Tadi malam saya bermimpi datang ke Masjid Nabawi di Madinah. Bukan sekali dua-kali saya bermimpi melihat masjid indah ini. Namun malam tadi, ada beberapa detail yang tak pernah saya lihat di mimpi-mimpi sebelumnya. Mihrab indah itu terpampang jelas dalam pandangan batin saat tidur. Wewangian dan kaligrafi di makam Rasululullah itu tersimak begitu jelas. Saya terbangun dengan kerinduan yang amat sangat…
Pagi ini, gara-gara mimpi itu, teringatlah saya akan cerita ayah ketika beliau naik haji 24 tahun yang lalu. Saat ayah menceritakan kisah ini, saya masih SMP. Tak banyak yang saya bisa cerna dari kisahnya ketika itu. Tapi belakangan, ada renungan lain yang kerap muncul karena mengingat cerita itu.
Ketika tiba pertama kali di Madinah dan bersegera ke Masjid Nabawi, demikian cerita ayah, salah satu keinginannya yang paling besar adalah mendoakan Rasulullah tepat di depan makam beliau. Ini keinginan yang dipendamnya sejak lama. Tentu sama saja berdoa di manapun untuk Rasulullah. Tapi kedekatan ragawi dengan makam beliau bisa memberikan conditioning yang berbeda pada hati yang mem-back up doa itu.
Doa yang ingin ayah ucapkan pun tidak rumit dan berat. Ini yang ia ingin katakan di depan makam Rasulullah: “shalawatullah ‘alaik” (“semoga salawat senantiasa Allah limpahkan untukmu“). Doa ini sederhana namun bermakna dalam, sebab ayah saya ingin menghayati sensasi mengucapkan doa salawat itu langsung di hadapan Rasulullah; yes, in person. Kinipun saya selalu mengucapkan doa salawat seperti itu tiap kali mendengar nama Rasulullah disebutkan. Saya pun membayangkan mengucapkannya di hadapan beliau langsung. Ah, jika ini saya lakukan, keharuan kerap meledak-ledak tak karuan di dada. Maka bayangkanlah jika itu dilakukan di hadapan peristirahatan terakhir beliau.
Kata ayah, hari itu di Masjid Nabawi, lidahnya tercekat. Ketika ia dalam berdiri hendak mengucapkan doa itu, keharuan meluap riuh. Segala cinta dikerahkannya agar doa itu bisa terucap sempurna. Dan manakala segala reaksi kimia dalam tubuh ayah berhasil dikompromi, dan doa itu terucapkan di lidah, bertumpah deraslah airmata… Lututnya lungkrah seakan tak bertulang. Ayah menikmati ekstase cinta yang luar biasa saat itu.
Yang sama sekali tak diduga oleh ayah saya, sedetik setelah ia ucapkan sapaan cinta untuk Rasulullah dengan deraian airmata itu, didengarlah seseorang menghardik di belakang: “Syirik…!!!”.
Ayah menoleh. Dilihatnya seorang askar berbadan besar mendekatinya. Askar itu lalu mendorong ayah menjauh dari hadapan makam Rasulullah, sambil sekali lagi berteriak-teriak gaduh, “syirik, syirik!”
Betapa sedihnya hati ayah saya saat itu. Kedangkalan perspektif para askar itu (‘Askar Wahhabi‘, ayah saya menyebutnya) telah membuat mereka berpikir bahwa ekspresi cinta pada Rasulullah adalah manifestasi sikap mempertuhankan sang manusia agung ini. Doa salawat yang syahdu itu bubar-jalan oleh ketidak-mampuan manusia untuk memahami bahwa cinta tak akan pernah menyesatkan manusia; bahwa cinta pada Rasul tak akan membawa manusia mempertuhankan beliau. Tak akan…
Tapi ayah tahu, tak ada gunanya mendebat manusia berbadan besar dengan pinggang lebar tapi hati dan akal sempit itu. Maka dia pun menepi, menjauh dari pusara Rasulullah, sambil hatinya meminta maaf pada beliau. Ah, cinta memang kerap disalah-pahami oleh orang yang bukan pencinta…