Pasti kita pernah mendengar (bahkan sering mendengar) kata ‘aparat negara’ atau ‘aparatur negara’. Tahukah kita apa arti kata itu? Aparatur negara adalah sumberdaya manusia penyelenggara negara, begitulah pengertian yang kita punya selama ini. Aparat adalah pegawai. Bahkan dalam penggunaan sehari-hari, kata aparat bisa berkonotasi polisi atau tentara–atau petugas keamanaan pada umumnya. Kalau ditambahi kata ‘oknum’, maka konotasinya jadi sangat jelek. Coba kita renungi frase ‘oknum aparat‘. Apa yang kita rasakan?
Kembali pada makna aparat di atas, di Bappenas ada Direktorat Aparatur Negara, yang tugas pokoknya adalah: “melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, koordinasi, sinkronisasi pelaksanaan penyusunan dan evaluasi perencanaan pembangunan nasional di bidang aparatur Negara, serta pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya.”
Kita juga punya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Coba kita lihat kalimat yang diambil dari website Kementerian ini: “Baik pada masa Kabinet Reformasi Pembangunan, Kabinet Persatuan Nasional maupun Kabinet Gotong Royong, Kementerian PAN berhasil meneguhkan posisi aparatur negara sebagai unsur perekat bangsa yang profesional, handal dan netral dari kepentingan politik. Di tengah-tengah dinamika politik yang begitu tinggi, kemandirian PNS tetap tak tergoyahkan sehingga roda pemerintahan tetap berjalan melaksanakan amanat konstitusi untuk melayani kepentingan negara dan masyarakat.”
Kedua lembaga negara ini meng-afirmasi pemaknaan kata ‘aparatur’ sebagai pegawai negara. Bahkan header website Direktorat Aparatur Negara Bappenas jelas menggambarkan pegawai negeri sipil sedang berbaris.
Padahal, ‘aparatur’ tak berarti pegawai negeri atau pegawai negara–paling tidak makna kata tersebut tak terbatas pada ‘pegawai’. Sepertinya kata aparatur ini berasal dari kata dalam bahasa Belanda ‘apparateur‘, dan dalam bahasa Inggris adalah ‘apparatus‘ (dari bahasa latin apparare yang berarti ‘mempersiapkan’). Kata ini mengacu pada seperangkat sistem yang digunakan oleh penguasa untuk mengelola kekuasaanya. Ia bisa berupa sistem administrasi, pemerintah, pengadilan, radio, televisi, lembaga agama–pendek kata semua perangkat yang digunakan oleh penguasa untuk menerapkan kekuasaan pada masyarakat. Dalam pengertian yang dirumuskan oleh Louis Althusser, state apparatus bisa bersifat represif, bisa pula bersifat ideologis; yang pasti kata ini bukan (cuma) berarti ‘pegawai’.
Tapi tenang saja. Kesalah-kaprahan dalam kata aparat atau aparatur ini bukan satu-satunya plesetan semantik dalam istilah politik di Indonesia. Mari kita lihat beberapa kata lainnya, yang juga sangat familiar di telinga kita khususnya beberapa tahun belakangan ini.
Istilah-istilah yang akan kita lihat sekilas ini adalah yang kerap digunakan oleh praktisi politik, birokrasi, dan akademisi kita secara rada tidak pas:
Oposisi
Di Indonesia, PDI-P menyebut diri partai oposisi. Padahal istilah ini merujuk pada partai (atau koalisi partai) dengan kekuatan kedua dalam sistem parlementer, yang memiliki tugas untuk memantau kinerja partai yang berkuasa. Dalam sistem parlementer, partai atau koalisi partai yang menguasai mayoritas kursi di parlemen membentuk pemerintahan (eksekutif). Kekuatan kedua menjadi oposisi dalam debat di parlemen. Partai oposisi ini membentuk pemerintahan bayangan, dan tugas mereka memang menempel ketat pemerintah untuk memberi alternatif kebijakan. Mereka digaji memang untuk mencereweti pemerintah. Di Indonesia, kata oposisi ini digunakan dalam makna generiknya untuk merujuk semua kekuatan yang di luar SBY-JK, atau kalau di DPR, di luar Golkar dan PD (pokoknya yang opposite pemerintah). Padahal dalam sistem presidensiil tak dikenal mekanisme pemerintah-oposisi dalam parlemen. Yang ada ialah mekanisme checks and balances antara eksekutif-legislatif.
