Minahasa adalah sebuah masyarakat yang unik. Sebagai sebuah kelompok etnik, Minahasa termasuk yang paling belia di antara suku-suku lain di Indonesia. Suku ini baru secara perlahan terbentuk sejak abad ke-17, menuju format sosial sebagaimana yang kita kenali sekarang. Sebelum abad ke-18, nama ‘Minahasa’ bahkan tidak dikenal. Kala itu, kawasan semenanjung Minahasa yang kita ketahui sekarang dihuni oleh delapan kelompok etnik dengan bahasa yang berbeda-beda, yakni Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tondano, Bantik, Ratahan, Ponosakan, dan Tonsawang.
Ada beberapa faktor yang memiliki kontribusi besar dalam ‘penyatuan’ ke-delapan etnik itu menjadi sebuah etnik besar yang kita kenal sebagai Minahasa sekarang.
Pertama, faktor sejarah. Ke-delapan kelompok etnik tersebut memiliki sejarah yang sama. Legenda mereka menuturkan kisah yang seragam tentang dua orang manusia bernama Toar dan Lumimuut, yang merupakan cikal-bakal masyarakat Minahasa sekarang. Anak-cucu Toar dan Lumimuut ini menyebar dan membentuk komunitas sendiri-sendiri, dan lama-kelamaan berkembang menjadi delapan etnik dengan ragam bahasa tersebut. Kendati banyak perbedaan diantara ke-delapan etnik tersebut, mereka berbagi klaim sejarah yang sama dan karenanya relatif mudah untuk nantinya disatukan kembali.
Kedua, faktor politik kolonial. Pada tahun 1679, VOC membuat perjanjian dengan suku-suku kecil di pedalaman semenanjung Minahasa sekarang. Perjanjian ini dimaksudkan untuk memudahkan upaya VOC untuk memerangi para penguasa kawasan pesisir (seperti raja di Bolaang). VOC menekankan aspek teritorialias pada suku-suku kecil di pedalaman itu, dengan menyebut kawasan mereka sebagai Landstreek van Manado.
Perjanjian tahun 1679 ini mengawali proses inkremental unifikasi kawasan Minahasa. Kira-kira 100 tahun kemudian, nama Minahasa mulai dipakai. Catatan Belanda tahun 1789 menyebutkan bahwa nama yang berasal dari kata mina esa (kurang lebih artinya ‘menjadi satu’) ini awalnya digunakan untuk menyebut sebuah dewan yang terdiri dari para kepala suku di kawasan ini.
Namun meski nama Minahasa sudah mulai digunakan sejak tahun 1700-an, unifikasi suku-suku kecil ini baru betul-betul berjalan ketika muncul faktor ketiga, yakni misi Protestan.
Agama yang mula-mula masuk ke kawasan Minahasa adalah Katolik, yang dibawa oleh pelaut Portugis dan Spanyol. Ketika VOC berkuasa di kepulauan Nusantara sejak tahun 1602, Protestanisme mulai menggeser agama Katolik. Penyebaran agama Protestan mencapai puncaknya pada tahun 1800an, semenjak kekuasaan berpindah dari VOC ke pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Misi Protestan di kawasan Minahasa semula dikelola oleh Indische Kerk, sebuah lembaga pemerintah. Tahun 1831, pengelolaan misi ini diserahkan pada NZG (Nederlandsch Zendelinggenootschap), sebuah lembaga misi non-pemerintah yang didirikan 34 tahun sebelumnya.
Misi NZG di Minahasa dimotori oleh pendeta Riedel dan Schwarz, dan memusatkan perhatian pada upaya terwujudnya satu entitas misi untuk seluruh kawasan Minahasa. Upaya ini membawa suku-suku kecil yang berserak itu ke dalam sebuah identitas bersama, yang didasarkan pada kesamaan agama. Jika Mina Esa menciptakan wadah persatuan politik bagi elit, maka NZG mendorong lahirnya persatuan identitas berdasarkan agama pada tingkat masyarakat. Sejak itulah Minahasa betul-betul muncul dalam format sosial seperti yang kita kenal sekarang.
Masih terkait dengan hal ini, faktor keempat yang turut mendorong terwujudnya etnik Minahasa adalah penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca di kawasan ini. Bahasa ini mula-mula diperlukan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan misi, dan kemudian dalam lembaga-lembaga pendidikan yang dimiliki oleh NZG atau Indische Kerk. Alasan dasarnya sangat praktis: ketimbang repot dengan delapan bahasa yang berbeda, para misionaris dan pendidik lebih mudah menggunakan bahasa Melayu sebagai pengantar.
Selain digunakan dalam aktifitas misi dan pendidikan, bahasa Melayu juga digunakan oleh koran pertama yang terbit di kawasan Minahasa, yakni Cahaya Siang, atau dalam ejaan aslinya: Tjahaja Sijang.
