Categories
Politik

Melembagakan (Terus) Demokrasi

Demokratisasi adalah agenda utama setiap negara yang sedang membuang jauh-jauh masa silam otoritarianisme. Hingga demokrasi benar-benar terlembaga, maka negara seperti Indonesia sebenarnya tak boleh leyeh-leyeh. Indonesia masih harus bekerja keras untuk memastikan bahwa struktur, mekanisme, norma dan organisasi demokratik bisa berjalan dengan baik. Kriterianya sederhana: demos berada di centrum; sebab demokrasi adalah demos (rakyat) yang memegang kratos (kuasa).

Pelembagaan demokrasi ini harus bekerja di semua ranah. Pada ranah negara, kita harus mewujudkan pengawasan yang terlembaga terhadap pemerintah. Pada ranah intermediary, kita perlu memastikan adanya proses kelembagaan yang menjamin hak warga negara untuk mengekspresikan preferensi mereka atas kebijakan dan kepemimpinan. Di ranah masyarakat, kita harus mengejar terwujudnya kebebasan, equalitas, dan partisipasi.

Kini pertanyaannya, sudahkah demokrasi terlembaga di Indonesia? Jawaban bagi pertanyaan ini ternyata tetap saja tidak mudah.

Kita sudah bekerja ekstra keras untuk membangun dan menguatkan mekanisme serta organisasi demokratik di ranah intermediary. Sejak 1998, Indonesia terus-menerus membenahi mekanisme pemilu, mengatur lanjut para penyelenggara pemilu, menata parlemen, dan mendorong kepartaian yang dinamis. Energi pemerintah maupun lembaga-lembaga donor banyak dihabiskan di ranah ini. Hasilnya tentu adalah kehidupan demokrasi prosedural yang dinamis dan marak. Sayangnya, hingga taraf tertentu kehidupan demokrasi prosedural ini masih tak jauh dari sinyalemen Törnquist (2004): hijacked by the elite.

Kegairahan demokrasi prosedural itu cenderung melahirkan elite ekonomi baru, yakni politisi yang bisa makmur secara ekonomi karena kemampuannya mengambil keuntungan lebih dalam mekanisme formal demokratik. Hal ini berujung pada kian melebarnya kesenjangan antara kaya-miskin.

Di saat yang sama, prosedur formal demokrasi yang tidak murah ini bisa mengurangi kemampuan negara untuk menyediakan pelayanan dasar, yakni pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Puluhan trilyun dana negara digunakan untuk memilih Presiden dan Wapres, anggota lembaga-lembaga perwakilan, plus para Bupati, Walikota, Gubernur dan para wakilnya.

Agar kemeriahan demokrasi formal ini bisa memiliki efek pelembagaan demokrasi, maka seluruh elemen bangsa sudah waktunya mengalihkan perhatian berlebihan di ranah intermediary, dan mulai fokus untuk mendorong pelembagaan demokrasi dari ranah masyarakat. Kini sudah sangat mendesak untuk memastikan bahwa lembaga formal demokrasi (seperti parpol dan DPR/DPD/DPRD) bisa benar-benar akuntabel.

Alat utama yang harus digunakan untuk menjamin akuntabilitas ini adalah kontrol masyarakat. Akuntabilitas lembaga formal demokrasi hanya bisa dibangun secara ‘paksa’ lewat popular control. Mekanisme akuntabilitas politik semata-mata, sudah terbukti punya banyak hambatan. Kita sudah lelah mendengar kisah tentang KPK yang kesulitan menegakkan akuntabilitas di lembaga Polri, misalnya. Dalam hal ini, kalimat Chomsky (1973) kiranya adalah mantra penting: “until the major institutions of society are under the popular control of participants and communities, it’s pointless to talk about democracy.”

Popular control itu harus dibangun di atas civil society yang vibrant dan dinamis. Pendidikan kewargaan harus diarahkan untuk mendorong agar masyarakat memahami bahwa tugas utamanya dalam pelembagaan demokrasi adalah mengawasi pemerintah dan politisi. Kita harus menyudahi pola pendidikan kewargaan yang indoktrinatif dan searah (yang belakangan muncul lagi dalam mekanisme sosialisai empat pilar kebangsaan, misalnya). Pola indoktrinasi top-down punya bahaya besar: menjadikan warga negara hanya sebagai bagian yang atomik terhadap negara.

Sebaliknya, kita perlu kerahkan energi untuk memastikan setidak dua hal, yakni civic literacy dan political equality.

Civic literacy adalah elemen penting untuk menjamin adanya civic engagement dalam pelembagaan demokrasi. Masyarakat harus difasilitasi (oleh negara dan lembaga donor) untuk memiliki akses pada pengetahuan politik, khususnya tentang peran mereka untuk melembagakan demokrasi mulai dari lingkup terkecil (lingkungan sekitar) hingga lingkup terbesar (politik nasional).

Beda mendasar antara negara-negara demokrasi baru dengan negara-negara demokrasi yang sudah matang bukan terutama terletak pada ada atau tidaknya parpol dan pemilu, melainkan pada hadir atau tidaknya civic literacy. Dalam kalimat Milner (2001), civic literacy adalah “the missing link between social capital and political participation.”

Political equality adalah kesederajatan horisontal antara setiap warga negara dalam mengembangkan civic literacy dan memainkan peran pengawasan dalam pelembagaan demokrasi. Ini adalah kerja besar, yang oleh Dahl (2000) pernah disiratkan sebagai tema utama demokrasi di abad ke-21 ini. Kesederajatan ini penting untuk mendasari peran warga dalam politik sehari-hari, sebab dorongan bagi terwujudnya negara yang sungguh-sungguh demokratis, hanya bisa datang dari masyarakat yang juga demokratis. Karenanya, ‘kurikulum’ pendidikan kewargaan mutlak perlu menyertakan semangat kesederajatan warga. Ini lah tantangan buat seluruh elemen bangsa.