Categories
Renungan Sosok

Damardjati

Setiap berkendara dari perempatan Kamdanen, ke timur ke arah Jalan Kaliurang, aku selalu melintasi rumah almarhum Prof. Damardjati Supadjar. Setiap kali pula, aku teringat sebuah percakapan dengan beliau, yang bagiku sangat inspiratif.

Tahun 90an awal, Pak Damar beberapa kali mengisi acara di Masjid Ashshiddiqi, Demangan — sebuah masjid kecil yang aku turut mengurusnya. Ceramah beliau selalu sangat filosofis, sarat dengan ilmu kelas tinggi yang disajikan dengan cara amat sederhana. Ngelmu tuwo, kata beberapa jamaah senior di masjid itu.

Pada suatu kesempatan, saat turut mengantar Pak Damar pulang usai ceramah, aku bertanya pada beliau, “Pak, jadi dosen enak ya?”

“Bagi saya enak,” jawab beliau. “Tapi kalau diniati untuk kaya raya, ya jadi dosen itu tidak enak.”

“Tapi jadi dosen kan harus selalu menambah ilmu Pak,” kataku agak kurang nyambung.

“Tentu saja. Tapi itu kan otomatis berjalan, tak perlu dipaksakan.”

“Jadi tidak berat ya Pak?”

“Sama sekali tidak. Yang berat itu malah hal lain.”

“Apa itu Pak?”

“Mengendalikan ego,” jawab beliau.

Aku membuka telinga…

“Seorang dosen, juga seorang guru atau ustadz atau kyai, mudah terjerumus pada ‘ujub.” Pak Damar mulai menjelaskan. “Dengan pengetahuan yang dimiliki, dengan peluang untuk berbicara di depan orang lain yang bersedia atau dipaksa mendengarkan, semua pendidik pada dasarnya punya peluang menjadi tinggi hati. Ciri pendidik yang tinggi hati adalah gemar memamerkan pengetahuan, agar nampak pandai di hadapan anak-didiknya.”

“Tapi kan itu lumrah Pak.”

“Tidak lumrah. Pendidik yang tinggi hati, sesungguhnya akan gagal mendidik. Dia hanya akan menghasilkan pengagum, bukan orang terdidik. Pendidik yang baik adalah yang mampu menekan ego di hadapan anak-anak didiknya.

“Menekan ego seperti apa Pak, maksudnya?” Aku tak paham betul apa maksud Pak Damar.

“Menekan ego untuk nampak pintar. Tugas guru dan dosen bukanlah keminter di hadapan murid-muridnya, melainkan untuk memberi inspirasi.”

“Menunjukkan kepintaran di hadapan murid kan juga bisa menginspirasi Pak?” tanyaku tetap kurang paham.

“Iya, inspirasi untuk kagum pada sang guru, bukan inspirasi untuk mencari ilmu sejati.”

Tetap tak paham, namun aku lanjut bertanya. “Soal menekan ego itu Pak, seberapa banyak pendidik yang bisa melakukannya?”

“Hanya mereka yang bisa menghayati makna ‘tidak ada ilah selain Allah’ yang bisa menekan ego.”

Aku tak yakin apakah aku betul-betul paham yang dimaksudkan oleh Pak Damar. Namun kata-kata itu selalu terngiang di benakku: “Seorang pendidik harus menekan ego untuk nampak pintar”.

Aku baru bisa mencerna dan sedikit-demi-sedikit memahami kata-kata itu beberapa tahun kemudian, setelah beberapa waktu menjadi dosen. Bahkan hingga sekarangpun, aku tak yakin apakah bisa mengendalikan ego seperti dimaksud Pak Damar itu.

Lahul faatihah…

===============
Catatan: Kisah di atas tidak saya tulis secara verbatim. Essensinya seperti itu, namun kata-kata yang diucapkan Pak Damar mungkin berbeda secara redaksional.

Categories
Multikulturalisme Politik Renungan Sejarah Sosok

Indonesia yang Arab?

4 Oktober 1934, sejumlah pemuda keturunan Arab di kawasan yang kini Indonesia mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab. Isi sumpah itu adalah: (1) Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia, (2) Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan mengisolasi diri, dan (3) Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

Categories
Renungan Sosok

Pembebasan

Tanggal 30 Desember ini, tepat dua tahun Gus Dur wafat menurut hitungan Masehi. Haulnya diperingati dalam minggu-minggu ini, sebab dalam hitungan Hijriyah, tanggalnya sudah tiba beberapa waktu yang lalu. Tahun pertama sejak wafatnya Gus Dur boleh dianggap sebagai tahun berduka-cita bagi yang merasa kehilangan tokoh ini. Namun tahun kedua dan ketiga, duka-cita itu boleh dianggap sudah reda, dan kini tiba waktunya untuk membahas tentang warisan.

Categories
Renungan

Abraham

Aktifis-advokat muda itu akhirnya terpilih sebagai Ketua KPK. Usianya baru 44 tahun. Setelah melalui drama di Setgab, final juga Abraham Samad melaju ke posisi paling menentukan di KPK. Media massa banyak memujinya sebagai seseorang yang punya integritas dan keberanian. Pada sejumlah media massa, Abraham Samad berjanji untuk membawa semangat Baharuddin Lopa dalam memimpin KPK. Ia juga menjamin dirinya akan bersih dari intervensi politik DPR.

