamisasi sejumlah ideologi besar. Dia melihat ada nasionalisme. Maka dia masukkan nasionalisme sebagai satu prinsip. Dia melihat ada internasionalisme dan perikemanusiaan, yang bisa mengerem nasionalisme sempit. Maka dia masukkan internasionalisme dan perikemanusiaan sebagai prinsip. Dia lalu melihat konsosiasional demokrasi sebagai sebuah prinsip penting, dan dia tambahkan itu. Prinsip keempat yang diusulkan Bung Karno adalah kesejahteraan. Dan yang kelima, di atas segala-galanya, Bung Karno mengusulkan prinsip ketuhanan yang maha esa.

Jadi Pancasila diusulkan oleh BK sebagai ideologi yang menyatukan – bukan saja menyatukan prinsip-prinsip yang beragam, melainkan menyatukan prinsip-prinsip yang sebenarnya berlawanan. Para nasionalis tak perlu menuduh para penganut internasionalisme sebagai anti-Pancasila, sebab justru semangat Pancasila adalah membuat nasionalisme mau berkompromi dengan internasionalisme.

Satu-satunya cara untuk menjadi anti-Pancasila adalah dengan anti terhadap konsensus, dan menganggap hanya pahamnya sendiri yang benar. Jika Anda seorang nasionalis, tapi Anda menolak internasionalisme dan perikemanusiaan, maka Anda anti-Pancasila. Anda bisa menjadi seorang nasionalis yang Pancasilais jika Anda selalu mau berkonsensus dengan pihak-pihak lain. Bukan terutama APA ideologi Anda yang bisa menjadikan Anda anti-Pancasila. Yang bisa menjadikan Anda anti-Pancasila adalah BAGAIMANA cara Anda berideologi.

Maka kini, marilah kita kembali belajar menguatkan konsensus. Mari jadikan Pancasila kembali sebagai alat pemersatu, bukan alat penyingkir. Mari kita mulai dengan memperbanyak ruang-ruang bertemu, agar kita tak sibuk dengan prasangka antar anak-bangsa.

==========

*Disampaikan dalam acara peringatan Sumpah Pemuda oleh Kagama Virtual, Yogyakarta 27 Oktober 2017.