Beberapa waktu belakangan, wacana tentang reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II menjadi rada seksi di kalangan sejumlah politisi. Meski jelas-jelas reshuffle kabinet adalah hak prerogatif presiden, tak sedikit parpol dan politisi yang berkepentingan untuk menangkap peluang baru andai hal itu terjadi. Pertanyaannya kini, seberapa besarkah kepentingan SBY atas reshuffle kabinetnya? Apa saja peluang dan masalah yang mungkin muncul jika itu dilakukan?
Ada dua cara untuk menakar kebutuhan dan kemungkinan reshuffle KIB II. Cara yang pertama adalah menakar sepenuhnya berdasarkan pertimbangan politis. Cara kedua adalah dengan menakar sepenuhnya berdasarkan pertimbangan performa para menteri. Tentu saja kedua ukuran ini pada prakteknya saling bertumpang tindih. Namun untuk keperluan analisis masalah, keduanya bisa dilihat terpisah. Cara pertama akan menghasilkan reshuffle radikal, sedang cara kedua akan menghasilkan reshuffle terbatas.
Dalam cara pertama, kebutuhan reshuffle kabinet dilihat dari pola hubungan antar elemen dalam koalisi besar yang kini memerintah. KIB II adalah koalisi dengan ikatan pragmatis longgar. Koalisi ini terbentuk berdasarkan kebutuhan strategis semata, dan tak memiliki daya rekat ideologis yang memadai. SBY sebenarnya memiliki peluang politik awal untuk membangun kabinetnya berdasarkan kekuatan PD. Secara konstitusi dan realitas politik ia memiliki peluang untuk itu. Namun, kalkulasi politik untuk mengamankan dukungan di DPR jelas-jelas mendorong SBY untuk memasukkan sebanyak mungkin parpol lain dalam kabinetnya.
Resiko langkah ini jelas. Loyalitas elemen pendukung koalisi satu sama lain sebenarnya tak terlalu tinggi. Tak semua parpol peserta koalisi memiliki komitmen permanen untuk sepenuhnya mendukung SBY. Bagi SBY, seiring berjalannya waktu akan ada kebutuhan untuk melakukan penilaian akan ‘kesetiaan’ parpol-parpol dalam koalisi. Parpol yang masih setia dapat dipertahankan, sementara itu parpol yang menunjukkan loyalitas rendah dapat saja dikeluarkan.
Reshuffle radikal bisa saja dilakukan dalam konteks untuk menertibkan koalisi di bawah pimpinan SBY. Dalam proses ini, parpol yang tak bisa seiring dengan kepentingan politik SBY bisa dilepaskan, dan konsekuensinya seluruh menteri yang berasal dari parpol tersebut juga harus dicopot dari jabatannya dan digantikan dengan orang-orang dari parpol lain yang dipertahankan dalam koalisi.
Tentu saja reshuffle radikal ini bukan pilihan yang mudah. Resiko politiknya sangat tinggi. Jika melakukan ini, SBY pasti akan menjadi bulan-bulanan politik yang sangat empuk di parlemen. Karenanya, pilihan penertiban koalisi ini agak kecil kemungkinannya untuk terjadi.
Yang memiliki kemungkinan sedikit lebih besar untuk dilakukan SBY adalah reshuffle terbatas. Hal ini terkait dengan takaran kedua di atas untuk melihat performa para menteri. Setiap orang yang didudukkan dalam jabatan di KIB II telah melalui audiensi di Cikeas yang diekspose luas saat itu. Mereka semua hadir di kabinet atas pertimbangan kompetensi dan representasi. Seluruh pertimbangan saat memilih orang-orang itu, kini bisa saja digunakan oleh SBY untuk menilai kinerja mereka. Jika ada menteri yang dinilai tidak mampu melaksanakan tugas dan komitmen mereka dengan baik, ada kemungkinan SBY akan mengganti mereka dengan orang lain yang masih memiliki latar belakang parpol yang sama. Terjadi pergantian personel, tapi tak ada perubahan dalam komposisi parpol di kabinet.
Pilihan ini memiliki resiko politik lebih rendah. Bahkan bukan mustahil, jika reshuffle terbatas dilakukan oleh SBY, hal itu terkait dengan dinamika internal parpol dalam koalisi. Bukan mustahil bahwa orang yang diangkat SBY bukan nama yang secara bulat disepakati oleh internal parpol koalisi. Dinamika internal parpol tersebut bisa saja turut mendorong terjadinya reshuffle untuk mengakomodasi menteri yang diinginkan parpol.
Di luar lingkar parpol ini, para menteri ‘professional’ yang tak berlatar belakang parpol tentu saja lebih rentan akan terpental dari kabinet. Ribut-ribut Bank Century misalnya, boleh jadi akan mendorong SBY untuk mencari tumbal politik guna mengamankan kekuasaan. Akankah ini terjadi? Kita lihat saja.
Wallau a’lam bissawab.
(Kedaulatan Rakyat, 18012010)