Beberapa tahun lalu, mungkin beberapa belas tahun lalu, pakar pendidikan Prof. Arif Rahman pernah bilang kira-kira begini:
Salah satu masalah pendidikan di Indonesia adalah sistem ujian dan sistem ranking yang sangat menekan serta memberatkan siswa. Kedua sistem itu mendorong siswa hanya untuk menjadi penghafal, dan sekaligus membuat siswa terbelenggu kompetisi yang melelahkan dan tidak sehat. Dalam sebuah kelas, sistem ranking membuat kira-kira lima orang siswa merasa pandai, dan 35 orang lainnya merasa bodoh. Sistem ini melahirkan bangsa yang tidak percaya diri.
(Pak Arif mohon maaf kalau kutipannya tidak persis; sebab saya cuma me-recall ingatan saja…)
Waktu itu saya tak bisa memahami sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Pak Arif. Bagi saya waktu itu, tidak masuk akal rasanya kalau sekolah tanpa ujian dan tanpa ranking. Lha, bagaimana siswa harus naik kelas? Bagaimana mereka dinilai? Bagaimana mereka mengetahui posisi pencapaian-belajar mereka dalam sebuah kelas? Dll, dsb, etc; masih banyak lagi serentetan keberatan saya terhadap pendapat itu–waktu itu.
Memang saya merasa, sekolah (terutama di masa SMA) sama sekali tak menyenangkan. Saya berangkat tiap pagi ke sekolah semata-mata karena ingin bertemu dengan kawan-kawan. Keinginan belajar? Hah, minim sekali, sebab ruang kelas dan mata pelajarannya sama sekali tak menyenangkan.
Seingat saya, PR dan ujian adalah dua hal paling menyebalkan di sekolah. Saya selalu berpikiran, namanya belajar matematika, fisika dll itu ya di sekolah saja. Di rumah, saya mending baca novel, buku sejarah, atau biografi orang-orang yang saya sukai. Mengerjakan PR dan belajar untuk ujian adalah buang-buang waktu. Saya ikhlas saja kalau sering diomeli guru karena sangat malas mengerjakan PR. Diomeli kan tidak lama; tapi mengerjakan PR di rumah itu mengganggu kebahagiaan 🙂
Jadi, saya tahu bahwa sekolah memang melelahkan dan menyebalkan. Tapi sekolah tanpa ujian dan tanpa sistem ranking? Sama sekali tak terbayangkan.
Tapi begitu saya melihat bagaimana anak saya bersekolah di primary school di Perth setelah menyelesaikan pre-primary tahun lalu, tahulah saya apa yang dimaksud Pak Arif waktu itu.
Murid di primary school itu tidak dipusingkan oleh tes hasil belajar, ulangan umum bersama, dan segala macam ujian. Mereka tak kenal ranking atau ulangan umum untuk kenaikan kelas. Setiap siswa akan naik kelas secara otomatis setiap tahun. Kalau ada siswa yang baru masuk, ia akan ditempatkan di kelas yang sesuai dengan umurnya. Jika ia mesti mengejar sesuatu pelajaran (bahkan kalau harus mengejar kemampuan bahasa Inggrisnya kalau ia baru tiba dari negara lain), sekolah akan membimbing secara khusus.
Belajar nampak selalu menyenangkan buat murid-murid itu. Mereka belajar dengan cara bermain untuk mengenali pengetahuan dan mengembangkan kreatifitas. Memang ada homework, tapi saya lihat bentuknya berbeda dari yang ada di Indonesia. Murid-murid itu diberi tugas membaca, dan mereka boleh memilih sendiri bukunya, dan boleh diselesaikan kapan saja. Kadang mereka melakukan penelitian kecil-kecilan di internet untuk membuat cerita ringkas tentang suatu topik. Tak ada penilaian 0 sampai 10 untuk PR itu. Semua akan dinilai secara kualitatif oleh guru (yang selalu murah-hati dengan pujian untuk setiap karya murid-muridnya).
Setiap akhir term, murid akan menerima assessment secara kualitatif tentang kemajuan belajar dia. Tak ada ranking. Tak ada murid yang bersedih karena rankingnya rendah. Tak ada murid yang kegirangan karena depresi-nya selama satu semester terbayar dengan perolehan ranking satu. Tak ada bapak-ibu yang nyinyir membanggakan ranking anaknya.
Setelah belasan tahun berlalu, kini saya mengerti apa yang dimaksud Pak Arif Rahman.