Categories
Agama Renungan

Endog Ceplok

Madura kampung halaman saya adalah kawasan Muslim yang menyenangkan. Islam adalah mayoritas di sana. 90% penduduknya adalah Muslim. Yang 10%? Muhammadiyah. (Hehehe… Saya ngakak terpingkal-pingkal ketika mendengar guyonan ini pertama kali saat mengikuti ceramah Cak Nun di Universitas Airlangga).

Saat bulan Ramadlan tiba (bahkan sejak pertengahan Sya’ban), seluruh energi masyarakat dikerahkan untuk memeriahkan suasana. Puasa memang ibadah yang bersifat individual dan privat. Namun masyarakat punya tradisi yang unik untuk menyemarakkannya sebagai aktivitas sosial. Beda dari perda-perda dan edaran-edaran bupati gombal yang memaksa warung pada tutup saat Ramadlan itu, tradisi yang saya maksudkan ini bersifat voluntary dan spontan. Tak ada paksaan di situ. Tak ada gerebekan Satpol PP.

Di Sumenep, saat saya masih kecil dan remaja, tak pernah saya lihat warung buka dengan mencolok. Kebanyakan malah tutup. Ada satu-dua yang buka, tapi mereka memasang tirai tertutup. Saya pernah mengantar Ibu periksa kesehatan di bulan Ramadlan, lalu harus makan untuk pemeriksaan kedua. Jadi saya bawa beliau ke restoran kecil yang menjual nasi ayam, yang dulu dikenal sebagai “nasi burung” (karena ayam yang disajikan adalah ayam kampung yang begitu kecil sehingga nampak seperti burung merpati). Restoran ini tetap buka, namun memasang tirai sehingga orang tak bisa saling lihat ke luar dan ke dalam.

Ketika saya pertama kali ke Yogya untuk kuliah di UGM, terkejutlah saya melihat banyak warung dan restoran yang tetap buka di siang hari bulan Ramadlan. Lapak-lapak kecil tempat transit supir Kobutri dan Kopaja tetap menjual minuman dan makanan kecil seperti biasa. Para supir dan kenek angkutan umum itu banyak yang santai saja melahap makanannya. Teringat betul, betapa dongkol hati saya saat melihat dari dalam Kobutri yang sedang ngetem di Jalan Kaliurang, si supir santai mengigit irisan pepaya yang dijual dalam bungkusan plastik di lapak itu.

Betapa jauh suasana jalan raya Yogya saat Ramadlan dibandingkan suasana di Sumenep. Dalam pandangan saya saat itu, kota ini penuh maksiat dan sama sekali tidak Islami. Ramadlan sama sekali tak disambut dengan baik di sini.

Tapi suatu sore, ada sesuatu yang mengubah cara pandang saya tentang hal itu. Saat itu saya sedang santai-santai di Masjid Ashshiddiqi di Demangan usai shalat ashar. Kalau mau membuat pencitraan, saya bisa katakan bahwa saya sedang i’tikaf di masjid. Tapi tidak kok, saya memang sedang santai-santai saja, leyeh-leyeh bersama beberapa teman-teman takmir.

Masjid Ashshiddiqi ini terletak bersebelahan dengan sebuah tempat kos-kosan. Dari arah sana lah saya dengar suara dari radio yang sedang menyiarkan dialog Ramadlan dengan Pak Damardjati Supadjar.

“Pak, saya sangat terganggu dengan warung-warung yang masih buka saat siang hari, dan ada orang makan di situ. Beberapa warung memang menutupi jendelanya dengan korden. Tapi banyak yang buka biasa saja. Bagaiman kita mensikapi keadaan ini?”

Pak Damardjati menjawabnya dengan cara khas beliau yang filosofis. Saya kutip sesuai ingatan saya saja di sini, dalam versi ringkasnya.

“Puasa itu memang tidak mudah. Karena itu Allah memerintahkan puasa hanya untuk orang yang beriman, bukan untuk semua orang. Ada aspek olah bathin yang sangat kuat dalam puasa, yang melampaui urusan menahan lapar dan dahaga. Kalau puasa hanya urusan tidak makan dan tidak minum, maka Allah tak akan menjanjikan pahala besar-besaran bagi orang yang berpuasa.

“Karena itulah niat puasa harus lurus, lillaahi ta’aala. Jangan niatkan puasa kita itu li endog ceplok. Kalau niatnya untuk endog ceplok, maka kita dlahirnya saja tak makan dan minum, namun di bathin terus-terusan melahap segala makanan dan minuman. Ketika dlahir tak bisa melakukan apa yang dilakukan bathin itu, maka kita menjadi mudah tersinggung. Kita marah melihat orang lain makan. Padahal makan dan minum saat siang hari Ramadlan itu boleh saja, bagi yang tak berpuasa. Warung-warung itu boleh berjualan bagi orang-orang yang tak berpuasa.

“Jadi bagaimana sikap kita? Bersikaplah selalu sesuai lafal niat puasa, yakni lillaahi ta’aala. Bukan li endog ceplok.”

Saya tertegun mendengar jawaban yang sangat tak terduga seperti itu. Sentilan bahwa kita mungkin berpuasa secara dlahir namun tetap makan minum secara bathin itu benar-benar mak jleb bagi saya, yang saat itu kerap dongkol melihat warung-warung yang jualan makanan di siang hari Ramadlan.

Siapa mengira bahwa tak sengaja mendengar siaran radio dari kamar kos-kosan sebelah masjid itu bisa mengubah cara pandang saya 180 derajat. Sejak itu, saya memandang biasa saja tiap kali melihat orang makan-minum di depan umum saat siang hari Ramadlan. Saya tak ingin puasa saya cuma dilandasi oleh niat “li endog ceplok” itu…