Categories
Politik

Elit Gadungan

Suatu komunitas, dari yang besar hingga yang paling kecil, memiliki cara beragam untuk mengelola relasi kuasa di dalamnya. Beberapa komunitas memiliki pola hubungan pemimpin-pengikut yang sentralistik dan otoriter; komunitas lainnya mungkin memiliki struktur kuasa yang lebih menyebar, dengan pola pengambilan keputusan ‘dari-oleh-untuk rakyat’ yang kerap disebut sebagai pola pikir dasar demokrasi itu. Suatu entitas politik bisa kita sebut ‘demokratis’, ‘otoritarian’, ‘semi-demokratis’, dst, berdasarkan ragam relasi kuasa itu.

Apapun pola relasi kuasa yang ada dalam suatu entitas politik, semuanya memiliki satu kesamaan, yakni adanya sejumlah besar pengikut di satu sisi, dan sejumlah kecil orang yang berkuasa di sisi lain. Dengan kata lain, selalu ada massa, dan ada pula elit dalam suatu komunitas. Perihal elit ini adalah salah satu tema utama dalam kajian politik. Bahasan tentang demokrasi, otoritarianisme, birokrasi, lembaga sosial, pemilu, dst, sebenarnya melihat dinamika elit dalam masyarakat dari berbagai sudut pandang, pendekatan, teori, dan metodologi yang berbeda-beda. Politik, bagaimana pun juga, adalah segala sesuatu tentang kuasa: bagaimana orang mencari, memperoleh, menggunakan, dan mempertahankan kekuasaan. Kalau dalam definisi ala Laswell yang terkenal itu, politik adalah perihal who gets what, when and how.

Baiklah, intinya saya ingin mengatakan: aspek elit dan kekuasaan sangatlah penting dalam kajian politik dan sosiologi. Kita bisa lihat bahwa dinamika elit tak jarang menjadi penanda perubahan politik penting dalam suatu masyarakat. Ketika terjadi reformasi di Indonesia misalnya, bukankah yang berlangsung adalah perubahan dalam pola hubungan antara-elit, serta perputaran afiliasi dan personalia di antara elit itu sendiri?

Tapi yang menarik, elit itu tak selamanya ‘asli’; tak jarang elit itu bisa saja palsu–atau minimal aspal. Tentu pengertian elit palsu ini bisa banyak ragam. Tapi mari kita lihat satu pemaknaan yang cukup menarik tentang elit palsu.

Kemarin saya bertemu dengan Prof. Francois Burgat, peneliti senior di IREMAM (Institut de Recherches et d’Etudes sur le Monde Arabe et Musulman) Perancis, dalam sebuah simposium yang diadakan oleh Centre for Muslim States and Societies, University of Western Australia. Dalam presentasinya, Burgat menyebut-nyebut tentang fake elite alias elit palsu atau elit gadungan. Apa fake elite itu? Saat jeda di sela acara simposium itu, saya menanyakan pada Burgat bagaimana dia memaknai fake elite, di antara berbagai pemaknaan yang mungkin ada. Ia menawarkan artikel yang ditulisnya tentang fake elite di Perancis, yang bisa dikirimnya via email. Sayang artikel itu dalam bahasa Perancis. Jadi saya bilang ke dia, ya udah prof, ceritain saja gimana intinya; ente kasih ke saya artikel itu juga gak akan bisa saya baca (Hehehe… begitu lah kira-kira terjemahannya).

Nah, elit gadungan itu, dalam pengertian yang dipegang oleh Prof. Burgat, adalah elit yang yang diciptakan (biasanya oleh negara) untuk dimunculkan seolah-olah sebagai representasi dari kelompok tertentu (biasanya kelompok minoritas) dalam suatu masyarakat, padahal sebenarnya ia bukan representasi genuine dari kelompok tersebut. Elit gadungan ini diciptakan untuk memberi kesan bahwa kelompok dimaksud terwakili dalam masyarakat lebih luas. Negara dan penguasa bisa seakan-akan telah menyertakan kelompok tersebut dalam proses politik dan pengambilan keputusan dengan menyertakan elit yang diciptakannya itu. Pada kenyataannya, elit gadungan ini tak akan membawa kepentingan masyarakat yang seolah-olah diwakilinya. Di sisi lain, negara bisa memanfaatkan elit gadungan ini untuk mengendalikan wacana atas suatu kelompok masyarakat.

