Sejak sehari setelah pemilu legislatif tanggal 9 April lalu, perhatian publik dan media massa terpaku pada isu-isu koalisi antar parpol dalam rangka pengajuan calon untuk pemilu presiden Juli nanti. Hasil quick count berbagai lembaga yang segera diumumkan pada hari H pilleg itu memungkinkan setiap partai politik untuk mengetahui posisi dirinya dalam konstelasi politik nasional. Hal ini memudahkan mereka untuk segera merancang strategi-strategi yang dibutuhkan untuk pemenangan pilpres. Tak heran jika tema koalisi menjadi begitu menarik. Bahkan rubrik Analisis KR ini termasuk yang sejak sangat awal menunjukkan kecenderungan minat pada tema koalisi itu.
Yang tak banyak diperhatikan orang barangkali, isu koalisi dengan rincian cerita yang berubah-ubah secara sangat cepat itu telah turut mengalihkan perhatian publik dari beberapa isu penting terkait dengan pilpres itu sendiri.
Salah satu isu penting yang agak teracuhkan gara-gara daya magnitude isu koalisi menuju piplres itu adalah data pemilih. Ini sangat memprihatinkan. Pasalnya, kekacauan DPT adalah salah satu persoalan penting menjelang dan pada saat pemilu legislatif. Jumlah pemilih yang tak menemukan namanya dalam DPT cukup signifikan, demikian pula jumlah nama yang terdaftar secara berulang dalam DPT itu, maupun adanya alamat rumah yang dalam DPT tercatat dihuni oleh puluhan bahkan hingga ratusan pemilih.
Upaya perbaikan DPT ini seyogyanya dikawal cukup serius oleh media massa, untuk memastikan agar angka orang yang dipaksa golput karena namanya tak tercantum di TPS manapun bisa ditekan semaksimal mungkin saat piplres nanti. Untuk tujuan inilah misalnya, KKN-PPM Pendidikan Pemilih dan Pemantauan Pemilu UGM saat ini tengah difokuskan pada langkah-langkah pendampingan masyarakat pemilih untuk mendorong mereka agar secara aktif memastikan hak pilih-nya tidak hilang, dan namanya betul-betul tercantum di DPT.
Isu lain yang tak kalah pentingnya adalah penghitungan hasil pemilu legislatif. Barangkali tak banyak yang tertarik untuk memperhatikan bahwa ketentuan tenggat penghitungan suara legislatif di semua level telah tertabrak. Hingga hari ini, penghitungan suara secara nasional belum juga tuntas, antara lain karena penghitungan suara di level provinsi dan kabupaten/kota banyak yang mengalami keterlambatan serius. Menurut data KPU per tanggal 1 Mei lalu (sebagaimana bisa dilihat di website KPU), baru total 14.725.913 suara yang telah rampung dihitung. Dengan jumlah pemilih tak kurang dari 171 juta jiwa, itu berarti hanya kurang dari 9% suara yang secara nasional telah selesai dihitung.
Kelambatan penghitungan suara ini jelas-jelas merupakan persoalan serius yang bisa mengganggu banyak hal. Perolehan suara pemilu legislatif adalah faktor yang sangat sentral. Yang jelas, ia menentukan siapa-siapa yang akan duduk di kursi wakil rakyat di semua level. Artinya, ia akan menentukan siapa yang akan menentukan nasib bangsa, siapa yang akan bergembira ria karena terpilih (bahkan seorang caleg DPR RI sudah tak sabar menunggu dan telah menebar baliho dan spanduk diri besar-besar se-antero Yogya, menyatakan terima kasih dan ajakan untuk melanjutkan — entah melanjutkan apa), dan siapa yang bakal stress karena tak terpilih.
Perolehan suara pilleg itu juga akan sangat menentukan seperti apa bentuk laga politik dalam pilpres. Siapa menentukan langgam koalisi, sangat dipengaruhi oleh posisi dia dan partainya dalam pilleg itu. Masalahnya, hingga kini hasil akhir dari penghitungan pemilu secara nasional masih terus ditunggu, sehingga masih ada beberapa kemungkinan yang akan muncul dalam pola koalisi itu.
Salah satu titik masalah adalah selisih perolehan suara yang sangat tipis antara PDI-P dan Partai Golkar. Quick count beberapa lembaga survey memberikan kemungkinan berbeda. LSN, Lingkaran Survey Indonesia dan Cirus menyebutkan tiga parpol di urutan teratas sebagai berikut: PD, Golkar, dan PDI-P. Namun quick count Lembaga Survei Indonesia mengatakan bahwa urutannya adalah: PD, PDI-P dan Golkar. Yang mana yang benar, tentu hasil akhir pemilu sebagaimana ditetapkan oleh KPU lah yang harus menjadi patokan. Namun yang jelas, posisi runner up itu masih belum jelas betul: PDI-P ataukah Golkar. Ketidak-jelasan inilah yang, di samping faktor-faktor lain, telah turut menyumbang pada kesulitan penentuan pasangan dalam koalisi menantang SBY yang coba dijajaki oleh PDI-P dan Golkar.
Intinya kini, lakon cerai-rujuk koalisi mungkin masih akan terus berlanjut, hingga nanti akan ada kepastian setelah selesainya penghitungan hasil pilleg nasional. Mari kita tunggu.