[Catatan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]
Konflik di ‘sayap politik’ NU rupanya masih jauh dari usai. Hingar-bingar rivalitas politik masih saja terdengar dari sana. Baru-baru ini kita melihat letupan konflik yang sangat terbuka antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB yang sebelumnya kadang disebut-sebut sebagai ‘anak ideologis’ Gus Dur.
Padahal rasanya baru kemarin, dalam konfliknya dengan Gus Ipul, Muhaimin tampak dimanja dengan dukungan dari Gus Dur. Kini Gus Dur tak lagi percaya dan tak bersedia memberikan dukungan pada Muhaimin, dan alih-alih menudingnya sebagai agen SBY yang hendak menyingkirkan deklarator PKB ini dari jabatan Ketua Dewan Syuro. Gus Dur pun mengancam Muhaimin dengan Muktamar Luar Biasa.
Sebuah kepercayaan politik telah luntur habis. Namun pertanyaannya, kepada siapa kira-kira sang Patriarch kini akan mempercayakan senjakala politik-nya?
Ini bukan pertanyaan yang memiliki jawaban mudah. Gus Dur adalah tokoh yang kerap penuh kejutan. Orang-orang di lingkaran politiknya juga tak selalu mudah diduga dan dipetakan.
Salah satu persoalan dalam lingkup politik PKB dewasa ini adalah sentralitas peran Gus Dur sebagai tokoh di mata massa, saat perannya di tingkat elite sebenarnya telah melemah. Para politisi di partai ini tidaklah semuanya setia kepada Gus Dur–boleh dibilang hanya sedikit yang benar-benar setia padanya. Namun mereka yang paling tidak setia-pun menyadari bahwa Gus Dur masihlah tiket penting untuk tetap berada di dalam gerbong politik.
Salah satu tokoh yang boleh dibilang memiliki loyalitas tinggi pada Gus Dur barangkali adalah Mahfud MD. Kesetiaan Mahfud pada Gus Dur bisa dipahami, mengingat di satu sisi Gus Dur-lah yang membawanya ke puncak karier politik, dan di sisi lain Mahfud semula adalah akademisi yang tak memiliki akar massa terlalu dalam. Para politisi PKB yang memiliki catatan aktifitas politik panjang, serta akar massa lebih kuat seperti Syaifullah, Muhaimin, Choirul Anam, Ali Masykur, dan sebagainya, berpeluang untuk terus menguji di titik mana mereka bisa mengabaikan kesetiaan pada Gus Dur, sambil terus menjaga ekspresi kesetiaan terhadap sang senior di hadapan publik. Di sini ambisi-ambisi politik pribadi, pencarian koneksi politik baru, serta–tak bisa dipungkiri–politik uang, bermain secara saling jalin dan saling kait.
Gus Dur sendiri seyogyanya kini telah berada pada era ‘pasca-politik’. Namun, disamping dorongan ambisi pribadinya sendiri, para pendukung maupun penentangnya di PKB tak mudah mengijinkannya angkat kaki dari partai begitu saja. Mereka yang betul-betul setia menganggap bahwa Gus Dur adalah jangkar PKB dari tarik-menarik internal dan eksternal, sekaligus personifikasi haluan ideologis partai. Mereka yang tidak setia menganggap Gus Dur tetap penting sebagai magnet massa; karenanya penyingkiran tokoh ini dari partai haruslah berjalan sangat manis. Kalangan yang tidak setia pada Gus Dur juga beragam dan saling bersilang kepentingan. Hanyasaja persaingan politik di antara politisi PKB selalu dibungkus dalam perlombaan kesetiaan terhadap Gus Dur.
Dalam situasi seperti ini, bisa dipahami jika Gus Dur sebenarnya tak mudah mempercayai siapapun di PKB. Sebagaimana layaknya para patriarch yang sudah mulai kehilangan kepercayaan pada lingkaran terdekatnya, ia pun akan turut memainkan sandiwara kesetiaan orang-orang di sekelilingnya berdasarkan irama yang ia bisa kendalikan. Kali ini tabuhan kendang politiknya memberi keuntungan pada Yenny. Hal ini terjadi bukan semata-mata karena Yenny adalah putrinya, melainkan karena Sekjen PKB yang baru ini memiliki rentang akar dan pengaruh politik yang masih berada dalam jangkauan kendali Gus Dur. Barangkali Gus Dur akan tetap menjadikannya andalan, sampai Yenny tergoda untuk merambah jangkauan politik lebih luas di luar bayang-bayang sang Bapak.