Welfare State
Welfare state atau negara kesejahteraan ini adalah kata majemuk yang sudah memiliki makna spesifik, dan tidak bisa lagi ditarik pada makna generik ‘welfare‘ atau ‘kesejahteraan’ itu. Lagi-lagi PDI-P di awal 2007 lalu berjanji untuk mewujudkan ‘negara kesejahteraan’. Belajar dari pengalaman saya dengan kekacauan semantika di kalangan politisi dan media massa Indonesia, saya tak yakin PDI-P memang memaksudkan negara kesejahteraan sebagaimana dimaksud oleh ‘welfare state‘ dimana negara menjamin aspek kesejahteraan dan sekuritas sosial (Seperti di Inggris, Australia, Kanada, Norwegia, dst). Jangan-jangan yang dimaksud adalah mengupayakan kesejahteraan masyarakat (sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945). Tapi ‘mewujudkan kesejahteraan masyarakat’ dan ‘negara kesejahteraan’ jelas-jelas beda artinya. Kalau kita ambil contoh, istilah ‘Rumah Sakit’ adalah kata majemuk yang tidak bisa lagi diartikan satu per satu sebagai ‘rumah’ dan ‘sakit’.
Regime
Nah ini dia. Para aktifis dan demonstran sangat gemar menyebut kata regime atau rezim secara sangat tidak tepat. Misalkan, seberapa sering kita dengat orang menyebut frase ‘Rezim Suharto’ atau ‘Rezim SBY-Kalla’? Misalnya, “rezim SBY-Kalla tidak becus menjalankan pemerintahan, dan harus mundur”. Padahal, bagaimana sebuah rezim bisa disuruh mundur? Rezim adalah serangkaian aturan main yang berlaku dan disepakati (misal: ‘rezim pasar bebas’), dan bukan personalia pemimpin. Ini yang banyak salah arah. Kata rezim sering digunakan untuk merujuk pada penguasa, dengan konotasi negatif. Repotnya, kalau kita mengira hanya kalangan awam yang sering salah arah menggunakan kata rezim ini, kita salah. Dalam sebuah diskusi ttg RUU Pemilu di tahun 2003, saya pernah mendengar seorang dosen ilmu politik sebuah universitas ternama di Jakarta yang banyak menulis di media massa, mengatakan “RUU ini harus bisa mengkerangkai relasi antara rezim dan oposisi“. Saya tercengang… dalam satu kalimat, sudah ada dua blunder akademik…
Good Governance
Ini istilah yang digemari betul oleh birokrasi dari pusat sampai daerah. Coba simak, para Bupati, Walikota, Gubernur, atau Menteri itu tidak mantap rasanya kalau di pidatonya tidak menyebut frase Good Governance. Padalah seperti kita tahu, Good Governance is nothing about ‘good’ in generic meaning. Ia lebih merupakan derivasi dari ideologi pengelolaan negara yang berhaluan kanan, atau extra kanan. Istilah ini adalah istilah spesifik yang merujuk kepada salah satu buah dalam cabang berpikir neo-liberalisme. Ini yang sama sekali tak dipahami oleh mayoritas kalangan birokrasi Indonesia (dan barangkali akademisi juga). Akibatnya, good governance diterima begitu saja menjadi tema perbincangan untuk mempromosikan tata pemerintahan yg baik tanpa tahu di mana gagasan itu berakar. Apalagi, referensi tentang good governance memang menekankan pada prinsip pemerintahan yg bersih, bebas korupsi, dst. Padahal underpinning spirit-nya adalah untuk menyertakan pasar (dengan segenap kompetisi bebas-nya) dalam proses governance itu, dan meminimalkan peran negara. But who really cares? Di Indonesia sekarang banyak dinyanyikan lagu-lagu salawatan, termasuk salawat badar. Orang-orang (yang Muslim tentu saja) banyak menyanyikannya, dan mungkin hanya sebagian kecil yang tahu bahwa salawatan itu derivasi dari konsep wasilah. Kalau banyak orang di satu sisi menolak konsep wasilah, lagu-lagu salawatan itu jadi salah tempat saja jadinya. Kira-kira sepadan dengan itulah kekeliruan semantik dalam good governance yang banyak digunakan orang di Indonesia.
***
Itu baru sebagian saja dari plesetan semantik dalam dunia politik di Indonesia. Kesalah-kaprahan semacam ini tentu kurang baik kita biarkan begitu saja. Alangkah baiknya kalau kita membiasakan penggunaan istilah secara ‘taat’. Tak ada salahnya kita lebih ‘resourceful‘ sebelum menggunakan suatu istilah. Di jaman serba internet seperti sekarang, tentu sangat mudah mencari informasi tentang makna sebuah istilah. Beberapa link situs yang memuat istilah-istilah politik bisa dibuka di menu ‘Glosari Politik’ di navbar. Semoga berguna.
Artikel terkait: Kabinet Bayangan