Perjalanan 3 hari ke Medan minggu lalu sedikit mengecewakan buat saya. Ada target-target pribadi yang tak bisa dicapai dalam perjalanan itu.
Medan adalah kota yang belum pernah saya kunjungi. (Hah!? where have you been?) Sempat terheran-heran juga saya, ketika menyadari bahwa saya belum pernah ke kota Medan. Itulah sebabnya, tugas untuk turut dalam tim perumus dan narasumber dalam sebuah workshop tentang penguatan DPRD tidak saya tolak. Ke Medan; that was all that mattered.
Karena ini kunjungan pertama ke Medan, maka saya minta bisa tersedia cukup waktu luang bagi saya di akhir acara setiap harinya, agar saya bisa menikmati kota Medan. Minimal, saya berharap bisa pergi ke Istana Maimun dan Masjid Raya, dan melemaskan jejari dengan mengambil foto kedua bangunan indah itu.
Keinginan yang sederhana ya? Tapi ternyata keinginan yang sederhana ini pun tak bisa terpenuhi.
Saya tiba di Medan Selasa, sekitar jam 22.30. Saya tak tertarik dengan kehidupan malam, dan tak berminat untuk memulai pengenalan diri pada kota Medan dengan berjalan-jalan saat sudah menjelang tengah malam. Lagipula badan sudah meminta untuk istirahat (setelah seharian di Yogya menguras energi, dengan berbicara di sebuah acara bedah buku tentang Tan Malaka di pagi hari, disusul mengajar hingga jam 14.30, dilanjutkan dengan bergegas pulang ke rumah di Rejodani dan berkemas ke airport mengejar pesawat jam 16.30). Karena itu, malam saat tiba di Medan itu saya putuskan untuk langsung menuju ke Tiara Hotel, tempat workshop sekaligus tempat saya menginap. Usai mandi, saya pun segera tidur, dengan membawa harap bahwa esok hari akan banyak waktu senggang untuk melihat-lihat kota ini.
Tapi esoknya, acara workshop molor-molor selalu, sehingga sesi terakhir di hari pertama yang seharusnya selesai jam 5 sore (meaning: hari masih belum senja dan bisa dimanfaatkan untuk jalan-jalan), baru usai ketika maghrib telah tiba. Alhasil di hari pertama saya cuma bisa jalan-jalan saat malam.
Untungnya pengalaman kuliner di hari pertama ini cukup menyenangkan. Bersama beberapa kolega (termasuk Pak BP), saya pergi ke Kampung Keling, sebuah kawasan warung pinggir jalan yang didominasi warga keturunan India. Di sebuah jalan yang tak lebar, berjejer puluhan warung dengan menu jualan utama martabak atau mie keling — selain sate Padang, seafood, dan sup kambing. Saya hibur hati, yang rada kesal karena jalan-jalan sore yang gagal itu, dengan roti canai berkuah kari kambing, seporsi sate padang, dan limpahan sepiring nasi goreng seafood. Yang terakhir ini adalah pesanan teman yang alergi telur, dan saat memesan nasi goreng itu lupa untuk memintanya tanpa telur. Demi menghindari kesia-siaan (sebab dia harus memesan ulang tanpa telur) akhirnya saya menawarkan diri untuk jadi penampung porsi yang terlanjur jadi itu. Kendati rasa makanannya cukup lezat, buat saya masakan di sini tidaklah terlalu eksotis. Rasa masakan Medan tidaklah sedahsyat masakan di Padang dan Bukittinggi yang selalu mengundang rindu jika dikenang itu.
Rampung makan di Kampung Keling ini, kita minta Pak Ali (sopir mobil milik Pemprov Sulut yang disediakan oleh seorang alumnus PLOD UGM) untuk mengantar kami cari durian. Pak Ali membawa kami ke Jl. Adam Malik, yang kata dia adalah pusat pedagang durian di Medan.
