Bulan Desember 1942, 32 orang Kiai diundang ke Istana Gambir yang megah dan asri di Jakarta untuk beraudiensi dengan Gunseikan, Gubernur Militer Jepang yang merupakan pimpinan tertinggi pemerintahan pendudukan saat itu.
Pertemuan ini difasilitasi oleh Kolonel Horie Choso, ketua Shumubu yang merupakan embrio Depag dan jaringan KUA saat ini. Tak pernah sebelumnya tokoh agama Islam, apalagi sebanyak itu, mendapat kehormatan untuk masuk ke gedung bekas kediaman Gubernur Jenderal Belanda tersebut. Sejarah sedang dituliskan.
Pertemuan itu merupakan salah satu momen penting dalam relasi pesantren dengan dunia politik. Pemerintahan pendudukan Jepang saat itu memandang dunia pesantren sebagai salah satu katup mobilisasi massa yang sangat penting, bersama-sama dengan para pemimpin nasionalis seperti Sukarno. Jepang membutuhkan para tokoh agama dan pemimpin nasionalis untuk mengembangkan kendali pemerintahan dan politik atas masyarakat. Sebaliknya, para tokoh agama dan pemimpin nasionalis ini membutuhkan pemerintah pendudukan Jepang untuk memperoleh akses ke posisi politik formal yang sebelumnya tertutup.
Memang, hubungan pemerintah pendudukan Jepang dengan para pemimpin asli ini tak selalu mulus. Sejarah menceritakan beberapa titik pertentangan serius antara kedua pihak–beberapa di antaranya melibatkan konflik fisik. Namun hal ini tidak merubah kenyataan bahwa pada era inilah, untuk kali pertama dalam sejarah politik dan pemerintahan negeri ini, kalangan pesantren dan agamawan memperoleh peluang peran politik mutualistis secara sangat eksplisit.
Relasi semacam ini tak pernah terjadi di masa sebelumnya, dimana kalangan agamawan sering justru bermusuhan atau minimal berseberangan dengan para penguasa dan gerakan politik. Hal ini ditunjukkan oleh konflik panjang antara raja-raja Mataram dengan para ulama di Bayat, Klaten. Ia juga ditunjukkan oleh eksklusi politik yang secara sistematis dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang membawa pesantren pada politik eskapis. Contoh serupa juga ditunjukkan oleh ketegangan samar-samar namun persisten antara tokoh gerakan nasional dengan para pemimpin Islam di awal abad ke-20 (yang kelak akan tetap muncul dalam perumusan konstitusi dan dasar negara).
Pemerintahan pendudukan Jepanglah yang kini membuka peluang paling besar bagi dunia pesantren untuk memainkan peran politik formal, meski tentu saja peluang itu harus tetap dilihat dalam konteks tujuan-tujuan kooptasi. Momen simbolik perkembangan tersebut adalah pertemuan dengan Gunseikan, bulan ini 65 tahun yang lalu.
Kini pesantren telah mengalami banyak pergeseran peran. Peran politik langsung pesantren dimulai sejak berdirinya Masyumi (1943), yang merupakan substitusi terhadap MIAI (Majlisul Islam A’la Indonesia), lembaga federatif yang didirikan tahun 1937. Pengelolaan Masyumi era Jepang ini banyak diserahkan kepada tokoh-tokoh pesantren. Kelak berdiri Masyumi lain (1945), yakni partai politik dengan dominasi kalangan pesantren hingga mufarraqah NU tahun 1952. Pada era 1960-an, ‘gimnastik politik’ yang sangat meriah membuat dunia pesantren kepayang dengan peran politik langsung.
Pada masa Orde Baru dunia pesantren mengalami tikungan tajam dalam peran sosial-politiknya. Pesantren kerap memainkan peran insulasi sosial untuk mencegah penetrasi kekuasaan yang berlebihan oleh penguasa terhadap masyarakat lokal. Peran ini didorong oleh kebutuhan untuk melindungi kepentingan sosial-ekonomi pesantren sendiri di lingkup lokal. Sambil memerankan diri sebagai humas kebijakan politik Orde Baru seperti KB dan Bimas-Inmas, pesantren memanfaatkan peluang itu untuk membuat membran sosial yang mencegah tangan-tangan penguasa menjamah langsung relasi sosial dan relasi kuasa lokal.
Ruang-ruang lebar yang disediakan oleh liberalisasi dan desentralisasi politik sejak tahun 1998 dimanfaatkan oleh sebagian komunitas pesantren untuk memainkan kembali peran politik secara aktif, kali ini dalam intensitas yang jauh lebih tinggi. Di beberapa unit politik lokal, peran politik pesantren itu sangat eksplisit dan langsung. Peristiwa politik terkini seperti pilkada banyak membuktikan kecenderungan tersebut. Kadang penjelasan atas ketegangan atau kolaborasi politik di tingkat lokal perlu dicari penjelasannya di bilik-bilik pesantren, bukan pada dinamika partai politik semata-mata.[]
Gambar:
- Atas: Istana Gambir di jaman Belanda (perhatikan bendera tiga-warna yang dibawa oleh barisan, dan yang berkibar di atas Istana).
- Bawah: Sampul buku Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (Endang Turmudi 2004), judul asli: Struggling for Umma (PhD Thesis, ANU, 1996).
Beberapa link:
1. Pendudukan Jepang di Indonesia:
2. Ulama/pesantren dan politik: