[Kedaulatan Rakyat, 17/4/2009]
Baiklah, pemilu legislatif telah usai. Kurang dari 3 bulan lagi, pilpres akan kita laksanakan. Kita patut berharap gejala golput teknis yang sangat tinggi di bulan April ini bisa teratasi Juli nanti.
Lebih jauh lagi, kita mesti berharap bahwa dalam jangka panjang, ambiguitas dalam sistem pemerintahan kita yang telah (dan bakal) mengkerangkeng presiden Indonesia dalam mandat yang lemah, bisa juga teratasi.
Ambiguitas ini terdapat dalam ketata-negaraan kita, terkait dengan posisi presiden, proses rekruitmennya, serta pola hubungan presiden (pimpinan eksekutif) dengan legislatif. Persoalan ini menjadikan pilpres kita terasa tak lebih dari sebuah pentas megah dan mahal yang hanya memperebutkan mandat palsu — atau minimal mandat yang tak 100% tulen. Semua ini diakibatkan oleh persoalan mendasar yang memerlukan solusi mendasar dan tak tambal sulam.
Pilihan Sistem
Ambiguitas dimaksud pernah bersifat formal dalam UUD 1945; namun kendati kini ambiguitas formal itu telah tiada, pada prakteknya ia tetap terlihat. Ambiguitas itu terdapat dalam hubungan antara sumber mandat kekuasaan dan pola relasi kekuasaan antara lembaga negara, terkait dengan pilihan sistem presidensiil atau parlementer.
Perbedaan mendasar antara sistem presidensiil dan parlementer terletak pada sifat mandat kekuasaan di dalamnya. Dalam sistem presidensiil, legislatif dan eksekutif memperoleh mandat secara terpisah, langsung dari rakyat. Karena mandatnya sama-sama berasal langsung dari rakyat, maka keduanya bertanggung-jawab juga langsung kepada rakyat. Hubungan eksekutif dan legislatif adalah hubungan checks and balances sebagai mekanisme kontrol.
Dalam sistem parlementer, mandat kekuasaan legislatif dan eksekutif tak terpisah. Di sini hanya ada satu mandat, yakni yang diberikan rakyat kepada legislatif. Kekuatan politik (bisa berupa parpol atau koalisi parpol) yang dominan di parlemen lalu membentuk pemerintahan. Dalam sistem ini, seluruh jajaran eksekutif (perdana menteri dan para menteri) adalah anggota parlemen, dengan komposisi yang mencerminkan kekuatan politik pembentuk pemerintahan. Kekuatan politik terbesar kedua dalam parlemen membentuk oposisi yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan.
Inkonsistensi
Para pendiri negara Indonesia nampak cenderung pada sistem presidensiil, meski pernah pula (khususnya di bawah UUDS 1950) diterapkan sistem parlementer. Namun kendati cenderung pada presidensialisme, banyak praktek ketata-negaraan yang tak sepenuhnya presidensiil. Dalam versi asli UUD 1945, presiden dipilih oleh MPR, untuk membentuk kabinet yang bertanggung-jawab kepada presiden, dan tak terkait dengan komposisi politik di parlemen. Prakteknya presiden tak dikendalikan oleh legislatif, meski secara formal bertangung-jawab pada MPR. Artinya, meski mandat presiden berasal dari MPR, pada realitasnya si pemegang mandat tak bertanggung-jawab pada pemberi mandat. Mandat dari MPR tidaklah tulen.
Sejak 2004, presiden (lalu para gubernur dan bupati/walikota) dipilih langsung. Presiden sebagai pimpinan eksekutif kini memiliki mandat yang langsung berasal dari rakyat. Dengan mandat yang terpisah dari legislatif, seharusnya presiden bisa mengelola kekuasaan secara terpisah dari DPR. Di atas kertas, dengan mandat langsung ini presiden bisa membangun kabinetnya secara independen tanpa memperhitungkan komposisi politik di DPR. Tapi prakteknya, presiden masih sangat bergantung pada DPR yang mengembangkan kekuasaan kontrol yang jauh melampaui mekanisme yang diperkenankan dalam sistem presidensiil. Bahkan sebuah partai politik dan sebagian politisi di DPR berani melakukan hal yang amat ‘aneh’ bagi sistem presidensiil, yakni meletakkan diri sebagai partai oposisi dan kabinet bayangan.
Penegasan Sistem
Dengan seluruh keadaan ini, bisa dikatakan bahwa mandat langsung dari rakyat yang dipegang oleh presiden Indonesia terasa palsu. Presiden yang memperoleh mandat langsung dari rakyat masih sangat dibelenggu oleh mekanisme yang tak memungkinkannya bertindak penuh sebagai mandataris rakyat.
Kendati mungkin tersimak usang, solusi bagi persoalan ini adalah penegasan pilihan sistem. Penegasan sistem ini bisa berpegang pada kaidah objektif maupun pada realitas politik yang ada di Indonesia. Jika kaidah presidensialisme yang hendak dipegang, maka seluruh mekanisme non-presidensiil harus ditiadakan agar presiden bisa memiliki wewenang politik yang layak. Namun bila realitas politik yang mau jadi patokan, maka tak ada salahnya jika parlementarianisme yang dipilih.
Wallahu a’lam.
——–
Gambar diambil dari: http://ppijp.files.wordpress.com/2008/11/jakmzc.jpg