Categories
Politik Sosial

Sudahkah Kita Tercerahkan?

Film Sang Pencerah yang menyajikan sejarah hidup KH Ahmad Dahlan sejak remaja hingga saat ia mendirikan Muhammadiyah di tahun 1912 tengah di putar di kota-kota besar di Indonesia. Publik Indonesia sedang disuguhi sebuah tontotan yang cukup memikat.

Sang Pencerah adalah sinema yang dimaksudkan untuk menghadirkan personifikasi sebuah nilai yang dianut dan diikuti oleh sebuah komunitas. Ia bukan cuma biografi seorang tokoh. Salah satu aspek yang ‘diingatkan’ oleh Sang Pencerah pada penontonnya adalah semangat KH Ahmad Dahlan untuk memajukan pendidikan dan mengentaskan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan itu, ia tak ragu untuk melakukan hal-hal yang kemudian dinilai sebagai ketidak-patuhan pada tradisi. Pada otoritas keagamaan tertinggi yang merupakan ejawantah Keraton, ia kibarkan bendera perlawanan akan praktik keagamaan yang menurutnya tak murni. Namun restu terpenting bagi gerakannya tetap ia dapatkan dari negara, dalam hal ini Sultan HB VII.

***

Sebagai sebuah karya seni, film ini bisa dipelajari dari sudut mana saja. Bagi saya, kehadiran film seperti ini adalah momentum bagi eksponen gerakan keagamaan di Indonesia untuk kembali merenungkan peran dan posisinya dalam masyarakat.

Saat ini, politik merupakan magnitude terbesar bagi sejumlah besar eksponen dan gerakan keagamaan di Indonesia – khususnya gerakan keagamaan Islam. Capaian-capaian politik seperti posisi publik di parlemen dan kabinet, merupakan mimpi yang cukup dominan bagi sejumlah besar tokoh lembaga-lembaga agama. Peluang yang disediakan oleh liberalisasi politik sejak tahun 1998 digunakan cukup luas untuk mencapai tujuan-tujuan politik praktis.

Kendati hal itu penting, namun fokus berlebihan terhadap dunia politik bukannya tanpa masalah. Salah satu efeknya adalah terlengahkannya lembaga-lembaga agama itu dari persoalan dalam lingkup civil society. Saat ini civil society tak cukup terurus oleh lembaga agama. Lembaga-lembaga agama tak cukup punya energi untuk menegakkan salah satu komponen terpenting dalam civil society, yakni sivilitas. Kepentingan politik yang dominan justru membuat parpol berbasis agama pun gagal meletakkan sivilitas di atas ukuran lainnya. Itulah yang antara lain menjelaskan mengapa ormas dengan tindak kekerasan seperti FPI tetap memperoleh ruang tumbuh: ada parpol yang tetap memandang mereka penting sebagai konstituen. Tak ayal, konstituensi menjadi lebih penting daripada sivilitas.

Terabaikannya ruang-ruang peran civil society ini sampai taraf tertentu agak menyimpang dari kecenderungan umum peran agama sebagaimana dicatat oleh sosiolog Jose Cassanova (2001). Cassanova menyebutkan bahwa secara global, sejak tahun 1950an agama menunjukkan kontribusi sangat penting dalam penguatan civil society. Peran dalam civil society itu dimainkan dalam agama dan lembaga agama dengan menjadi ruang publik yang otonom, sekaligus penyeimbang kekuasaan negara. Ruang publik itu disertai dengan pengakuan atas kebebasan berekspresi. Yang juga sangat penting, agama juga menjadi agama publik modern, yakni agama yang mengalami deprivatisasi, dimana modal sosial disimpan, diinvestasi dan disirkulasi di seputar institusi agama.

Kecenderungan terlengahkannya agama di Indonesia dari sejumlah besar persoalan civil society terlihat jelas dari tidak nampaknya ukuran-ukuran yang dirumuskan oleh Cassanova itu dalam publik keagamaan di Indonesia. Lembaga-lembaga agama justru kini sulit untuk otonom dari negara. Ekspresi keberagamaan yang bebas dan sepadan justru banyak dibungkam atasnama agama. Yang lebih parah, modal sosial justru meredup dari institusi agama, akibat keterlibatan yang amat dalam di politik praktis.

Kendati politik tentu saja bukan barang haram bagi lembaga agama, namun peran dan keterlibatan dalam civil society kiranya sangatlah penting. KH Ahmad Dahlan telah mencerahkan masyarakat hampir seabad silam. Semoga Sang Pencerah yang bertutur tentang jasa-jasanya ini dapat mencerahkan publik di hari ini.

(Kedaulatan Rakyat, 20 September 2010)