Categories
Politik

Reuni tahun 2009, Gus?

Baru-baru lalu (Selasa, 18/9) Mantan Presiden Abdurrahman Wahid membuat pernyataan bahwa ia bersedia untuk kembali dicalonkan dalam pemilihan presiden (pilpres) tahun 2009. Ia bahkan menyatakan bahwa dirinya tinggal menunggu isyarat dari 5 (lima) orang kiai sepuh NU untuk memastikan pencalonan itu, yang akan dijadikannya sebagai sarana guna menerapkan konsep untuk mengatasi krisis yang kini melanda bangsa Indonesia.

Perihal isyarat atau restu kiai sepuh itu sudah sangat jamak kita dengar dari Ketua Dewan Syuro PKB ini. Namun bagaimana kita bisa memahami pernyataan kesediaan pencalonan diri dalam pilpres 2009 itu? Apa sajakah konteks politik lebih luas yang bisa kita lihat?

***

Salah satu tujuan dasar pemilihan umum (pemilu) adalah untuk mendorong sirkulasi elit secara luas. Peristiwa demokrasi yang biasanya berbiaya sangat besar ini dimaksudkan untuk memastikan lahirnya pemimpin-pemimpin baru dalam masyarakat politik secara berkala, sistematis, dan dapat-diramalkan.

Tapi sayang, tak semua pemilu berjalan sesuai dengan tujuan dasar itu. Pemilu di Indonesia terbukti hanya sanggup untuk melahirkan pemimpin-pemimpin baru jika pemilu itu berlangsung segera setelah terjadinya perubahan politik penting. Pemilu 1999 adalah salah satu di antaranya. Pemilu ini berjalan segera setelah jatuhnya Soeharto tahun 1998, dan banyak membuka peluang lahirnya tokoh-tokoh politik baru baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal (terlepas dari keluhan akan kualitas sebagian tokoh politik baru itu).

Pilpres 2004 secara terbatas juga bisa dinilai berhasil melahirkan pemimpin politik baru, kendati itu bisa dianggap sebagai keniscayaan mengingat pilpres ini adalah sebuah mekanisme yang memang sama sekali baru.

Di luar kedua pemilihan tersebut, pemilu-pemilu Indonesia cenderung hanya memungkinkan berjalannya sirkulasi elit secara sangat terbatas. Pemilu legislatif tahun 2004 berjalan seperti itu. Dan kita boleh menduga, pemilu dan pilpres 2009 juga tak akan mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin baru secara signifikan.

Beberapa gejalanya sudah mulai terlihat dari sekarang. Calon-calon presiden yang muncul tak jauh-jauh dari tokoh yang sudah pernah atau sedang menjabat sebagai presiden. Kandidat utama tentu saja adalah SBY dan Jusuf Kalla, dimana sang wapres kemungkinan akan mencoba keberuntungannya untuk maju sebagai calon presiden dengan tiket Golkar. Kita belum bisa mengukur apakah faktor ‘non-Jawa’ pada diri JK akan menjadi hambatan berarti atau tidak dalam ambisinya ini.

Calon lain yang telah tegas menyatakan (dan sejak lama memang tak pernah menutupi) ambisinya untuk maju dalam laga capres adalah mantan presiden Megawati dengan PDI-P-nya. Yang terbaru kita dengar bersama adalah pernyataan Gus Dur bahwa iapun siap untuk turut dalam kontestasi politik tahun 2009 sebagaimana disinggung di atas.

Pernyataan pencalonan Gus Dur ini bisa menguatkan kekhawatiran bahwa pilpres 2009 hanya akan menjadi ritual politik yang tak membawa efek berarti. Dengan deretan calon potensial yang makin jelas berwajah lama, sirkulasi elit tak akan berjalan, atau hanya akan berjalan secara sangat terbatas, di tahun 2009.

Kita patut khawatir bahwa pilpres 2009 hanya akan menjadi ajang ‘reuni’ para tokoh politik sambil membawa pertentangan-pertantangan lama antar mereka. Sangat tidak berguna bagi perbaikan politik bangsa jika pilpres 2009 itu hanya akan menjadi arena penuntasan dendam lama antara ex-presiden dan ex-wapresnya, atau antara ex-presiden dan ex-menkonya.

Tentu saja semua tokoh itu berkualitas, tapi rasanya seperti de ja vu saja kalau tahun 2009 lagi-lagi kita hanya akan melihat SBY, JK, Megawati, dan kali ini tambah Gus Dur, di kertas suara pemilihan presiden. Ada baiknya kita persilakan saja mereka reuni di tempat lain, bukan di kertas suara. Kita butuh pemimpin baru yang (mudah-mudahan bisa) lebih berkualitas.

[Catatan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]