Tapi tak sedikit pula media massa yang meragukan kemampuan Abraham untuk mengelak dari intervensi DPR. Kemenangannya hari Jumat (2/12) lalu dinilai sejumlah orang sebagai bukti kompromi awal dengan kelompok tertentu di DPR.

Bagaimana kita sebaiknya menilai Abrahan Samad, kepemimpinannya di KPK, dan posisinya di hadapan DPR?

Categories
Agama Renungan

Saya Malu…

Ini tulisan lama. Saya buat catatan ini pada tanggal 26 Desember 2005, untuk dikirimkan ke sebuah mailing list pelajar Indonesia di Australia. Dalam tulisan ini saya sampaikan kesan yang saya peroleh saat pulang ke Yogyakarta dalam suasana natal. Sebagian besar kesan yang muncul saat itu masih terasa relevan hingga kini…

SAYA MALU…

Ada yang senantiasa berulang setiap kali sebuah hari raya datang. Yang paling sering berulang tentu saja kesibukan mengirim dan menerima SMS.

Kalau lebaran, saya pun sibuk mengirim ucapan memuliakan hari raya idul fitri, juga sibuk menerima ucapan serupa dari teman dan kerabat seagama dan tak seagama.

Kalau natal, saya tak sibuk menerima SMS ucapan selamat, tapi tetap sibuk mengirimkan SMS ucapan selamat merayakan natal bagi sahabat dan teman yang merayakannya — meski saya tak turut merayakan natal.

Namun natal kemarin ada sedikit ‘kesibukan’ tambahan yang saya rasakan, nyaris tanpa sengaja.

Tanggal 24, sesorean di Yogya saya jalan-jalan menikmati udara kota ini yang tumben rada cerah setelah beberapa hari sebelumnya selalu diguyur hujan. Saya muter-muter saja keliling kota, lewat kampus UGM, ke Kotabaru, ke Malioboro, lalu berbelok kearah timur dan selanjutnya ke utara menuju ke Jalan Kaliurang.

Saat tiba di sekitar sebuah gereja besar di Jalan Kaliurang km 6, barulah saya sedikit tersadar betapa sepanjang jalan yang saya lewati tadi, terutama di sekitar gereja-gereja, pengamanan yang dibuat oleh aparat gabungan polisi dan tentara sangatlah ketatnya. Bahkan perempatan-perempatan utama juga dijaga oleh pasukan pengamanan yang cukup mencolok.

Tadinya saya merasa salut kepada pihak keamanan yang tampak begitu antisipatif dalam upaya pengamanan malam natal. Namum menjelang tidur, saya rada kepikiran. Setelah saya pelan berpikir, berdialog dengan diri sendiri, menjelang tengah malam di hati saya justru tumbuh rasa malu yang amat sangat.

Saya malu, sebab di negeri saya masih ada tempat ibadah yang mesti dijaga begitu ketat demi keselamatan ummat yang sedang beribadah di dalamnya.

Saya malu, sebab di negeri saya masih ada orang yang mesti beribadah dengan diimbuhi rasa kuatir dan rasa takut.

Saya malu, sebab agama rupanya bukan tempat yang paling aman di negeri saya.

Sungguh saya malu…

Yogyakarta, 26/12/2005
———-

Gambar diambil dari http://www.watton.org/clipart/doves/dove110.gif

Categories
Politik Renungan

Setelah Geram Reda

Gayus HP Tambunan. Itulah nama yang kini menjadi buah bibir, terutama sejak erupsi Merapi dan kunjungan Obama tak lagi teramat sexy di media. Anak muda 30an tahun, PNS bergolongan biasa-biasa saja ini membetot perhatian kita habis-habisan. Uang ratusan milyar rupiah, melenggang-kangkung ke Bali saat ia seharusnya mendekam di penjara Brimob, adalah tamparan yang diberikannya ke wajah publik kita.

Dan kita geram. Saya pun tak tahan memendam gemas tiap kali membaca berita tentang pokal orang ini. Jujur, beberapa kali rasanya saya sangat ingin secara personal ‘mengeksekusi’ Gayus. Pikiran yang gawat, bukan?

Categories
Renungan Sosok

Kawan

Aku memandangimu dengan termangu, Kawan
Atau sepatutnyakah aku
meremaskan getar sedih di tanganku padamu?
Aku ingin menemuimu
Sungguh

Categories
Personal Renungan

Empat Huruf yang Mahal

Dalam perjalanan pulang dari Medan minggu lalu, ada kejadian menarik yang membuat saya sedikit merenung. Kejadian ini berlangsung di pesawat yang membawa saya ke Yogyakarta usai transit selama 2 jam di Bandara Sukarno-Hatta.

Categories
Renungan

Berbeda Itu Melelahkan?

Berbeda, apalagi berbeda pikiran dan pendapat, itu melelahkan — paling tidak buat sebagian orang. Jika perbedaan pikiran dan pendapat itu sudah terlalu melelahkan, maka tak jarang orang mengambil langkah-langkah pintas untuk meredakan perbedaan. Tentu saja, langkah pintas bukanlah langkah yang sangat ideal. Tak jarang justru persoalan dan perbedaan baru yang dimunculkan oleh langkah pintas itu.