Tulisan ini adalah sebuah tribute untuk seseorang. Tulisan ini bisa terlambat, bisa pula terlalu awal. Mungkin seharusnya tribute ini ditulis pada tanggl 6 Juni. Mungkin malah seharusnys ditulis lebih awal pada 1 Juni. Namun mungkin terlalu dini ditulis sekarang, sebab bisa jadi, tribute ini seharusnya ditulis tanggal 17 Agustus.
Tanggal-tanggal itu penting, sebab orang yang sedang kita bincangkan ini dilahirkan tanggal 6 Juni, memberikan sebuah sumbangsih besar bagi penemuan diri sebagai bangsa pada tanggal 1 Juni, dan menjadi buah bibir paling masyhur karena apa yang dilakukannya bersama tokoh lain pada tanggal 17 Agustus. Ia adalah Sukarno.
Mengapa bagi saya ia adalah seorang pahlawan? Kita bisa memberikan jawaban berdasarkan fakta sejarah secara panjang lebar. Namun kalau boleh, ijinkan saya memberikan jawaban paling subjektif, mengapa saya menobatkannya sebagai seorang pahlawan dalam hati saya yang paling dalam.
Saya ‘mengenal’ dia pada tahun 1978, nyaris tanpa sengaja. Saat itu saya belajar bersama dengan teman saya di SD, dengan metode tanya-jawab menggunakan sebuah buku himpunan pengetahuan umum. Bergantian, kita melontarkan pertanyaan berdasarkan buku itu. Yang dilontari pertanyaan harus menjawabnya tanpa menyimak buku. Teman saya ini bertanya, “siapakah presiden Indonesia yang pertama?”. Saya tak tahu jawaban atas pertanyaan itu. Saya kalah. Dan teman ini memberikan jawabannya: Insinyur Sukarno.
Sukarno. Ini kali pertama saya mendengar nama ini. Dan beberapa saat setelah itu, tahulah saya bahwa ia juga adalah proklamator–orang yang membacakan proklamasi. Saya bertanya kepada Bapak saya, apa itu proklamasi. Bapak menjawab, proklamasi adalah pernyataan kemerdekaan. Bagi seorang anak berusia 8 tahun, gabungan data itu cuma berarti satu hal: Sukarno adalah orang yang memerdekakan bangsa ini.
Kalau tak salah tahun 1979, Bapak membelikan saya sebuah buku berjudul Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku karya Guntur Sukarnoputra. Dari buku inilah saya mengenal BK lebih dekat. Pengenalan diri saya pada sosok BK berlanjut dengan buku-buku yang mengupas dia dari sisi humanistik–bukan buku sejarah yang canggih. Buku berikutnya yang saya dapat juga ditulis oleh Guntur, berjudul Bung Karno dan Benda-benda Kesayangannya. Dari buku ini saya tahu tentang peci BK, parfum Shalimar, tongkat komando, mobil-mobil kesukaannya, bahkan pena Parker yang suka ia pakai. Kisah lebih dalam tentang kehidupan tokoh ini saya baca di buku Kuantar ke Gerbang, sebuah otobiografi Inggit Garnasih yang ditulis oleh Ramadhan K.H. Namun buku yang paling mengesankan bagi saya adalah otobiografi BK yang ditulis oleh Cindy Adams berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Bapak memberi buku ini untuk hadiah ulang tahun saya ke-12, tahun 1982. Ini buku cetakan lama, tahun 1965, yang didapat Bapak dari pedagang buku bekas di Surabaya.
Dari semua buku itulah saya memperoleh alasan kanak-kanak, mengapa BK adalah seorang pahlawan. Buat saya, dia adalah pahlawan sebab ia seorang manusia biasa (seperti digambarkan di buku-buku karya Guntur), yang bisa menjadi jagoan dan pembela kebenaran (seperti tergambar dalam karya Ramadhan K.H. dan Cindy Adams). Kanak-kanak lain mengenal Superman, Batman, atau Spiderman: manusia yang sehari-hari adalah orang biasa, namun bisa berubah menjadi jagoan yang sangat hebat dengan sangat cepat. Begitulah gambaran BK dalam benak kanak-kanak saya. Sangat sederhana.
Kelak ketika saya beranjak remaja, kecerdasan BK yang digambarkan oleh banyak buku, serta cara bicaranya yang banyak saya dengar di kaset-kaset rekaman pidato dia, adalah hal-hal yang memberi alasan bagi saya mengapa ia patut menjadi idola. Ia menjadi figur tempat saya membayangkan diri di masa depan. Saya bahkan pernah bercita-cita untuk menjadi insinyur teknik sipil seperti dia. Cita-cita ini saya pegang cukup lama, sampai keinginan untuk belajar ilmu politik mengalahkan segala hasrat belajar lainnya.
Di masa bukan-kanak-kanak dan bukan-remaja, BK tetap ternobatkan sebagai pahlawan bagi saya karena alasan-alasan yang lebih luas. Sejak SMA dan kuliah, saya membaca semakin banyak buku tentang BK dan sejarah Indonesia. Saya semakin mengenali bahwa dialah salah satu kontributor terbesar dalam imaginasi kebangsaan Indonesia. Ia, tentu saja bersama banyak tokoh lainnya, menjadi dream keeper terhadap ide kebangsaan Indonesia. Ia memiliki aura kepemimpinan yang sangat kuat, yang bisa membuat orang menaruh harapan dan kepercayaan padanya. Ia memenuhi kualifikasi pemimpin yang tak bisa dipenuhi oleh tokoh Indonesia manapun setelahnya. Di tengah kedahagaan akan pemimpin yang bisa menjadi kebanggaan diri di dalam, dan menjadi simbol martabat bangsa di luar, tokoh ini sungguh terlihat tak tertandingi. Sekarang tiap kali saya menyimak pemimpin di negeri lain yang begitu gigih meneriakkan martabat bangsa dan negeri-negeri serumpunnya, saya merasa betapa sangat ‘sepi’-nya negeri kita kini. Dulu media massa kerap memberitakan pemimpin Libya Muammar Qaddafi karena keberaniannya menyuarakan harga diri negara berkembang di hadapan adikuasa. Kini porsi perhatian itu tertuju, misalnya, pada Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Setiap kali tokoh yang bisa dibanggakan oleh negerinya ini diungkap oleh media, saya cuma bisa bergumam dalam hati, “negeriku dulu juga pernah punya pemimpin seperti itu”.
***