[Kedaulatan Rakyat, 20/12/2008]
Beberapa waktu yang lalu saya diundang untuk berbicara di sebuah acara salah satu parpol (berbasis soaial) Islam. Saya diminta untuk menjadi narasumber dalam sesi bedah buku tentang tokoh-tokoh ulama di Indonesia yang memiliki kaitan sejarah dan sosial dengan partai tersebut. Kendati tema intinya adalah seperti itu, tak urung diskusi melebar juga sampai pada performa parpol tersebut dalam Pemilu 2009.
Saat menguraikan kemungkinan performa parpol tersebut dalam pemilu mendatang, saya tekankan pentingnya untuk memahami konteks lebih besar, yakni peluang dan performa parpol-parpol Islam di pentas nasional secara keseluruhan. Salah satu fakta penting dalam hal ini adalah bahwa peluang partai Islam di pentas nasional tak bisa dibilang besar. Yang dimaksud partai Islam di sini adalah partai politik yang memiliki ideologi, atau orientasi program, atau basis sosial ummat Islam, atau gabungan ketiganya.
Dalam tiga kali pemilu multipartai yang dikelola secara bebas (1955, 1999 dan 2004), prosentase total perolehan suara partai-partai Islam relatif stabil, yakni sekitar 38% dari total perolehan suara nasional.
Dalam pemilu 1955, Masyumi memperoleh 20,9% suara dan NU 18,4%. Gabungan keduanya yang 39,3% sebenarnya lebih besar dari suara PNI yang pemenang pemilu dengan 22,3% suara. Artinya, Masyumi tanpa mufarraqah NU tahun 1952 sebenarnya berpeluang memenangkan pemilu.
Dalam pemilu 1999, saluran politik kaum santri menyebar dalam banyak partai, termasuk PPP, PKB, PAN dan PK. Total perolehan suara parpol Islam dalam pemilu ini adalah sekitar 37%. Angka ini sedikit lebih kecil dari angka di Pemilu 1955, antara lain karena magnitude partai nasionalis seperti PDI-P dan partai lama (yakni Golkar) yang masih kuat. Dalam Pemilu 2004, total prosentase perolehan suara partai Islam kembali mendekati angka pemilu 1955, dengan 38,9% suara.
Jika total prosentase perolehan suara partai-partai Islam secara nasional itu relatif stabil dalam ketiga pemilu tersebut, maka komposisi sebaran suara di dalam komunitas partai Islam itu cenderung berubah. Perubahan ini terkait dengan semakin rumitnya pola sebaran partai para kaum santri itu. Dalam pemilu 1955, partai Islam terbagi dengan mudah ke dalam partai Islam ‘modernis’ (Masyumi) dan Islam ‘tradisionalis’ (NU). Dalam pemilu 1999, sebarannya menjadi lebih kaya. Kini klaster besar kaum santri terbilah jauh lebih luas dari dikhotomi Muhammadiyah dan Nahdliyyin, sebab ada kelompok-kelompok baru terutama gerakan Tarbiyah yang termanifestasi dalam PK. Hal ini turut meningkatkan persaingan antara parpol Islam, di dalam belanga suara sekitar 38% itu.
Sementara itu, konflik antara parpol berbasis sosial kelompok-kelompok lama ummat Islam makin lama bukannya makin surut. Suara komunitas Muhammadiyah kini harus dibagi-bagi antara PAN dan PMB, sementara dukungan komunitas Nahdliyin ditarik sana-sini oleh PKB dan PKNU serta beberapa partai lain. Faktor inilah yang turut memerosotkan performa sebagian besar partai Islam dalam pemilu 2004 jika dibandingkan 5 tahun sebelumnya, sementara PKS sebagai partai baru jelmaan PK melaju dengan cepat mengintai posisi partai-partai Islam dengan basis sosial yang lebih matang di kalangan ummat Islam Indonesia. Ancang-ancang PKS belakangan untuk membidik konstituen di luar basis sosial aslinya wajar saja jika menimbulkan rasa gerah bukan saja di kalangan partai-partai Islam lain, namun juga partai-partai ‘sekuler’ yang juga merasa turut terancam.
Lalu, apakah partai Islam memang sudah waktunya untuk ‘menyerang’ ke luar lingkaran basis sosial lamanya ataukah tetap di dalam lingkup lama? Jawaban bagi pertanyaan ini tidaklah mudah. Langkah PKS yang mulai catch all itu bisa berimplikasi positif bisa pula negatif, dipandang dari sudut pandang perolehan suara. Salah satu keunggulan partai ini di masa lalu adalah kesan sebagai partai santri yang santun. Belakangan, PKS jadi tersimak terlalu ‘jumawa’, dan hal ini bisa mengecewakan sebagian konsituennya.
Bagaimana dengan partai Islam yang lain? Bagi saya sebaiknya partai Islam yang lain menunda dulu strategi ‘menyerang ke luar’ ala PKS, dan lebih baik menggunakan strategi menjaga gawang untuk merawat dan merekondisi akses terhadap basis sosial aslinya. Jika gawang pun ditinggalkan untuk ikut-ikutan menyerang, maka sangat dikuatirkan bahwa gawang ini justru akan jebol dan akan kian banyak parpol Islam yang hadir dengan performa berantakan dalam Pemilu 2004.
Wallahu a’lam bissawab.