Oke, pengertian ini rada ribet. Tapi marilah kita ambil beberapa contoh untuk memudahkan pengertian.

Pertama kita lihat contoh di Australia. Di negara ini ada struktur bernama Mufti, yang oleh pemerintah dan media selalu dikesankan sebagai pimpinan tertinggi ummat Islam (yakni kelompok minoritas) di Australia. Tak jarang media massa melukiskannya sebagai tokoh paling berpengaruh di kalangan Muslim Australia. Padahal kenyataannya, ia secara pribadi tak begitu populer, dan struktur mufti itu sendiri tak lazim bagi masyarakat Sunni. Jadi, baik secara struktural maupun individual, Mufti itu tak bisa dianggap mewakili ummat Islam Australia.

Namun pemerintah Australia (juga media massa Australia) memerlukan sesuatu struktur, atau seseorang tokoh, yang bisa dikesankan sebagai wakil seluruh ummat Islam di negara ini. Tujuannya di satu sisi adalah untuk memudahkan terbangunnya kesan inklusi ummat Islam dalam proses kebijakan. Jadi kalau ingin ‘mendengar pendapat Muslim Australia’, pemerintah tinggal hubungi si Mufti, dan bukan sekian juta manusia. Mufti ini lalu akan memberikan pendapat dan sarannya. Perkara ummat Islam tak merasa memberi mandat dia untuk bicara atasnama mereka, itu urusan lain.

Di sisi lain, Mufti ini juga bisa dijadikan tema dan alasan, untuk terus menunjukkan kelemahan Muslim di Australia. Mufti terdahulu (yang hingga dua bulan lalu menjabat), kerap dipancing –atau terpancing– untuk membuat statemen di media yang kemudian mengundang kontroversi dan di-blow up untuk mendiskreditkan Muslim secara keseluruhan. Media selalu bertindak sangat cerdik dengan melukiskan Mufti itu sebagai ‘tokoh paling berpengaruh’ dan memuat pernyataannya yang keras seperti ‘perkosaan terjadi karena perempuan tak menutup aurat’. Dengan cara itu media massa menggambarkan bahwa bagi Muslim, perempuan yang diperkosa adalah pihak yang bersalah karena telah mengundang perkosaan.

Pemberitaan media itu sangat bisa diperdebatkan (termasuk metode mereka yang selalu megutip sebagian dan membuang sebagian yang lainnya). Namun tujuan pencitraan buruk bagi Muslim dengan mengangkat berita tentang seseorang yang kebetulan dijadikan Mufti, sangat berhasil.

Mufti, dalam hal ini, adalah contoh fake elite yang diciptakan negara seperti yang sedang kita bicarakan ini. Kalau anda ingin mengetahui lebih jauh tentang Mufti ini, cobalah cari di Google, dengan memasukkan ata kunci ‘Australia’ dan ‘Mufti’.

Kalau kita cari contoh di Indonesia, kita akan dapati bahwa fake elite ini bisa saja diciptakan oleh aktor non-negara. Yang ini tak perlu cerita panjang-panjang. Pasti anda sangat familiar dengan istilah ‘Kiai Langitan’? Nama ini dulu pernah begitu terkenal, yang oleh Gus Dur selalu dijadikan rujukan untuk ‘mengenali’ arah preferensi politik warga NU. Jika suatu tindakan politik telah direstui Kiai Langitan, dikesankan bahwa seluruh Nahdliyin akan mendukungnya. Padahal, Kiai Langitan ini adalah kelompok elit yang kehadiran dan ‘kekhususan’ posisi sosialnya diciptakan oleh Gus Dur untuk memudahkannya berurusan dengan mayoritas warga NU. Ia adalah representasi semu seluruh jamaah. Ketika kalangan ini terlalu independen terhadap sang kreator, maka dilenyapkanlah mandat representasi yang tadinya terlekat. Mandat itu lalu dialihkan pada kelompok lain yang belakangan dikenal sebagai ‘Kiai kampung’. Mereka pun, baik Kiai Langitan maupun Kiai kampung yang merupakan produk komunikasi politik canggih itu, barangkali bisa kita masukkan sebagai contoh fake elite.

Anda punya contoh lainnya?