[Catatan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]
Semenjak Bom Bali yang menewaskan 80an orang Australia, kata terorisme menjadi sangat sensitif dan kadang menakutkan di negeri kanguru ini. Kita di Indonesia kerap merasa bahwa negeri kita adalah korban aksi-aksi teror yang dilakukan oleh extremis. Tapi media massa di Australia tak jarang melukiskan Indonesia sebagai negeri sarang teroris. Celakanya kalau mereka menyebut teroris, gambaran tipikal yang diberikan adalah sosok berjubah dan berjenggot ala Osama bin Laden. Kadang menjadi Muslim di Australia, apalagi jika ia berpenampilan seperti gambaran tipikal tersebut, tak selalu menyenangkan.
Padahal, jumlah Muslim Indonesia di Australia cukup banyak. Di Western Australia saja, terdapat hampir 9000 warga Indonesia, yang sebagian besar Muslim. Padahal pula, saya mendapati bahwa sejumlah Muslim Indonesia berada di Australia justru untuk menemukan keislaman yang lebih baik di negeri ini, yang mereka tak bisa temukan di Indonesia.
***
Dari segi masa tinggal, ada dua macam orang Indonesia di Australia. Pertama adalah mereka yang tinggal sementara di sini, baik untuk tujuan belajar maupun bekerja. Kedua adalah mereka yang tinggal secara tetap di sini, baik dengan status permanent resident (PR) maupun citizen. PR memegang paspor Indonesia dengan visa permanen, sedang citizen sudah memegang paspor Australia. Keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama, kecuali hak dan kewajiban politik yang hanya dimiliki citizen.
Tak jarang, mereka yang semula datang ke Australia untuk tinggal sementara kemudian memutuskan untuk menjadi PR seusai studi, dan mulai bekerja di sini. Mereka yang belajar akuntasi, teknologi informasi, konstruksi dan artitektur, serta pelayanan kesehatan, sangat berpeluang untuk melakukan hal ini.
Saya mengenal banyak teman yang memutuskan untuk menjadi PR di Australia, dan bekerja di sini seusai belajar. Banyak di antara mereka adalah Muslim yang taat dan aktif dalam kegiatan keagamaan di sini, seperti pengajian rutin yang diadakan warga Indonesia serta diskusi intensif di mailing list pengajian. Saya selalu tertarik untuk mengatahui alasan mereka untuk tinggal di Australia, selain mencari kehidupan yang lebih layak.
Mungkin cukup mengejutkan bagi kita bahwa kebanyakan di antara mereka menganggap bahwa banyak sekali sektor bisnis dan pekerjaan di Indonesia yang hanya memberikan penghasilan haram atau minimal subhat. Artinya, banyak sektor bisnis dan pekerjaan di Indonesia yang tak bisa menjamin penghasilan besar yang halal.
Beberapa teman yang pernah bekerja di sektor konstruksi dan arsitektur di Indonesia banyak mengeluhkan hal ini. Mereka selalu gundah melihat banyaknya praktek kotor dalam proyek-proyek pembangunan di negeri kita. Penggelapan bahan dan alat proyek, manipulasi data dan keuangan proyek, dan pengerjaan yang tak sesuai standar konstruksi ideal, adalah hal-hal yang banyak mereka keluhkan. Bagi mereka, penghasilan yang didapat dari bekerja dalam sistem semacam ini sudah sangat tercampur dengan uang haram.
Ketika belajar di Australia, mereka melihat bahwa sistem pengawasan dan pola bekerja di negara ini lebih menjamin tersedianya penghasilan besar secara halal. Itulah sebabnya mereka kemudian memutuskan untuk mengajukan aplikasi sebagai PR agar bisa bekerja dan menetap di Australia. Bagi mereka, Australia jauh lebih ‘Islami’ daripada Indonesia.
Memang Muslim di Australia perlu hati-hati dengan urusan makanan yang tak selalu halal. Namun ini pun bukan masalah besar, sebab dewasa ini toko daging halal dan restoran dengan label atau sertifikat halal sudah sangat mudah ditemui. Justru, pekerjaan dengan label gaji halal yang kata seorang teman masih sulit ditemui di Indonesia.
***
Australia, bagi beberapa kalangan Muslim Indonesia, memang negeri yang diidealkan sebagai manifestasi masyarakat yang Islami. Kalangan inilah yang kerap sangat sedih ketika Muslim dikait-kaitkan dengan terorisme akibat ulah segelintir kalangan yang mengaku dirinya Islam dan menghalalkan aksi kekerasan.