Di jalanan ini, banyak kita jumpai pedagang durian yang menempati petak-petak pinggir jalan yang lumayan luas. Durian ditata secara sangat menggoda, dibantu oleh penerangan lampu yang saling berlomba mengundang perhatian orang lewat. Di setiap petak itu ada deretan meja dan kursi yang ditata mirip warung. Di setiap meja tampak terlihat ember-ember kecil berisi air untuk cuci tangan, serta gelas-gelas plastik air mineral. Di sebelah meja terdapat keranjang persegi untuk membuang biji durian. Tampaknya orang datang ke sana kebanyakan untuk menikmati durian di tempat. Kalaupun dibawa pulang (atau dibawa untuk oleh-oleh), banyak yang memilih untuk membuka duriannya di tempat, dan memindahkan isinya ke dalam kotak plastik yang disediakan juga oleh si penjual.
Kami berhenti di salah satu petak yang kebetulan ada ruang parkir kosong di depannya. Begitu duduk melingkari salah satu meja, tiga buah durian yang sudah dibelah terhidang di depan kami dengan segera. Saya comot sebiji, dan happ… emmm. Lezat betul. Ini kali kedua saya menikmati durian sejak kembali ke Indonesia. Kali pertama adalah di depan TVRI Yogya di Jl. Magelang. Yang di Yogya duriannya kecil dan dagingnya tipis. Yang di Medan ini dagingnya tebal dan rasanya begitu legit. Dan harganya itu lho! Satu durian di Yogya bisa menguras kocek sekitar Rp. 50.000-an. Yang di Medan ini, kami makan empat durian berukuran besar-besat plus beberapa gelas air mineral, kerusakan yang melanda dompet cuma Rp. 60.000,- (“bah, tak kliru hitung kau Bang?”)
Tapi salah saya juga, perut sudah dibikin terlalu penuh sejak di Kampung Keling. Di Adam Malik ini saya hanya sanggup menghabiskan 4 atau 5 suapan durian… Perut sudah tak sanggup. Pun ketika seorang teman di Pemprov menelpon untuk mengajak makan malam, kami angkat tangan. Kami hanya sanggup memenuhi ajakannya untuk kongkow-kongkow dan minum jus. Itu pun saya hanya bisa menyedot jus semangka dengan rasa malas. Hehehe…
Malamnya saya tidur dengan rasa kekenyangan. Tetap saya berharap, esok harinya saya bisa jalan-jalan sebelum malam. Menurut jadwal, acara besok akan selesai jam 15.15. Banyak waktu bagi saya untuk melihat kota Medan secara lebih jelas. Or, is it?
Ternyata lagi-lagi, acara di hari kedua molor. Workshop baru ‘berhasil’ sepenuhnya kami tutup pada pukul 16.30… Saya sudah malas duluan, dan kehilangan mood untuk raun-raun — istilah Medan untuk jalan-jalan. Apalagi saya segera disibukkan oleh kerjaan lain yang membuat saya baru bisa beranjak setelah jam 19.30. Padahal tadinya, saya sempat berencana untuk setidaknya menjajal shalat maghrib di Masjid Raya. Tapi apa boleh buat, inipun tak tercapai. Ya sudah: acara malam sebelumnya sebagian saya ulang. Kami pergi makan ke Kampung Keling (kali ini kami mencoba naik becak motor alias betor). Di sana saya mencoba menghibur diri dengan seporsi martabak Mesir serta jus campuran markisa dan timun Belanda, lalu pulang segera ke hotel karena ada sesuatu yang harus saya kerjakan. Walhasil, di hari kedua ini pun saya sama sekali tak sempat melihat Medan di siang hari.
Kesempatan untuk melihat Medan saat matahari bersinar baru datang keesokan harinya. Tapi inipun sudah percuma. Sinar matahari di atas Medan itu cuma bisa saya lihat dalam perjalanan ke Bandara Polonia, karena saya harus kembali ke Jakarta dan kemudian ke Yogya hari itu. Seperti apa pelosok Medan ketika siang hari, sama sekali saya tak bisa lihat dalam kunjungan pertama ini. Dalam pesawat yang bersiap take off ke Jakarta, saya membaca dua doa: pertama doa naik kendaraan, dan kedua doa semoga lain kali saya bisa kembali ke Medan dan menikmati kota ini di siang hari.
Sabtu pagi ketika saya tiba di kantor di PAU UGM, seorang teman bertanya: “gimana Medan, Mas?”. Saya jawab asal, “tak ada siang di Medan, bah!”