Koran ini pertama kali terbit tahun 1869. Penerbitannya diprakarsai oleh Graafland, seorang misionaris di NZG, yang pada tingkat teknis banyak dibantu oleh Bettink, juga misionaris di lembaga yang sama. Tjahaja Sijang termasuk di antara koran-koran pertama di Nusantara yang diterbitkan dalam bahasa Melayu, setelah Soerat Chabar Betawie (1858, Batavia), Soerat Kabar Melaijoe (1859, Surabaya), dan Bintang Timoer (1865, Padang).
Tjahaja Sijang yang terbit dua kali sebulan ini mungkin tak selalu dianggap sebagai bagian penting dari sejarah pers Indonesia, mengingat penerbitnya yang bukan ‘pribumi’. Namun sulit untuk menyangkal peran sejarah yang dimainkan koran ini dalam pembentukan etnik Minahasa modern. Koran ini telah menghadirkan bahasa Melayu dalam media cetak dan karenanya mendorong penguatan daya unifikasi bahasa ini dalam masyarakat Minahasa.
***
Ketika minggu lalu saya pergi ke Canberra untuk mengikuti acara Asia Pacific Week 2008, seperti biasa saya manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk mengunjungi perpustakaan. Ada dua perpustakaan penting di Canberra: ANU Library, dan National Library of Australia. Keduanya memiliki koleksi yang luar biasa tentang Indonesia. Di kedua perpustakaan ini, saya temukan banyak literatur penting yang terkait dengan fokus penelitian PhD saya, yakni Madura dan Minahasa.
Di Menzies Library di ANU, saya senang bukan main ketika menemukan koleksi microfiche Tjahaja Sijang yang sangat lengkap, dari tahun pertama terbit hingga tahun 1925. Total terdapat 274 lembar microfiche, yang masing-masing berisi puluhan halaman Tjahaja Sijang. Isi koran ini sangat beragam, mulai dari berita terbaru, seruan keagamaan, informasi pengetahuan umum, hingga komunikasi kebijakan.
Saya habiskan waktu berjam-jam untuk membaca koran ini di layar microfiche machine. Saya merasa sedang menikmati sebuah elemen penting dalam sejarah masyarakat yang menjadi minat penelitian saya.
Beberapa bagian dari koran Tjahaja Sijang ini saya potret dengan kamera digital, dan beberapa di antaranya saya sajikan di bawah ini. Tak semua tulisan bisa terbaca jelas, tapi gambar-gambar ini bisa diperbesar dengan meng-klik-nya.
Bagian ‘tambahan’ (=suplement?) di edisi tanggal 27 Februari 1869.
Di sini terdapat artikel tentang ‘pertundjukan alam di negeri Paris tahun 1867’.
Perhatikan penggunaan huruf ‘u’ ketimbang ‘oe’. Huruf ‘oe’ akan dibakukan dengan diterapkannya ejaan van Ophuijsen tahun 1901.
Deri hal Peratoran baharu di tanah Minahasa
Bahawa dalam tahun 1869, maka orang-orang tanah Minahasa telah mendapat luwas dalam perkara ikut djalan sendirinja.
Maka inilah sungguh peratoran baharu jang belom kedapatan dalam tanah ini deri dahulu kala sampej sekarang ini. …
Deri hal najik hadji ka Jerusalem
Lagipula suwatu perkara jang bajik pada mulanya, tetapi jang memberi banjak bawah pedih pada sehirnja harus ditundjuk disini, ja itu: najik hadji ka Jerusalem.
Adapun segala orang masehi jang mengasehi Tuhan Isaj maka ja beringin dan berangka akan pergi di tanah Kanan …
Catatan: Perhatikan penggunaan kata ‘najik hadji’ untuk merujuk pada ziarah ke Jerussalem, serta ‘Tuhan Isaj’ untuk merujuk pada Jesus. Nampak sekali pengaruh bahasa Arab dalam bahasa Melayu yang digunakan di sini.
DERI HAL HIKAJET DJAMAAT ELMESEH
Adapun djikalau dibatja “Deri hal hikajet djamat Elmeseh” maka barangkali banjak orang belom mengarti pengartijan perkataan ini. Maka kepada orang itu aku mawu mengartikan perkataan itu welakin dengan pendek. Bermula djamaat Elmeseh itulah sawatu perkumpulan orang jang dipermandikan pada nama Bapa, Anak laki-laki dan Roh ulkudus, dan jang mengakau bahawa Tuhan Isaj Muchalits adanya.
Catatan: Perhatikan istilah-istilah ‘Elmeseh’, ‘Tuhan Isaj’, dan ‘Muchalits’ yang tak lagi dipergunakan kini.
Orang mati digigit andjing
Di Pasoeroean adalah telah djadi pada satu hari, maka adalah seorang parampuwan tjina bernama Leentji jang telah digigit oleh andjing didjumirnja. Maka pada ketika itu jang andjing telah gigit dija, maka parampuwan itupun merasalah sakit pedih, tetapi penjakit itu tijada lama, hanja kamudijan deri pada babarapa hari lamanja itu telah sudah djadi bajik.
Maka pada kotika itu jang andjing telah gigit dija maka barang saorangpun tijadalah mengatahuwi andjing itu kurang apa; tetapi djadilah pada satu-duwa hari kamudian maka marika itu tahulah bahawa andjing itu adalah gila.