[Kedaulatan Rakyat, 2/9/2008]
Indonesia adalah sebuah negeri spanduk dan baliho. Itu barangkali sudah kita anggap lazim karena sudah berlangsung lama, sehingga mata kita terbiasa menatap jalanan yang hiruk-pikuk oleh spanduk dan baliho warna-warni. Jika diandingkan dengan suasana di negara lain — tak usah jauh-jauh, Malaysia atau Singapura misalnya — jalan raya kita memang sangatlah meriah. Baliho iklan, papan pengumuman, spanduk penuh jargon, dan semacamnya, adalah penghias yang membuat jalan raya kita tampak penuh sesak.
Spanduk-spanduk itu kerap mengundang senyum. Misalnya, tiap kali mudik dan keluar dari Bandara Juanda di Surabaya, saya sering melihat spanduk besar milik Polda Jatim, berisikan seruan (atau komitmen?) untuk memerangi narkoba. Spanduk semacam ini rada menggelikan, sebab siapapun tahu bahwa narkoba tak akan bisa dibasmi dengan spanduk, melainkan dengan membabat para pengedar yang sebagian dibekingi oleh aparat keamanan sendiri.
Belakangan di banyak daerah, kemeriahan jalan raya itu masih ditambah dengan baliho besar berpampangkan foto-foto para pejabat politik. Teknologi digital dan percetakan telah sangat memungkinkan setiap orang untuk membuat baliho dengan foto diri berukuran cukup besar, dengan biaya yang meski cukup mahal namun bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki cukup anggaran. Para pejabat daerah (bupati, gubernur, sekda), atau mereka yang sedang mengincar posisi-posisi publik baik sebagai anggota legislatif dalam pemilu mendatang, presiden RI tahun 2009, atau kepala daerah dalam pilkada, berlomba-lomba unjuk diri lewat baliho berpampangkan foto mereka, disertai kalimat-kalimat jargonis yang — seperti biasa — kerap minim makna.
Tujuan utama baliho semacam ini sangat jelas: mengenalkan para pejabat publik, atau mereka yang mengincar jabatan publik, kepada masyarakat yang telah atau akan menjadi target konstituen mereka. Oleh karena itu, terpampangnya wajah para tokoh ini jauh lebih penting ketimbang pesan ideologis atau program untuk disampaikan pada masyarakat.
Apa sajakah implikasi fenomena ini? Ada beberapa hal. Pertama, membanjirnya baliho dengan foto besar para tokoh ini sangat mungkin mengindikasikan masih jauhnya langkah untuk membangun sistem politik yang terstruktur dan impersonal. Pola komunikasi politik yang dibangun lewat baliho-baliho bergambar itu sangat jelas memampangkan politik yang masih belum beranjak dari mekanisme personal, dimana pribadi seorang tokoh lebih dipentingkan ketimbang visi dan programnya.
Baliho-baliho ini tanpa ragu berpijak pada misi utama untuk menonjolkan bentuk fisik seorang tokoh, serta penjejalan sosok sang tokoh ke dalam memori masyarakat luas. Tentu saja, para politisi ini belajar dari pengalaman pemilu, pilpres dan pilkada sebelumnya, dimana kerapkali kebagusan dan kecantikan tampang seorang tokoh jauh lebih menentukan kemenangannya ketimbang faktor-faktor lain. Dengan kata lain, baliho-baliho narsistik ini mengindikasikan masih belum matangnya perilaku politik para kandidat dan para pemilih.
Kedua, baliho-baliho jual tampang itu menambah lagi variabel yang menyebabkan mahalnya prosedur demokrasi di negeri tercinta. Prosedur-prosedur demokrasi yang kita pilih semenjak tahun 1998 memang membuka peluang partisipasi politik yang kian luas dan transparan. Sayangnya, prosedur-prosedur tersebut juga berbiaya sangat tinggi.
Pilpres secara langsung misalnya, jelas-jelas menguras anggaran negara secara luar biasa signifkan. Pilkada langsung juga demikian halnya. Dalam satu pemilihan bupati/walikota oleh DPRD misalnya, sebuah kabupaten mengeluarkan biaya sekian ratus juta rupiah. Tentu saja ini biaya formal yang belum termasuk anggaran para calon untuk urusan money politics. Biaya formal ini telah membengkak hingga puluhan kali lipat ketika rakyat memilih bupati/walikotanya secara langsung. Kita tentu sangat paham bahwa biaya pemilihan gubernur secara langsung di propinsi seperti Jabar dan Jatim menelan biaya ratusan milyar rupiah. Jika harus terjadi pemilihan putaran kedua seperti di Jatim, biayanya juga kian membengkak.
Sekali lagi, itu baru biaya formal yang terkait dengan logistik pilkada langsung. Biaya lain yang juga sangat besar terkait dengan upaya peraupan suara oleh para politisi dan calon politisi. Tingginya biaya kampanye mereka, baik yang resmi maupun yang tidak resmi, bisa mengundang decak heran yang tak ada habisnya. Salah satu yang menyumbang pada pembengkakan biaya peraupan suara itu adalah narsisme para politisi dan tokoh yang kini berlomba-lomba memasang tampang di baliho-baliho di jalan raya. Akan kian runyam kalau kita amati bahwa sangat boleh jadi, sebagian biaya baliho itu dibebankan pada anggaran negara. Para politisi yang tengah menjabat kerap muncul di balik unjuk prestasi pembangunan daerah, yang ditampilkan dengan foto mereka secara sangat dominan. Anggaran dinas telah digunakan untuk ditumpangi dengan tujuan-tujuan narsistik para politisi.
Kini, bukankah sudah waktunya bagi kita untuk memikirkan prosedur demokrasi yang lebih ramah anggaran?
Wallahu a’lam bissawab.